Laporkan Jika Ada Link Mati!
Koleksi Buku

Khadijah : Tersingkapnya Rahasia Mim

Setelah Ibrahim dan Hajar meninggalkan Al-Quds, keduanya harus menempuh perjalanan panjang meng- arungi padang pasir. Di belakang mereka hanya ada satu teman perjalanan. Ia adalah "angin sakinah" yang berembus tidak terlalu kencang. Tiupan angin ini begitu sepoi, lembut membelai, seolah hendak mengungkapkan dukungannya kepada keluarga yang tunduk berserah diri itu. Setiap langkah yang diayunkan merupakan satu tataran terangkatnya derajat mereka karena mampu melewati ujian yang akan membuat keduanya dikenang sebagai hamba yang agung dalam sejarah.

Selama berhari-hari, tanpa bicara, mereka terus berjalan. Sang ayah berada di depan, sementara sang ibu berada persis di belakangnya dengan seorang bayi mungil dalam pelukan. Sementara itu, "angin sakinah" menyelimuti mereka dalam tiupan lembut membelai dan terus mengiringi mereka berjalan... terus berjalan.

Mereka kemudian berhenti di suatu bukit kecil yang banyak sisa reruntuhan. Tempat ini dinamakan Bait al-Atik, tempat yang dulu pernah ditinggali Adam, rumah paling tua di dunia yang saat itu dalam keadaan rusak dan reyot, dengan dinding hampir roboh karena hempasan angin dan berada sendirian di antara ham- paran samudra padang pasir yang mengelilinginya.

Hajar lalu bertanya kepada suami dan juga nabi yang diimaninya.

"Akankah Kanda meninggalkan kami berdua di sini?" Tak ada jawaban, tak pernah ada jawaban…

Sampai akhirnya sebuah pertanyaan yang terucap, "Ataukah semua ini adalah sebuah ujian yang diperin- tahkan Allah?"

Ayahanda kita, Ibrahim, dengan wajah menanggung pedih namun berserah diri kepada takdir yang menim panya berkata, "Iya, Dinda akan ditinggal di sini seba- gai perintah dan ujian dari Allah."

Ibrahim pun melangkahkan kaki untuk meninggalkan nya.

Ibunda Hajar hanya seorang diri di tengah-tengah pa- dang pasir dengan bayinya. Ibrahim meninggalkan me reka di Baitul Atik yang tinggal puing-puing bertim- bun pasir. Perintah Allah telah menghendaki yang demikian sebagai ujian sehingga Ibunda Hajar pun men- jadi "Hajar" yang sesungguhnya.

Hajar berarti batu
Ia berarti pula ruangan
buaian
dan juga: mata

Setelah sejenak memandangi hamparan padang pasir di panas terik tanpa ada tempat berteduh, tebersit perasaan papa dalam hati Hajar yang masih muda belia. Memang telah disampaikan jauh sebelumnya bahwa semua ini adalah sebatas ujian baginya. Namun, tetap saja hatinya tersayat dan semakin tersayat oleh lang- kah kaki sang suami yang semakin menjauh mening- galkannya.

Inilah saat awal dimulainya rangkaian ujian. Ibrahim Khalilullah adalah satu-satunya tempat berteduh, seo- rang nabi yang diimani, seorang suami yang dicintai, tempat berbagi dan segalanya baginya.

Kini, ibunda kita hanya seorang diri, sunyi di tengah- tengah hamparan samudra padang pasir dalam usia- nya yang masih muda.

Akankah hanya terus duduk dan menunggu? Ah… setidaknya Ismail masih ada di sisinya.

Ismail adalah buaiannya. Tidaklah mungkin ia tahan terhadap terik padang pasir, haus yang melanda, dan panas mentari tanpa dipayungi yang dapat menghenti kan detak jantungnya. Panik bercampur gelisah hati Hajar. Ia pun bersimpuh di hadapan buah hatinya, memerhatikan dengan penuh iba wajah bayinya yang pucat pasi karena berhari-hari dalam perjalanan. Wa- jah mungil itu lalu diusapnya dan kemudian ditutupi.

"Duhai Allah, janganlah Engkau perlihatkan kematian nya kepadaku," pintanya dalam pilu.

Setelah bersimpuh merintih dalam tangisan, kembali- lah sang ibunda kita dalam kesadaran. Ya, suaminya yang juga seorang nabi telah berpesan bahwa semua ini adalah serangkaian ujian. Untuk itu, ia tidak ingin melewati serangkaian ujian ini hanya dengan duduk menanti. Mungkin saja, seandainya hanya sendiri, akan ia kuatkan ujian ini dengan hanya menanti. Na- mun, sebagaimana jiwa seorang ibu, Hajar menyadari kalau kehidupannya tidak akan mungkin berlalu se- orang diri.

Ia pun kembali bangkit untuk sang buah hati. Demi anaknya, ia basuh wajahnya dari linangan air mata. Ibunda kita itu bangkit untuknya.

Dengan cepat, ia berlari ke bukit Safa. Semakin jauh berlari, dalam pandangannya, bukit itu terlihat penuh dengan rerimbunan pepohonan. Hatinya penuh harap saat berlari ke sana.

Benarkah yang ia lihat hanya mimpi? Ataukah itu hanya sebuah ilusi?

Sesaat Hajar tertegun, tebersit merenungi tabir mimpi itu. Tabir mimpi itu mengentakkan jiwanya untuk ber- lari. Ia kumpulkan kembali tenaga untuk berlari; pela- rian untuk mengejar iradah, harapan, dan kedekatan. Sesuatu yang penuh dengan jiwa yang terbakar, lesatan seorang ibunda ke dalam kobaran unggun perapian.

Sesampai di Safa, matanya menyapu sekeliling bukit. Ia menerawang mencari kailah yang berlalu atau sumber air yang ada di kejauhan. Ia mencari dan terus mencari. Namun, semua itu tiada. Tidak ada sama sekali yang tersapu oleh pandangannya, baik jejak kaki maupun gerakan yang memberikan harapan.

Kemudian, ia kembali berlari dengan cepat menuruni bukit. Ia terus menatap bukit yang lain dalam lesatan kaki berlari. Nama bukit itu adalah Marwa. Kali ini, hatinya penuh harap. Mungkin ia akan mendapati apa yang dicari dengan mendaki puncaknya.

Demikian seterusnya hingga genap tujuh kali ibunda kita naik turun di antara bentangan dua kaki bukit Safa dan Marwa dengan terus berlari. Berlari dan terus berlari sembari hatinya penuh dengan tangis, mendoa, dan merintih dengan kelembutan air susu ibu kepada Ilahi Rabbi. Ia bakar dirinya dengan api tazar- ru' yang membara, seolah dirinya telah menjadi lilin yang berpijar nyala apinya.

Dan Allah telah mengujinya dengan kesendirian. Per- juangannya telah menjadi mahkota ujian suci ini, yang pada akhirnya dijawab dengan air Zamzam yang terkumpul untuknya.

Zamzam adalah air cinta, perjuangan, dan kemaksum an seorang ibu.

Air telah menjadikan kehidupan baru bagi Hajar dan buah hatinya. Pun sebagai hadiah sebuah kota baru bagi umat manusia. Lesatan ibunda Hajar di antara bentangan dua bukit Safa dan Marwa bukan hanya bagi buah hatinya, melainkan juga bagi kota Mekah yang akan dibangun kemudian.

Para penduduk Mekah selalu mengenang perjuangan ini dengan menaruh ke dalam keyakinan penghormat- an atas dua bukit yang telah Allah jadikan sebagai is- yarat. Hajar berupaya mengumpulkan air yang mer- embes dari dalam tanah dengan terus berkata "tung- gu!" seraya membendungi sekitarnya dengan tanah, dengan perasaan khawatir akan lenyap.

"Tunggu… tunggu…."

"Zamzam…."

Lewat dirinyalah air bersejarah itu hingga kini memi- liki nama.

Tatkala tempat di sekitar sumur mulai hijau merim- bun, saat burung-burung mulai beterbangan hinggap di sana, dengan menukik dari ketinggian terbangnya, hal itu menjadikan tanda adanya sumber air bagi para musair yang memandanginya dari kejauhan. Mereka pun mengikuti arah terbang burung-burung itu. Se- sampainya di sana, di saat mereka dapati sebuah su- mur dengan seorang ibu dan putranya, segeralah me- reka berucap salam.

Demikianlah, dengan persyaratan menjunjung hak Hajar dan putranya, para pengembara yang melewati nya satu persatu ditawari menetap di sana. Mereka pun dengan senang hati memutuskan menetap di tem- pat itu. Kabilah Jurhum telah memenuhi janji untuk menjunjung hak Ibunda Hajar dan putranya. Mereka menetap di sana untuk menjadi saksi terbangunnya kota nan indah yang baru: "Bekah".

Para pengembara kaum badui sering melafalkan huruf B berdekatan dengan huruf M sehingga kaum Jurhum kemudian lebih terbiasa menyebut Bekah dengan Mekah. Lalu, tibalah masa putra Ibunda Hajar, Ismail, yang juga seorang nabi seperti ayahandanya, Ibrahim, menikah dengan salah satu putri penduduk Mekah dari al-Quds.

Setelah berabad-abad kemudian, generasi yang berasal dari garis keturunan Jurhum, yaitu Qusay, yang juga menjadi pemimpin bagi kota Mekah, menjadikan garis keturunan nabi terakhir terhubung dari Nabi Ismail, Ibunda Hajar, hingga Nabiyullah Ibrahim.

Buku ini tertulis dengan niat menjelaskan sosok ibun- da mulia Khadijah al-Kubra, yang juga merupakan istri sang utusan terakhir, Muhammad, dan cucu dari Ibunda Hajar yang terlahir berabad-abad kemudian.

Semoga Allah berkenan mencurahkan rida dan rid wan-Nya kepada mereka dan semoga kita yang mewarisinya mampu meneladani kehidupannya dalam guyuran limpahan safaatnya.




Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah

GARIS keturunan Bani Utsmani bersambung pada kabilah Turkmaniyah yang mendiami Kurdistan, pada awal abad ke-7 H (abad ke-13 M). Mereka berprofesi sebagai penggembala. Akibat serangan orang-orang Mongolia di bawah pimpinan Jengis Khan ke Irak dan wilayah-wilayah Asia Kecil; Sulaiman, kakek dari Utsman melakukan hijrah tahun 617 H/1220 M untuk menyelamatkan diri. Bersama kabilahnya, dia meninggalkan Kurdistan menuju Anatolia dan menetap di Kota Akhlath. Sulaiman sendiri meninggal tahun 628 H/1230 M. Dia digantikan salah seorang puteranya bernama Urthughril yang terus bergerak sampai mencapai Barat Laut Anatolia. Bersamanya terdapat sekitar 100 kepala keluarga yang dikawal lebih dari 400 penunggang kuda. 

Tatkala Urthughril, ayah Utsman, melarikan diri bersama keluarganya yang berjumlah sekitar 100 keluarga menghindari serangan orang-orang Mongolia, tiba-tiba dia melihat dengan jelas sebuah keributan. Tatkala mendekati lokasi keributan itu, disana dia mendapati satu pertempuran sengit antara kaum muslimin dan orang-orang Nasrani. Ketika itu, pendulum kemenangan berada di pihak orang-orang Byzantium. Melihat kenyataan tersebut, hati Urtughril terdorong untuk menolong saudara-saudaranya kaum muslimin. Bantuan ini ternyata menyebabkan kemenangan di pihak kaum muslimin atas orang-orang Nasrani. 

Seusai pertempuran, komandan pasukan Saljuk memberi penghargaan atas sikap dan bantuan Urtughril bersama rombongan. Dia memberikan sebidang tanah di perbatasan Barat Anatolia, di dekat perbatasan Romawi. Selain itu, dia diberikan wewenang menaklukkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Dengan demikian, pemerintahan Saljuk telah berhasil membentuk sekutu baru dalam berjihad melawan orang-orang Romawi. Persekutuan antara Saljuk dan negeri baru itu terjalin kuat, adanya satu musuh bersama (common enemy).

Aliansi itu terus terjalin kuat selama masa hidup Urtughril. Urtughril sendiri meninggal tahun 699 H/1299 M. Setelah meninggal dia digantikan oleh anaknya yang bernama Utsman. Dalam menjalankan roda pemerintahan, dia mengikuti kebijakan ayahnya dalam memperluas wilayah di negeri-negeri Romawi.

Pada tahun 656 H/1267 M, Utsman anak Urtughril lahir. Utsman inilah yang kemudian menjadi nisbat (ikon) kekuasaan Khilafiah Utsmaniyah. Tahun kelahirannya bersamaan dengan serbuan pasukan Mongolia di bawah pimpinan Hulaku yang menyerbu ibukota Khilafah Abbasiyah, Baghdad. Penyerbuan ini merupakan tragedi paling mengenaskan dalam sejarah kaum Muslimin.

Tentang kejamnya serbuan Hulaku itu, Ibnu Katsir menjelaskan, "Mereka datang menyerbu Baghdad, membunuh siapa saja yang bisa mereka bunuh baik laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua, orang jumpo, maupun remaja. Saking ketakutan, banyak orang yang bersembunyi beberapa hari di dalam sumur, di tempat-tempat binatang buas, tempat-tempat kotor, atau sama sekali tidak berani keluar rumah. Ada sebagian orang yang berusaha bersembunyi di dalam toko-toko, lalu mereka menutupkan pintu. Namun pasukan Mongol membuka pintu dengan paksa, baik dengan cara mendobrak atau membakar. Kemudian mereka memasuki toko-toko itu dan menyeret orang-orang di dalamnya ke atas atap-atap rumah, lalu dibunuh disana sehingga darah mengalir demikian derasnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Demikian pula orang-orang yang sembunyi di dalam mesjid, tempat-tempat pertemuan, semuanya dibunuh. Tak ada yang selamat kecuali mereka yang berasal dari kalangan Ahli Dzimmah, yaitu Yahudi orang-orang Nasrani dan orang-orang yang meminta perlindungan pada mereka.”




 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger