Laporkan Jika Ada Link Mati!

Gokil

Tadi malam, di tengah banjirnya kota Jakarta, sekitar 30 bapak-bapak berkumpul di ruang tamu rumah saya. Ada apa gerangan? Ternyata si Papah didaulat menggelar acara malam silaturahmi antar warga kompleks. Pak RT pun datang berkunjung. Sedikit penasaran liat doi setelah si Papah mengirim surat keluhan abis-abisan gara- gara pembangunan sekolah di belakang rumah yang sa­ngat mengganggu itu. Ternyata dia baik-baik saja dan nampak sudah dimaafkan oleh bapak-bapak sekompleks. Malam pun berlalu dengan akrab dan kekeluargaan.

Or so I thought.

Sebelum bapak-bapak sekompleks lengkap berkumpul, sa­

ya dan si pacar permisi keluar untuk bermalam mingguan di Plaza Senayan. Melihat PS yang seperti kota mati itu, setelah menyantap semangkuk ramen di Sushi Tei saya dan si pacar pulang dengan buru-buru. Takut jalanan banjir lagi secara hujan kembali turun. Setibanya saya dirumah, si pacar langsung pulang setelah berpamitan de­ngan si mamah dan saya hinggap sejenak di meja makan. Si mamah dengan cekikikan berbisik-bisik melaporkan sesi 'nguping' gak sengaja yang berlangsung sejak kira-kira dua jam yang lalu

Mamah: "Kasian Pak Y" - maksudnya Pak RT.

Saya: "Kenapa?"

Mamah: "Dari tadi diserang terus sama warganya. Dibanding-bandingin sama RT yang dulu, who happens to be present"

Saya: "No kidding!"

Mamah: "Ember."

Saya: "Trus defense-nya apa?"

Mamah: "Ya boro-boro defense. Diem aja dari tadi"

Saya: "Aduh kasihannya... Trus?"

Mamah: "Yah gitu deh. Di sini aja kalo mau dengerin."

Saya: "Males ah. Aku mau main The Sims aja di kamar"

Saya pun naik ke atas lewat tangga garasi, sedikit teng- sin soalnya sama bapak-bapak karena kostum cewek gipsi dengan rok yang penuh untaian benang mungkin akan di­anggap aneh.

Siang ini saya makan sama si mamah dan si papah. Ter­nyata benar, semalam itu judulnya adalah "Pengadilan RT" oleh para warganya. Waduh. Tak urung diri ini merasa bersalah karena pernah memaki-maki RT walau lewat blog.

Saya: "Emang kenapa sih dia bisa turun banget performance-nya?"

Papah: "Ya iyalah. Dia itu kan masih kerja. Masih sibuk sama urusan lain. Belum siap jadi RT."

Saya: "Emang ada kandidat lain yang mau jadi RT?" Mamah: "Wah itu sih banyak bener. Pak R itu napsu pengen jadi RT. Pak YS juga. Malah semalem dia urun saran bagaimana kalau jabatan RT itu dipegang secara bergantian. Padahal kalo mereka yang jadi RT belum tentu bisa lebih bener daripada yang sekarang"

Papah: "Sebenarnya inti dari kumpul-kumpul semalam itu kita ingin cari solusi biar bisa membantu Pak Y da­lam menjaga lingkungan sini. Tapi karena udah pada sebel, akhirnya jadi ajang salah-salahan."

Saya: "Terus yang menengahi siapa?"

Papah: "Ya kebetulan aku dan mantan RT yang dulu" Saya: "Kasihan juga. Tapi ya gimana ya...serba salah juga kalo jadi Pak Y"

Dan berkat obrolan siang ini saya jadi tahu kalau jaman si Papah bujangan dulu, RT yang menjabat waktu itu pernah punya inisiatif bikin kalender kompleks tiap tahun baru dari sisa uang iuran warga. Baru tahu juga kalau dulu pernah ada imbauan untuk menanam pohon perdu di tiap halaman dari mantan RT masa jabatan ke-sekian. Dan juga baru tahu kalau RT yang sekarang ini sebenarnya not so bad karena dari semua RT yang pernah menjabat, cuma dia satusatunya yang transparan banget soal penggunaan biaya iuran. Warganya jadi tau kalau Ibu M males bayar iuran sampah, jadi tau kalau Bapak B ogah bayar iuran keamanan dan jadi tau kalo Bapak G paling rajin bayar iu­ran sampai pernah dijuluki 'warga teladan'. Gokil.

Dari situ juga saya baru tau kalau jadi RT itu susah juga. Mesti proaktif sama warganya. Mesti bisa sok akrab nanya-nanya tentang lingkungan, ada keluhan apa eng­gak, kalo ada keluhan apa kira-kira ada solusi yang bisa dieksekusi segera. Terus mesti follow-up ke kelurahan... terus sampai tingkat Gubernur jika masalah tak tersele­saikan. Walah walaaaahhh... ribet.

Yang paling ajaib: semua keribetan menghadapi warga yang kian kritis ini harus dilakukan secara gratisan. Suka­rela. Amal. Itupun masih dinilai sama orang-orang. Kalo bagus gak ada yang muji, tapi kalo jelek dihina dina bah­kan diadili.

Ih, mending jadi Presiden kaleeee...paling enggak sering masuk tipi.

Anyway, poin tulisan ini adalah...betapa sekarang saya jadi makin 'ngeh' kalau kita sebagai manusia selalu dinilai sama orang lain. Atas dasar apapun. Orang pasti punya penilaian terhadap hal-hal yang kita lakukan dan mau itu baik atau jelek, kita harus terima. Nggak segampang itu ngelawan orang-orang yang menilai kita, karena mereka punya hak. Ketika kita berani tampil dan terlihat oleh umum, kita sudah dengan sengaja menceburkan diri kita ke laut. Kalau nyeburnya di laut cetek masih nggak ma­salah. Paling kena uburubur. Nyeri banget tapi diken- cingin juga ilang. Tapi kalo nyebur di laut dalem? Kalo di­makan paus sekalian ilang sih nggak masalah. Ketika kaki digigit hiu trus putus dan dalam kondisi sekarat? Itu yang jadi masalah.

Cuma keberanian yang diperlukan, sebenarnya. Saya ka­gum sama orang-orang yang berani tampil. Saya kagum sama orang-orang yang apapun penilaian masyarakat te­tap eksis di muka umum. Penyanyi ME, misalnya. Man, dari mana ya dia dapet attitude itu. Hebat banget bos. Di tengah perkara memalukan yang menurut sebagian besar masyarakat adalah 'bodoh', dia berani lho diundang ke berbagai talkshow...nyanyi pula. Soal otak saya nggak mau komentar lebih banyak. Tapi soal nyali, wah. Canggih lah.

Saya sedang berusaha mengumpulkan keberanian. Tapi nampak sulit aja gitu. Ibarat ikutan Indonesian Idol, saya baru sampe taraf lulus pre-casting. Belom masuk dinilai sama juri utama. Boro-boro ikut babak spektakuler. Seka­rang kesimpulannya cuma satu: Hidup ini audisi. Maka dari itu, tiap hari saya harus melakukan segala hal dengan se­baik-baiknya. Di Indonesian Idol, jurinya cuma 4. Di kehi­dupan, sedunia aja gitu yang menilai. Sinting bukan? Jadi inget kata-kata mantan bos saya dulu, ketika saya dan teman-teman sekantor nyela-nyela seorang penyanyi mu­da. "Paling enggak, dia udah berani muncul di depan umum. Kalian mana? Udah pernah nyoba belom? Jangan cuma bisa ngatain orang." Dulu sih saya cuma mencibir dikuliahin begitu. Plis deh, cuma ngeledek dikit aja pake ditegur.

Now it's different. I'm putting myself out there.

And if all else fails...

...at least I tried.
 
Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger