Laporkan Jika Ada Link Mati!

Gue Anak SMA

"KAMU sekarang udah SMA. Udah gede!"Itulah kata-kata yang sering dilontarkan ortu ketika kita mulai menginjak bangku SMA. Ungkapan tersebut wajar saja, karena saat memasuki SMA, terjadi pula perubahan pada fisik kita yang makin kuat, serta mental yang makin tertata. Alhasil, tun­tutan orangtua terhadap kita pun makin bertambah. Mulai dari tanggung jawab, sampai kemandirian kita.

Pada kenyataannya, tuntutan ortu itu tidak mungkin kita penuhi sekaligus. Ada tahapan proses yang harus kita lalui. Dalam skala kecil, kita bisa menemukan tahapan proses menjadi insan yang bertanggung jawab dan mandiri itu ketika harus menghadapi Masa Orientasi Siswa (MOS)

Lho, kok, nyambung ke MOS?

Karena saat MOS inilah, mental dan fisik kita diuji. Seperti diuraikan Luna TR, Spica, dan Hafsya dalam buku ini. Betapa mental mereka ditempa be­gitu rupa, sampai ada istilah putus urat malu. Tidak sekadar mental, fisik pun diuji lewat MOS. Selain le­wat sanksi fisik seperti push-up, sit-up, dan lari, mereka tetap harus bekerja keras sampai malam hari untuk mencari barang-barang yang harus di­bawa besok.

Tidak sedikit orang yang ketakutan saat menghadapi MOS. Padahal, sesungguhnya MOS bertujuan positif, yakni mengenalkan kegiatan yang ada di sekolah ataupun kelebihan-kelebihan sekolah kepada siswa baru. MOS merupakan media sosiali­sasi company profile sekolah. Memang, cara me­nyampaikan informasi kepada siswa baru itu ber­macam-macam. Ada yang kreatif, ada juga yang semi militer. Apa pun cara menyampaikannya, kalau kita bisa mengelola rasa takut, kita akan bisa me­nikmati MOS. Caranya? Ikuti saja aturan senior. Anggap saja kita sedang berusaha menyenangkan para senior dengan mematuhi "kejahilan" mereka.

MOS hanyalah ujian mental dan fisik yang kecil saat memasuki bangku SMA. Ujian sesungguhnya akan dimulai saat kegiatan belajar mengajar dimulai, dan proses adaptasi pertemanan dimulai. Tak jarang kita menemukan kerikil-kerikil yang mengejutkan di SMA. Seperti dipaparkan Muharram R., mungkin kita akan menemukan apa yang disebut "gencetan se­nior", maupun guru-guru dengan karakter mengejut­kan sebagaimana yang ditulis Ary Yulistiana.

Kendala tersebut belum seberapa, ketika kita harus mengalami adaptasi yang lebih kompleks. Bu­kan sekadar dengan senior ataupun guru, tapi selu­ruh lingkungan, lantaran kita harus pindah ke kota lain saat masuk gerbang SMA. Pengalaman yang ditulis Doel Wahab yang berkendala dengan dialek bahasa-nya ketika pindah dari kota kecil ke kota besar, serta Teera yang tiba-tiba merasa jadi siswi terbodoh di SMAN 3 Bandung, bisa menimpa siapa pun.

Apa yang harus kita lakukan agar cepat ber­adaptasi di lingkungan SMA?

Pertama, masuki lingkungan baru kita melalui hobi. Tunjukkan minat dan kemampuan kita melalui hobi, entah itu olahraga ataupun seni. Bergabung­lah dengan wadah yang ada di sekolah, agar kita dikenal. Hal ini akan mempertebal rasa percaya diri kita dan menyingkirkan penyakit minder.

Kedua, perkenalkan diri kita kepada teman se­angkatan dan senior. Jangan sungkan menyapa dan mengenalkan diri, bila bertemu kakak kelas. Jika kita punya inisiatif bergerak lebih dulu, kemungkinan be­sar akan lebih dihargai orang lain. Daripada kita ha­nya menunggu disapa. Akhirnya, malah tidak ada yang mau kenal sama kita.

Ketiga, jangan over confident. Sifat takabur malah cenderung mengundang musuh. Kita malah akan dijauhi dan makin tersisih dari lingkungan baru kita. Atau malah nanti jadi sasaran gencetan senior. Keempat, tunjukkan sifat aktif dengan membuka ja­ringan dan komunitas. Misalnya, dengan memasuki ekskul. Kita juga bisa membuka jaringan dengan ca­ra menunjukkan sikap positif kita, seperti menolong sesama, rajin ataupun murah senyum.

Kelima, cobalah menjalin komunikasi dengan guru. Ingat ... bukan menjilat! Kebanyakan saat di bangku SMA, orang tidak begitu lagi memedulikan gurunya. Remaja hanya mengenal guru sebatas se­bagai pengajar. Cuma sedikit yang mengenal guru­nya sebagai motivator, pengarah, dan teladan. Bisa dibilang, saat ini kebanyakan remaja sekolah lebih mementingkan bertemu teman ketimbang guru.

Jika kelima hal di atas tidak kita lakukan, ber­siaplah kita menjadi siswa yang sulit beradaptasi dengan lingkungan SMA. Efeknya, kita akan menjadi siswa figuran yang mungkin hanya dikenal teman sebangku, atau yang lebih parah ... kita jadi de­presi! Nilai akademis merosot, merasa tidak betah duduk di kelas, atau malas berangkat ke sekolah. Kalau sudah sampai tahap ini, yang perlu dilakukan adalah:

1. Membangun keberanian untuk segera menyadari dan mengetahui adanya kondisi negatif di diri kita. Carilah secara mendetail kondisi negatif ki­ta, kemudian dipetakan satu per satu dan ditu­liskan. Cara ini merupakan diagnosa diri (self di­agnosis) yang dengan mudah bisa kita lakukan.

2. Berani mengonsultasikan masalah kita tersebut kepada teman yang bisa memotivasi. Kalau kita seorang teman dari orang yang bermasalah itu, maka kita harus memberi dukungan moral untuk membangkitkan semangatnya. Jika memang di­rasa perlu, konsultasikan pula ke guru BP.

3. Ubahlah cara pandang kita kepada hal-hal posi­tif. Bisa saja selama kita selalu memandang se­gala hal dari sisi negatifnya. Hingga yang me­nimpa kita pun selalu negatif.

Nah, jika kita mampu melewati masa-masa beradaptasi di lingkungan SMA dengan sukses, se­lanjutnya kita akan berhadapan dengan situasi yang sering disebut penulis lagu kita; masa-masa yang paling indah ....

Eits, tapi jangan lupa! Mentang-mentang kita banyak teman dan seabreg kegiatan ekskul, akhir­nya malah lupa belajar. Bukan apa-apa, setelah SMA akan ada lagi beban mental dan fisik yang ha­rus kita pikul. Jadi, persiapkanlah segalanya dengan baik selama di bangku SMA.
 
Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger