
Margono tersenyum. Kini , di dipannya yang tanpa kasur. Hanya berlapis tikar dan bulu domba Cukup hangat. Uang orang tuanya dari hasil sawah hampir seluruhnya dipergunakan untuk biaya kuliah Margono dan biaya sekolah Rokayah.
Rokayah. Adiknya memang masih muda benar. Tetapi dan sinar matanya terpancar. ketulusan hati yang dalam.
“Akang boleh memukulku” katanya sebelum tidur tadi pada Margono. “Tapi Akang tak bisa melarangku berhubungan dengan kang Gandi.”
“Apa sih yang menarik dan laki-laki itu? Hartanya ?
“Akang menilaiku serendah itu?”
“Baiklah. Baiklah. Tapi kau tahu latar belakang hidup lelaki itu?”
“Enggak penting”
“Bagaimana kalau ia bekas perampok?”
“Jangan menghina Kang Gandi!”
“Aku cuma mau tanya...?” Margono membela diri.
“Tanyalah yang benar!”
“Hem. Kau mulai pintar mendebat ya?”
Dan berakhirlah pembicaraan mereka malam itu. Rokayah masuk ke kamarnya sambil merengut. Ayah dan ibu mereka masuk ke kamar jauh sebelumnya dan tidak terdengar lagi suaranya Kini Margono mendengar dengkur ayahnya yang keras dan kamar sebelah. Bersahut-sahutan dengan dengkur ibunya Margono berpikir, apakah sewaktu tidur ia juga mendengkur? Dan apakah dengkur merupakan penyakit turunan?
“Nyieett!”
Margono tiba-tiba tersentak bangun.
“Nyiettt..” suara itu kembali terdengar. Lebih halus. Arahnya dari luar rumah. Kira-kira dekat jendela kamar Rokayah. Margono tiba-tiba menjadi pucat Kera besar itu pasti mengikutiku. Tetapi kenapa? Dan kenapa ia kira aku tidur di kamar Rokayah?
“... Kang Gandi..” suara lain terdengar. Hampir-hampir berupa bisikan. Margono semakin kaget. Itu adalah suara Rokayah dan kamar sebelah lain. Terdengar bunyi jendela dibuka.
“Kang Gandi!” suara Rokayah semakin jelas tendengar. “Tunggu Yayah...”
Terdengar bunyi jatuh yang tidak ribut Margono mengira, Itu pastilah Rokayah yang meloncati jendela dan turun diam-diam ke pekarangan samping. Apa pula yang akan diperbuat adiknya dan apa pula maksud laki-laki itu datang tengah malam begini?
Posting Komentar