Laporkan Jika Ada Link Mati!

Iblis Ngambek

Lengkingan sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap. Gamelan monggang bertalu. Mulai tampak sebagian badan monumen perunggu setinggi sepuluh meter itu. Tamu-tamu undangan bertepuk riuh. Pak Gubernur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga. Namun, mendadak gamelan itu terhenti. Para tamu undangan kaget Begitu kain selubung itu terbuka seluruhnya, mereka melihat pemandangan aneh. Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu, berdiri tanpa kepala.

Pak Gubernur gusar. Pak Bupati cemas. Dalam bahasa yang sulit ditangkap, ia mencoba menenangkan Pak Gubernur Namun, Pak Gubernur segera beranjak dan kursi. Suasana berubah gaduh. Pak Bupati tampak terguncang. Empat orang pengaman memapahnya. Istri Pak Bupati menggosok tengkuk dan dada suaminya dengan balsem. Beberapa petugas lainnya, lengkap dengan senapan, mengamankan tempat. Terdengar hiruk-pikuk percakapan dalam pesawat genggam. Beberapa petugas yang lain sibuk menghalau wartawan yang mencoba mencegat Pak Bupati Dengan gerakan yang sangat terlatih mereka segera membawa Pak Bupati masuk mobil dinas.

”No comment... no comment,” ujar Pak Bupati dari balik kaca mobil. Suaranya terengah-engah.

“Tunggu! Secepatnya kami bikin jumpa pers. Jangan teigesa bikin kesimpulan. Tunggu pernyataan resmi! ” ujar Pawarto, humas pemda. Cemas.

“Apakah ada unsur-unsur politis?” desak wartawan.

"Kami akan mengusut tuntas. ”

“Bagaimana dengan isu manipulasi..?”

”Ah itu hanya gosip. Gosip!” masih dengan wajah cemas, Pawarto bergegas masuk mobil dinasnya yang mengilap

Sureng gemetar membaca headline “Monumen TKW tanpa Kepala” di koran Teraju Bangsa. Judul yang ditulis dengan huruf kapital itu mencolok matanya. Jantungnya berdetak sangat keras, dipicu kalimat: tiga orang dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Bt, Kt, dan Sr. Tiga inisial itu segera diketahui Sureng. Bt adalah Bendot dan Kt adalah Klantung. Sedang Sr tak lain adalah dirinya. Bt dan Kt sudah diamankan, tulis koran itu. Sedangkan Sr dinyatakan buron.

Sureng merasakan dadanya sesak. Keringat dinginnya bercucuran. Berbagai perasaan teraduk dalam rongga dadanya. Entah sudah berapa kali ia menyulut rokok. Mengisapnya kuat-kuat, kemudian mengembuskannya. Asapnya-memenuhi ruangan warung yang tampak temaram diterobos sinar lampu minyak itu.

“Tambah kopinya, Mas?” ujar penjual.

Sureng tergeragap dan segera mengangguk. Bayangan monumen TKW tanpa kepala itu masih menguasai benaknya. Ia minta sebutir tablet antisakit kepala, yang langsung ditelannya bersama pisang rebus yang di-kunyahnya. Pandangan Sureng menerawang jauh menembus kepulan asap, menembus hawa dingin yang menusuk, menembus langit-langit warung. Menembus wajah istrinya, Warsiyah, dan anaknya, Brojol. Kerinduan menggigitnya kuat-kuat. Berpisah selama hampir dua bulan membuatnya tidak sekadar rindu, tapi juga cemas.

"Lebih baik Bu Warsiyah terus terang. Siapa saja yang telah menghubungi Pak Sureng sebelum peristiwa ini terjadi?” ujar petugas dengan ramah. Dengan kumis tipis, petugas tampak bersih dan tampan.

Warsiyah diam. Kepalanya tertunduk. Ruangan hening Suara kipas angin ruangan terdengar keras.

“Tentu Bu War tidak menginginkan pemeriksaan ini berlangsung lebih lama lagi. Iya kan?”

“Tapi, saya benar-benar tidak tahu, Pak”

"Mosok? Apa sih susahnya menyebut nama Ini menentukan nasib suami Anda! Atau barangkali justru Anda memang ingin susah?”

Warsiyah gemetar. Peluh menguasai tubuhnya. pe tugas menyulut rokoknya. Menawarkan teh hangat ke pada Warsiyah dengan perangai yang mendadak ramah “Coba sebutkan seluruh nama saudara Pak Sureng dan saudara Bu War. Lengkap dengan alamatnya. ” Petugas itu menyodorkan kertas dan bolpoin. Dengan perasaan tertahan ia meninggalkan ruangan. Ia tampak membisikkan sesuatu kepada temannya, petugas lain yang bergantian memeriksa Warsiyah.

Sureng sudah berganti angkutan kota enam kali. Berpindah dari bus yang satu ke bus yang lain. Menjelajah berbagai jurusan. Berbagai kota disinggahi dan ditinggalkan. Namun, perjalanan yang sangat melelahkan itu tidak juga mampu menghilangkan kecemasannya. Laki-laki berusia 37 tahun itu merasakan setiap tatapan mata selalu mencurigainya. Setiap tempat dirasakan penuh dengan mata, penuh dengan telinga yang siap membidiknya. Setiap butir-butir udara dirasakan selalu mengawasinya

Barangkali hanya bulan dan gemericik air sungai yang dirasakan tulus menemaninya. Ia sedikit terhibur menatap bulan di dasar sungai. Bulan itu bergoyang diting-kah gemericik air yang menjelma menjadi orkestrasi alam. Angin yang begitu lentur dan piawai memainkan irama air, mempersembahkan musik alam yang indah. Bulan bagaikan penari yang luwes bergoyang. Ia, bulan itu, kadang-kadang tampak lonjong, berkerut-kerut diterjang arus air. Dan, ketika air tenang kembali, bulan itu tampak utuh. Berwibawa.

Menatap lekat-lekat bulan itu, Sureng seperti menatap wajahnya: menggigil sendirian. Bayangan cahaya bulan itu memudar ketika sebuah kerikil jatuh menggelinding sungai-Sureng tergagap oleh gemertak daun-daun kering terinjak kaki. Kecemasan pun kembali mengurungnya. Detak jantungnya makin keras. Sangat keras. Angin mati. Kegelapan dirasakan padat. Menekannya.

Download


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger