Laporkan Jika Ada Link Mati!
Koleksi Buku

Acep Pejuang Kecil

Buku ini menurut Mimin : Sangat bagus, apalagi dibaca pas bulan Agustus gini, biar kita sebagai generasi saat ini tau betapa berat perjuangan orang-orang terdahulu dalam memerdekakan negara ini dari penjajahan.

Sedikit ulasannya : Suatu sore, sehabis melayani serdadu-serdadu piket, seperti biasa Acep menganggur. Serdadu-serdadu itu tampak tenang-tenang saja, bahkan tampak sangat letih. Gerakannya lamban, senyum tawanya hilang, bahkan kegalakannya juga hilang. Kehadiran Acep di sana mulai tidak diganggu dan juga tidak dilarang. Hal ini sebenarnya merupakan kebebasan bagi Acep, tetapi Acep justru jadi menganggur.

Sebagai perintang waktu ia berdiri di depan markas dekat serdadu yang sedang jaga di rumah jaga. Ia memandang ke jalan yang sunyi. Tidak seorang pun yang lalu karena hari mulai gelap. Penduduk kota itu jarang yang berani lewat di depan markas.

Mula-mula Acep tidak sengaja memandangi deretan gedung-gedung di seberang itu. Matanya tertuju pada seorang yang sedang duduk di antara dua buah gedung. Orang itu seperti menatap dia. Orang itu tidak henti-hentinya memandang ke arah Acep, seolah-olah meminta agar Acep mendekat. Orang itu kelihatan sangat mengharapkan kedatangan Acep.

Seperti kena sihir Acep berjalan ke seberang mendekati orang itu.

"Selamat sore, Acep," kata orang itu menyapa.

Acep sangat terkejut. Dari mana orang itu mengetahui namanya?

"Yah, aku tahu namamu Acep. Serdadu-serdadu itu selalu memanggilmu demikian. Namamu sederhana tetapi mudah dikenal," katanya lagi.

"Selamat sore, Tuan siapa?" tanya Acep memberanikan diri.

"Sebut saja, Pak Namaku Kartono. Jadi, Pak Kartono atau Pak Ton."

"Sudah lama, bukan, kau tinggal di situ?" tanyanya lagi.

Acep tidak menjawab. Ia memandangi orang asing itu.

"Masuk gang itu lebih dulu. Aku akan menyusulmu nanti," permintaan orang asing itu.

Seperti tadi, seperti kena sihir Acep menurut saja perintah orang yang mengaku Pak Ton itu. Meskipun tidak tahu maksud orang itu, tetapi Acep terus saja menyusuri gang itu. Ia berjalan sambil berulang kali menoleh ke belakang. Ia sudah masuk kira-kira seratus meter, tetapi Pak Ton belum juga menampakkan diri. Tiba-tiba ketika timbul pikiran hendak kembali, orang itu menegur.

"Marilah ke tikungan itu."

Agaknya orang itu menyusul dari arah yang berlawa- nan.

"Bagaimana? Kau senang di sana?" tanyanya lagi.

"Sudah makan? Nasi beras tentu. Berlauk daging," tanyanya menyindir.

Acep diam saja. Bagaimana ia harus menjawab? Untuk apa pertanyaan itu dijawab? Memang demikianlah halnya.

"Kau kenal mereka?"

Acep menggelengkan kepala.

"Berapa orang biasanya yang jaga? Kapan biasa diganti?"

"Dua belas orang. Diganti tiap sore."

"Apa kerja mereka jika tidak berada di depan?"

"Paling main gaple atau catur. Malah pemimpinnya tiduran saja di kamar."

Setelah mengangguk tanda mengerti orang itu bertanya lagi "Kau tahu di mana tempat tinggal komandan yang dihormati oleh semua serdadu apabila ia lewat atau ketika sedang apel?"

"Tahu, di bagian tengah, di rumah yang menyendiri itu," Acep menjawab sambil menunjuk pada bangunan yang letaknya agak terpisah dari bangunan lain.

"Kau tahu di mana serdadu-serdadu itu mengambil senjata atau peluru?"

"Tahu. Di bangunan yang dilindungi dengan karung-karung pasir yang sangat tinggi itu "

"Kau tahu di mana mobil-mobil itu mengambil bensin?"

Orang itu masih terus bertanya seakan-akan ingin mengetahui liku-liku markas itu sampai pada hal yang paling kecil sekali pun.

"Oh, itu di pojok sana, dekat dapur umum, di belakang gudang senjata."

"Apakah ada meriam-meriam yang dipersiapkan yang terlindung oleh barikade-barikade atau karung-karung pasir yang tinggi itu?"

"Wah, saya kurang tahu."

Setelah berdiam sebentar orang itu bertanya lagi, "Nah, aku minta kamu memeriksa sekali lagi yang telah kutanyakan itu. Besok, waktunya seperti sekarang ini, kita berjumpa di sini. Aku menunggu laporanmu."

Acep agak lama terdiam. Mengapa orang ini bertanya terus dan soalnya macam-macam? Mengapa orang ini memerintah seperti seorang komandan tentara? Apa hubungannya dengan dia?
https://www.mediafire.com/file/kph87gjjkkr42mj/Acep%20Pejuang%20Kecil.rar

Misteri Gadis Tengah Malam

Buku ini menurut Mimin : Serem! Apalagi kalo bacanya sendirian tengah malem di pemakaman umum atau di kebun bambu He-he... Bintang 7 deh dari 10, cuma harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak sebab dibeberapa bagian mengandung unsur yang tidak kita inginkan bersama-sama Hehe...

Sekelumit ceritanya : "Normaaan...! Norrr...! Lupakah kauuu...? Lupakah kau padaku, Norman...!"

Norman segera melompat dari pembaringannya dan membuka jendela. Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding. Matanya melebar, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela kamarnya. Padahal suara tadi jelas terde- ngar di depan jendela, seakan mulut perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya suaranya didengar Norman. Tetapi, nyatanya keadaan di luar kamar sepi-sepi saja.

"Brengsek!" geram Norman. Ia menunggu beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu tidak terdengar lagi.

Norman mengeluh kesal sambil duduk di kursi belajar- nya. Ia menyalakan lampu belajar yang ada di meja kamar. Kamar menjadi terang. Cermin di depan meja belajar menampakkan wajahnya yang sayu.

Pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuknya deng an lembut. Pelan sekali, seakan pengetuknya sengaja hati-hati supaya suara ketukan tidak didengar penghuni pondokan yang lainnya. Norman melirik ke arah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu, ia mendengar suara perempuan di seberang pintunya.

"Nor... Normaaan...!"

"Siapa...?!" tanya Norman dengan nada kesal, karena ia tahu bahwa suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya itu sama persis dengan suara yang meng- ganggunya sejak tadi. Tapi, karena tidak ada jawaban dari pengetuk pintu, Norman berseru lagi, "Siapa sih?! Jawab dong!"

"Aku...!"

"Aku siapa?! Sebutkan!" Norman sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu.

"Kismi..."

Mata Norman jadi membelalak. Kaget.

"Kismi...?!" desahnya dengan nada heran sekali. Ia mengenal pemilik nama itu, tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau Kismi akan datang, apalagi lewat tengah malam begini. Norman pun akhirnya bergegas membukakan pintu setelah ia sadar, bahwa suara yang sejak tadi memanggilnya itu memang suara Kismi.

"Sebentar, Kis...!" kata Norman, yang kemudian segera membukakan pintu.

"Hah...!" Ia terperanjat dengan jantung berdetak-detak.

Di luar kamarnya, tidak ada siapa-siapa. Sepi. Hanya hembusan angin yang dirasakannya begitu dingin dan membuat tubuhnya merinding lagi. Dalam keadaan bingung dan berdebar-debar itu, Norman masih me- nyempatkan diri berpaling ke kanan-kiri, mencari Kis- mi yang menurutnya bersembunyi. Tapi, tak terlihat bayangan atau sosok seseorang yang bersembunyi. Di kamar mandi? Tak mungkin. Kamar mandi terlalu jauh dari kamar Norman jika akan digunakan seseorang untuk berlari dan bersembunyi. Sebelum orang itu sem pat bersembunyi, pasti Norman sudah melihatnya lebih dahulu.

"Kismi...?!"

Norman mencoba memanggil perempuan yang dikenal nya kemarin malam itu, tetapi tidak ada jawaban. Makin merinding tubuh Norman. dan semakin resah hatinya di sela debaran-debaran mencekam.

Karena ditunggu beberapa menit Kismi tidak muncul lagi, bayangannya pun tak terlihat, maka Norman pun segera menutup pintu kamarnya dengan hati bertanya-tanya: "Ke mana dia?"
Mendadak gerakan penutup pintu itu terhenti. Mata Norman sempat menemukan sesuatu yang mencuriga- kan di lantai depan pintu. Aneh, namun membuatnya penasaran.

"Kapas?"

Hati semakin resah, kecurigaan kian mengacaukan be- naknya. Segumpal kapas jatuh di lantai depan pintu. Se dikit bergerak-gerak karena hembusan angin. Ada rasa ingin tahu yang menggoda hati Norman. Maka. dipung utnya kapas itu.

Ketika tubuh Norman membungkuk untuk mengambil kapas, tiba-tiba angin bertiup sedikit kencang. Kapas itu bergerak, terbang. Masuk ke kamar. Gerakan kapas sempat membuat Norman yang tegang terperanjat sekejap.

Pintu ditutup dan kapas itu dipungutnya. Ia segera melangkah ke meja belajarnya, mencari tempat yang terang. Ia memperhatikan kapas itu di bawah penerangan lampu belajarnya.

"Apakah kapas ini milik Kismi?" pikirnya sambil meng amat-amati segumpal kapas yang kurang dari satu genggaman.

Ada aroma bau harum yang keluar dari kapas itu. Bau harum itu mengingatkan Norman pada jenis parfum yang baru sekali itu ia temukan. Parfum yang dikena- kan pada tubuh Kismi.

"Aneh?! Mengapa Kismi tidak muncul lagi?" pikirnya setelah setengah jam lewat tak terdengar suara Kismi maupun ketukan pintu. "Mengapa ia hanya meninggalkan kapas ini?

Lalu kapas untuk apa ini? Apakah Kismi sakit? Apakah ia hanya bermaksud mengingatkan kenangan sema- lam?"

Norman tertawa sendiri. Pelan. Ia kembali berbaring dengan jantung yang berdebar takut menjadi berdebar indah. Kapas itu diletakkan di samping bantalnya, sehingga bau harum yang lembut masih tercium oleh- nya. Pikiran Norman pun mulai menerawang pada satu kenangan manis yang ia peroleh kemarin malam. Kisah itu, sempat pula ia ceritakan kepada Hamsad, teman baiknya satu kampus dan Hamsad sempat tergiur oleh cerita tentang Kismi.

http://www.mediafire.com/file/80gokpv1zts01yf/Misteri_Gadis_Tengah_Malam.rar

Download

Harlequin - Marriage Of Sale

"Ah, lupakanlah,” kata Linc sambil membelai Rachel lembut. ”Itu tidak penting,”

Tapi Rachel tidak bisa berhenti berpikir. "Tunggu dulu. Apa yang tidak penting?” Rachel mendorong tangan Linc lalu duduk. Kedua tangannya menutupi pipinya yang memerah. "Ya ampun. Oh Linc. Aku tidak mau harus mengatakannya dengan cara ini. Seharusnya aku bilang sejak awal, tapi aku begitu terhanyut, aku betul-betul lupa. Seharusnya aku bilang waktu pertama kali aku dan Linda ke klinik, tapi aku malu dan tidak yakin pada Keputusanku—"

"Wow, Sayang. Pelan-pelan. Aku tidak mengali apa yang kaubicarakan."

"Aku bicara tentang apa yang ada di dalam bungkusan kecil itu," bisik Rachel.

"Itu alat KB."

"Kau tahu tentang alat KB?” sekarang Linc yang kaget.

"Ya. Aku dan Linda pergi ke klinik. Dia perlu diperiksa dan dia pikir aku juga perlu Dokter bertanya apa aku sudah menikah, dan saat aku bilang ya, dia menunjukkan macam-macam alat KB. Aku pilih pil.”

"Kau pilih pil?”

"Oh, sayang. Seharusnya aku berkonsultasi dulu denganmu."

"Jadi kau minum pil KB. begitu maksudmu?”

"Sudah lebih dari sebulan. Linda membawaku ke klinik minggu pertama aku di sini."

Linc mencium Rachel dan menggosok hidungnya dengan penuh kasih.

"Rachel, tiap hari kau membuatku makin kagum. Kau tahu itu?”
"Kau yang membuatku kagum, Linc.”
"Ah, lupakanlah,” kata Linc sambil membelai Rachel lembut. ”Itu tidak penting,”

Tapi Rachel tidak bisa berhenti berpikir. "Tunggu dulu. Apa yang tidak penting?” Rachel mendorong tangan Linc lalu duduk. Kedua tangannya menutupi pipinya yang memerah. "Ya ampun. Oh Linc. Aku tidak mau harus mengatakannya dengan cara ini. Seharusnya aku bilang sejak awal, tapi aku begitu terhanyut, aku betul-betul lupa. Seharusnya aku bilang waktu pertama kali aku dan Linda ke klinik, tapi aku malu dan tidak yakin pada Keputusanku—"

"Wow, Sayang. Pelan-pelan. Aku tidak mengali apa yang kaubicarakan."

"Aku bicara tentang apa yang ada di dalam bungkusan kecil itu," bisik Rachel.

"Itu alat KB."

"Kau tahu tentang alat KB?” sekarang Linc yang kaget.

"Ya. Aku dan Linda pergi ke klinik. Dia perlu diperiksa dan dia pikir aku juga perlu Dokter bertanya apa aku sudah menikah, dan saat aku bilang ya, dia menunjukkan macam-macam alat KB. Aku pilih pil.”

"Kau pilih pil?”

"Oh, sayang. Seharusnya aku berkonsultasi dulu denganmu."

"Jadi kau minum pil KB. begitu maksudmu?”

"Sudah lebih dari sebulan. Linda membawaku ke klinik minggu pertama aku di sini."

Linc mencium Rachel dan menggosok hidungnya dengan penuh kasih.

"Rachel, tiap hari kau membuatku makin kagum. Kau tahu itu?”

"Kau yang membuatku kagum, Linc.”

Aroma rumput segar mengingatkan Linc pada hari pertama mereka bertemu. Rasanya sudah begitu lama meski baru beberapa minggu. Linc ingat betapa gugupnya Rachel saat dia memegang tangannya dalam upacara pernikahan mereka yang seperti mimpi.

Hari ini adalah yang sesungguhnya.

Linc berguling ke samping dan berbaring telentang, menyandarkan kepala Rachel di bahunya. Rachel mendesah puas dan Linc juga hampir melakukannya, tapi ingatan tentang percakapan pertama mereka dan janji-janji pernikahan mengusik hati kecilnya. Dia pernah mengatakan pada Rachel bahwa pernikahan mereka pasti akan dibatalkan. Tapi dia juga sudah berjanji untuk melindungi dan menyayanginya seperti layaknya suami pada istrinya. Dialah yang membuat Rachel merasa seperti istrinya. Tidak heran Rachel berharap pernikahan ini akan berjalan terus. Parahnya lagi, Linc masih saja membuat janji-janji. Janji-janji yang diikat dengan ciuman dan percintaan yang dahsyat.

Download

Lupus - Makhluk Manis Dalam Bis

Buku ini menurut Mimin : Bagus... ceritanya simple meski gak mpe klimaks, namanya juga novelet. Lucu, udah pasti.... yang jelas, Mimin Upload sebelum berangkat Jum'atan hehe...

Nukilan Cerita : Tepat jam satu tengah hari bolong mereka selalu tampak asyik menunggu bis jurusan Blok M. Lupus, Aji, Boim, dan Gito. Rada aneh juga, rumah mereka jadi mendadak pada pindah ke Blok M semua.

Selidik punya selidik ternyata mereka itu lagi ngejar cewek. Nggak tau anak sekolah mana. Yang pasti setiap jam satu, wajah manisnya selalu nampak di jendela bis jurusan Blok M. dekat pintu depan. Matanya yang bulat bersinar, rambutnya yang panjang terurai dengan tubuh yang mungil. sempat membuat cowok-cowok kece SMA Merah Putih itu terkagum-kagum.

Mereka melihatnya tiga hari tang lalu. ketika mereka punya rencana mau makan-makan di Blok M, dalam rangka memperingati hari yang paling bersejarah dalam kehidupan Boim, karena dia berhasil memenangkan hadiah porkas setelah sebelas kali ikut. Dan saat itu mereka berempat secara serempak melongo di pintu bis mengagumi makhluk cantik yang duduk dengan manisnya di dekat jendela. kondektur bis yang bawaannya nggak mau sabar, sempat gahar juga. "He, lu pada niat nggak sih naik bis gue? Kok terbengong-bengong begitu?"

Lupus cs yang kaget dibentak begitu, menjawab secara. "Kita lagi berdoa dulu kok biar selamet di jalan."

Dan sejak itu, setiap malam, mereka punya mimpi yang sama. Tentang gadis di dalam bis.

Makanya hari-hari berikutnya, mereka jadi sering kedapatan menunggu bis jurusan Blok M. Setiap ada teman yang nanya, mereka serempak menjawab mau shopping ke Blok M.

"Kok tiap hari shopping-nya?" "Maklumlah namanya juga orang kaya."

Dan sang penanya pun langsung berlalu dengan wajah dongkol.

Bis yang ditunggu datang. dan mereka berempat serempak bangkit dengan semangat. Tak peduli bis tersebut sudah penuh sesak, mereka tetap bela-belain mengejarnya.

"Stop, Bang! Stop!" teriak mereka sambil berlompatan ke dalam bis yang enggan berhenti. Sang kondektur melirik jengkel pada mereka. Bukan apa-apa, makhluk-makhluk ini kalau naik bis pada riburt sekali. Padahal bayarnya cuma gocap. Dia apal betul. Terutama dengan Lupus yang selalu mengulum permen karet. Atau Boim, playboy SMA Merah Putih yang wajahnya gabungan Jaja Miharja dan Benyamin (wah, mentok banget deh!).

Dan seperti ramalan sang kondektur, kala penumpang sudah banyak yang turun, makhlukmakhluk SMA Merah Putih itu mulai menggoda-goda cewek tadi dengan ributnya.

"Hai. Cewek, kenalan dong. Nama saya Boim. Cowok paling kesohor di SMA Merah Putih. Pernah jadi cowok sampul majalah... Bobo. Saya punya motor bebek merah, yang sekarang karena satu dan lain hal- Lagi ngadat nggak bisa dipakai. Mungkin tali kipasnya putus (bego juga si Boim ini, motor mana ada tali kipasnya?). Tapi jangan kuatir. motor saya yang Iainnya banyak kok. Tinggal pilih aja mau pakce yang mana. Setiap hari ganti-ganti. Di samping itu, saya ini bintang film lho. Saya sering nongol di tipi dalam acara..."

"Flora dan Fauna!" celetuk Gito dari belakang.

"Bukan! Aneh tapi Nyata!" Lupus ikutan ngomong, membela Boim.

Boim melotot sewot ke arah Lupus dan Gito yang cekikikan.

"Jangan dengarkan mereka, Cewek manis. Maklum aja, orang top memang banyak yang nyirikin. Tapi saya udah biasa. Nah, mau kan kenalan sama saya?"

Cewek itu tak bereaksi. Cuma senyum dikit.

https://www.mediafire.com/file/fszu3h2huu2g2k0/Lupus%20-%20Makhluk%20Manis%20Dalam%20Bis.rar

Lupus - Tangkap Daku Kau Kujitak!

Komentar Mimin sama Novel ini : Selalu bintang 8 dari 10, sebab novel ini seangkatan sama Mimin eh... maksudnya asyik buat dibaca, gak bikin jenuh dengan alur yang bertele-tele. dan lebih asyiknya lagi, novel ini LUCU!

Sedikit Cuplikannya : Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti lagu lama yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?

Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung menuju bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk minta salinan pe-er.

Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.

Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.

"Kamu mau apa?" sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus.

Lupus kaget dan menoleh.

"Saya..."

"Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?"

"Belum. Saya justru lagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong..." sahut. Lupus sedih.

Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.

"Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... "

"Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?" bantah Poppi ketus. "Alasan apa lagi yang mau kamu katakan sekarang?"

"Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman-teman Iain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... "

"Ini lebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab!" teriak Poppi. "Kamu egois! Pengecut!"

Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stopwatch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.

"Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak usah berdalih macam-macam!" suara Poppi melemah. Lupus kelihatan ragu.

"Saya..."

"Ya, kenapa?" desak Poppi tak sabar.

"Saya nggak tau rumah kamu .... " suara Lupus pelan sekali.

"Apa?" Poppi terbelalak.

"Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu sekali dengan kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat saya untuk pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak tau apa yang harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau saya tak pernah punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjemputmu? Kau mau memaafkan saya? Lain kali, saya Janji..." suara Lupus makin pelan.

Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya. Hanya matanya yang menatap lebih bersahabat.

https://www.mediafire.com/file/3cxvu3qayvznqh1/Lupus%20-%20Tangkap%20Daku%20Kau%20Kujitak.rar

Pendekar Wanita Penjebar Bunga

Yang Tjong Hay telah saksikan itu semua, dia berlompat memburu. Dia ada sangat lincah, gerakannya sangat pesat. Kepandaiannya ilmu enteng tubuh memang istimewa.

Sin Tjoe dapat lihat orang datang, ia memapaki dengan satu tikaman tombak.

"Crok!" demikian satu suara benterokan, dan ujung tombak itu terbabat kutung!

Tanpa menghiraukan tombaknya buntung, Sin Tjoe mengeprak kudanya, supaya binatang itu berlompat maju, guna pergi menyingkir lebih jauh.

"Awas!" teriak Tjong Hay, yang sudah lantas menimpuk dengan ujung tombak lawannya itu.

Sin Tjoe menangkis, tetapi tombak itu terpental ke samping, tepat nancap di pundaknya Tjoei Hong, hingga darahnya si nyonya lantas saja bercucuran keluar.

"Panah!" Tjong Hay berteriak pula, mengasi titahnya.

Ie Sin Tjoe putar tombak buntungnya, untuk mengeprak jatuh setiap anak panah. Dan kudanya, di lain pihak, sambil meringkik keras, sudah berlompat, untuk kabur. Dia dapat lari keras walaupun punggungnya memuat tiga orang. Sama sekali binatang ini tidak menjadi kaget dengan datangnya anak-anak panah.

Tiba-tiba saja San Bin ingat suatu apa dan terus berseru: "Mari kita tolongi si pengurus rumah makan!"

"Lambat sedikit saja, kita semua tidak bakal lolos!" Sin Tjoe bilang.

"Toako, kau perlu lolos terlebih dulu," Tjoei Hong pun bilang.

"Dia telah tolongi kita, apa boleh kita tidak menolongi dia?" tanya San Bin keras.

Justeru itu terdengar teriakan aneh dari Law Tong Soen, kapan San Bin menoleh ke belakang, ia tampak si tongnia Gielimkoen tengah mengangkat tu-buhnya pengurus rumah makan itu, kedua tangan siapa telah tertelikung, setelah mana orang dilemparkan kepada satu perwira berpangkat geetjiang. Habis itu, Tong Soen lari memburu.

Saking gusar dan mendongkol, San Bin berseru keras, hingga ia memuntahkan darah, habis mana ia pingsan, tubuhnya terjatuh ke belakang, syukur Tjoei Hong lantas menyamber untuk dipeluki.Dengan tangannya yang sebelah lagi, nyonya ini mainkan goloknya, untuk melindungi diri. Di waktu begitu, ia melupakan luka di pundaknya.

Kuda putih lari terus, akan membuka jalan di antara serdadu-serdadu tukang panah itu. Di mana kuda sampai, orang lari menyingkir. Maka sebentar kemudian, kuda jempolan ini sudah meninggalkan jauh tentera negeri itu, malah Yang Tjong Hay pun tidak sanggup mengejarnya, hanya ia penasaran dan menya-yangi yang kuda itu dapat lolos. Achirnya ia menjadi seperti nekat, ia siapkan panahnya, dengan mengertak gigi, ia menarik tali panah. Di saat itu, ia bersangsi pula, maka sejenak kemudian, kuda putih itu dan penunggangnya semua telah pergi jauh...

Untuk beberapa lie, kuda itu kabur terus, sampai di jurusan timurnya terdengar suara tambur dan terompet tentera. Ie Sin Tjoe tidak ingin bertemu pula sama tentera negeri, ia tarik les kuda, untuk lari ke arah barat, hingga di lain saat mereka berada di mana tak ada seorang lain jua. Di sini kuda lari di jalanan gunung yang sempit dan berliku-liku.

Sampai di situ, lega hatinya Tjoei Hong, tetapi justeru itu, ia seperti kehabisan semangat, hingga ia rasai tubuhnya lemah, tubuh itu bergoyang- goyang seperti hendak jatuh dari atas kuda.

Sin Tjoe lihat orang lelah, ia lantas memeluk. Ia sekarang melihat tegas darah di pundak nyonya itu, yang masih mengalir. Tidak ayal lagi, ia buka baju si nyonya, untuk di atas kuda juga mengobati lukanya itu.

Sampai di situ, San Bin pun sadar dengan pelahan-lahan. Ia terkejut akan menyaksikan Sin Tjoe tengah mengolah tubuh isterinya. Ia lantas ulur sebelah tangannya, guna merangkul isterinya itu, dengan hawa amarah naik, ia membentak: "Eh, kau bikin apa?"

Sin Tjoe terkejut akan mendapati orang bergusar. Dalam sesaat itu, ia lupa bahwa ia dandan sebagai satu anak muda.

Tjoei Hong tertawa tiba-tiba. Ia kata: "Toako, kau bikin berisik apa? Dia adalah satu nona!"

Ia ingat halnya dulu In Loei, yang telah permainkan padanya, maka itu, setelah pengalamannya itu, ia lantas ketahui Sin Tjoe adalah satu nona.

Sin Tjoe pun tertawa, terus ia kasi turun kopianya, hingga terlihat rambutnya yang bagus.

"Tjioe Tjeetjoe, untuk apa kau bercem- buru?" ia pun menanya sambil tertawa.

San Bin tahu ia ke-cele, ia jengah sendirinya, tetapi lekas ia menghaturkan maaf.

Ketika itu matahari sudah doyong rendah ke barat, manusia dan kuda letih bersama. Sin Tjoe lompat turun dari kudanya, ia membantui suami isteri itu turun. Ia pun lantas periksa lukanya San Bin, Kalau luka Tjoei Hong tidak mengenai urat atau tulang, luka itu tidak berbahaya, tidak demikian dengan tjeetjoe ini, jeriji tangannya Tong Soen membuatnya ia terluka parah. Sin Tjoe lantas kasi ia makan dua butir pil Siauwyang Siauwhoan tan dan menitahkannya dia beristirahat.

Berselang lama juga, San Bin merasakan kesegarannya pulih sedikit. Ingat kepada lukanya, ia jadi sengit. Katanya: "Pernah aku berperang sama tentera Watzu, sampai beratus kali, belum pernah aku terkalahkan sebagai ini. Sakit hati ini mesti aku balas!"

Tjoei Hong hiburkan suami itu.

"Mana gurumu?" ke-mudian San Bin tanya Nona Ie. "Oleh karena kami mendengar kabar pemerintah bermaksud tidak baik terhadapnya, kami sengaja datang untuk menyambut padanya. Apakah dia tidak kurang suatu apa?"

"Soehoe sudah menyingkir sejak siang- siang," sahut Sin Tjoe. "Untukmu ia telah titipkan sepucuk surat."

Nona itu lantas keluarkan surat gurunya itu.

San Bin sambuti surat itu, untuk dibuka dan dibaca, habisnya, ia menghela napas: "Ah! Gurumu melarang aku menuntut balas!"

"Apakah yang Thio Tan Hong tulis?" Tjoei Hong tanya.

"Dia bilang di pesisir timur selatan keamanan tengah terganggu oleh perompak-perompak bangsa kate, jikalau aksinya kawanan perompak itu tidak dicegah, mereka bisa menjadi bencana besar di belakang hari," sahut San Bin. "Karena ini ia menghendaki aku memecah sebahagian tenteraku, guna dipin-dahkan ke Kanglam, untuk bekerja sama kawan sepaham di pesisir timur selatan itu untuk menentang pengaruhnya perompak- perompak bangsa kate itu. Inilah bukan pekerjaan gampang."

"Apakah yang sulit?" Sin Tjoe menanya.

"Pertama-tama kita orang Utara tidak bisa berenang," jawab San Bin. "Kedua kita telah lama bermusuh sama pemerintah, sekarang kita mesti bawa pasukan tentera melintasi tempat-tempat jagaan pemerintah, sulitnya bukan main. Ketiga, dengan begini apa kita bukan seperti juga membantu pemerintah si orang she Tjoe itu?"

"Kau telah belajar si-lat, apakah kau anggap belajar berenang lebih sukar daripada belajar silat itu?" Sin Tjoe tanya.

"Tentu saja belajar silat ada terlebih sukar."

Si nona lantas ter-tawa.

"Kalau begitu, kesu- karanmu yang pertama itu tidak beralasan!" ia berkata. "Siapa pun tak bisa begitu dilahirkan lantas dapat berenang. Orang Utara juga, satu kali dia sampai di Selatan, dia bakal bisa berenang. Kita bisa belajar berperang di air."

"Dan tentang kesulitan tentera kita berangkat ke selatan," Tjoei Hong turut bicara, "untuk bisa melintasi tempat jagaan tentera negeri, baiklah kita atur supaya mereka menyamar sebagai pelbagai golongan penduduk, jalannya pun dengan berpencaran. Kita mesti masuk ke Selatan dengan menyelundup."

San Bin tertawa.

"Kamu berdua mem-bilang begini, aku jadinya tak seperti kamu kaum wanita!" ia kata. "Aku bukannya tidak mengarti maksudnya Thio Tan Hong, bahwa menolongi rakyat dari ancaman bahaya adalah tugas kita.

Memang tidak dapat aku menampik. Aku hanya tidak puas kita keluarkan tenaga untuk pemerintah si orang she Tjoe. Pemerintahlah yang mesti tolong rakyat di Selatan itu. Kalau sekarang kita yang menolongi, habisnya, pemerintah bakal melabrak musna pada kita!"

"Tetapi kau harus ingat, toako, Thio Tan Hong sendiri tidak mengutarakan penasaran seperti kau ini," berkata Tjoei Hong, sang isteri. "Bicara perihal sakit hati, dia sebenarnya lebih mem-benci dan mendendam kepada pemerintah!"

San Bin memang mengarti soal itu.

"Baiklah!" katanya. "Asal kita bisa pulang ke tempat kita, akan aku kerahkan tenteraku..."

https://www.mediafire.com/file/hidl9dhk454hi7l/Pendekar%20Wanita%20Penjebar%20Bunga%20-%20San%20Hoa%20Lie%20Hiap%20%283%20Jilid%29.rar

Dua Musuh Turunan

Pada matanya In Loei, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan. Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun. Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri?

Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercingcang goloknya kaum Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya.

"Adik In," terdengar pula San Bin berkata, "sejak kau meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau"

Suara ini sangat perlahan, manis terdengarnya.

"Banyak terima kasih untuk perhatianmu," katanya, lemah.

Kecewa San Bin melihat orang lesu.

"Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau," berkata pula pemuda she Tjioe itu, "sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baharu satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio Tjong Tjioe sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangannya Thio Tjong Tjioe ke Tionggoan, tidak nanti dia mengandung maksud baik, pasti dia bertujuan untuk mengacau balau Tiongkok, maka itu ayah menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah, loklim tjian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Tjio Eng, dari itu aku sudah lantas cari ketua she Tjio itu. Sayang, ketika aku sampai di rumahnya, Tjio looenghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Tjio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantunya Tjio looenghiong itu. Selagi aku cari Tjio looenghiong, dia sendiri sedang mencari kau. Haha, adik In, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Tjio itu sungguh-sungguh menyintai kau!"

In Loei bersenyum.

"Bagaimana kau lihat Nona Tjio itu?" ia tanya.

"Ilmu silatnya cukup baik," sahut San Bin.

"Yang lainnya lagi?" tanya pula In Loei.

"Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?" San Bin membaliki.

In Loei bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya loklim tjian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung. Tjio Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas.

San Bin tidak tahu apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak. Ia bicara terus.

"Itu hari bersama-sama nona Tjio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming," kata dia. "Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira kira empat puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus    "

"Bagaimana dengan nona Tjio?" tanya In Loei.

San Bin tertawa.

"Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!" katanya. "Terus menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak angkatmu? Ada hubungan apa antara nona Tjio itu dengan aku?"

Di dalam hatinya, In Loei tertawa. Ia ingat hal¬nya sendiri pada malam pengantin, terhadap Tjoei Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin.

San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula: "Oleh karena kita gagal mengejar musuh itu, Tjoei Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikin banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwanya    "

Tanpa merasa, In Loei tertawa.

San Bin berkata pula:    "Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya selaku tanda mata, terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu."

In Loei tertawa.

"Tetapi kali ini adalah kau yang memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang memberikannya!" katanya.

San Bin tercengang, wajahnya segera berubah menjadi merah.

"Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti aku robek mulutmu!" Dan ia ulur tangannya.

In Loei palingkan mukanya, masih ia tertawa.

"Mari kita bicara dari hal urusan yang benar," ia kata kemudian. "Nona Tjio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah Loklim tjian itu?"

"Itu adalah kejadian yang kebetulan saja," jawab San Bin. "Sesudah nona Tjio tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hongthianloei Tjio Eng, ayahnya itu. Tjio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain."

"Bukankah Tjio looenghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?" In Loei tanya.

"Benar! Dia jalan terburu-buru seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta Loklim tjian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata: "Nama Kimtoo Tjeetjoe sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Loklim tjian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau. Siauwtjeetjoe, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Heksek tjhoeng, nanti kita pasang omong dengan asyik    

Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Loklim tjian padaku, terus ia ajak ke empat saudagar itu melanjutkan perjalanannya."

"Oh, demikian duduknya hal"

In Loei berpikir.

"Coba Tjio Eng menanyakannya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she Tjioe ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini    "

"Aku bertemu dengan Tjio looenghiong di dekat tanjakan Bengliangkong," berkata pula San Bin, "tempat itu adalah daerah pengaruhnya Tjeetjoe Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Loklim tjian kepadanya sambil menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh kaum Rimba Hijau.

Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Tjio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In, kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa? Kenapa kau kelihatannya tidak gembira?"

San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu ditegur, dia telah paksakan diri untuk tertawa.

"Sebenarnya aku merasa kurang sehat," ia kata. "Tapi sekarang aku sudah sehat, aku, aku girang sekali."

"Tentang Loklim tjian itu, tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh," San Bin menerangkan pula. "Satu kali panah telah di kirimkan, orang-orang loklim sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!"

In Loei berdiam.

San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya.

https://www.mediafire.com/file/9ddd6se37c7867w/Dua%20Musuh%20Turunan.rar

Anugrah Bidadari

Buku ini menurut Mimin : 

Sangat menarik! Bintang 8 dari 10.

Pertama kali baca, Mimin langsung menikmatinya. Ceritanya runut dan bagus, tidak membuat pusing kepala karena menemukan hal yang tidak begitu penting dan tidak ada hubungannya dengan alur cerita. Meski mungkin novel ini cenderung jadul, ditulis pun entah oleh siapa sebab Mimin menemukan buku ini di internet beberapa tahun lalu, tapi seolah pembaca diberi imajinasi yang luas tentang sebuah kerajaan Eropa di masa-masa dulu. Buat yang penasaran, download aja, dan baca secara perlahan agar bisa menikmati keseruannya.

Sedikit nukilan :

Altamyra merasa tertipu. Mereka berhasil membujuknya dan kini ia menderita karenanya. Pinta mereka, “Kami mohon demi menyelamatkan…”

Altamyra mendengus kesal teringat kata menyelamatkan itu. Siapa pun yang akan diselamatkannya, ia tidak peduli lagi. Saat ini untuk menyelamatkan diri sendiri dari panas saja, ia tak mampu. Apalagi yang lain!?

Demi kata itu pula ia rela meninggalkan tempatnya yang hijau permai dan subur ke daerah yang panas seperti padang pasir ini. Di tempatnya, angin meniupkan daun-daun tetapi di sini debu saja yang terlihat.

Altamyra merasa sedikit beruntung mereka menggelung rambut pirangnya tinggi-tinggi. Kalau tidak, ia yakin sekarang ia sudah menjadi manusia setengah matang di tungku matahari ini.

Kereta tiba-tiba berhenti.

Altamyra baru saja menduga para prajurit menemukan tempat yang sejuk untuk berteduh, ketika suara gaduh itu terdengar di luar.

Suara pedang yang beradu itu membuat Altamyra cemas. Ia ingin meninggalkan kereta tapi pelayan di sampingnya mencegah.

“Jangan lakukan itu! Di luar terlalu bahaya”

Melalui jendela pintu kereta, Altamyra melihat pengawal-pengawalnya jatuh satu per satu. Mereka semua bersimbah darah.

Tiba-tiba seseorang muncul di jendela dan mengejutkan mereka. Mulut orang itu berdarah dan ia membelalak pada mereka. Perlahan-lahan orang itu jatuh ke bawah.

Pemandangan itu membuatnya tidak tahan lagi. Tanpa menghiraukan larangan, ia membuka pintu kereta lebar-lebar dan melompat keluar.

Apa yang dilihatnya ternyata lebih mengerikan dari perkiraannya. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Darah merah yang segar membanjiri tanah.

“Masuklah kembali” pelayan itu menariknya, “Di sini terlalu bahaya untuk…” Mereka dikejutkan seseorang yang rubuh di dekat mereka.

Prajurit itu menarik ujung gaun Altamyra dan seperti hendak mengucapkan sesuatu. Belum sempat ia mengatakannya, sebuah pedang telah menancap di punggungnya.

Ditatapnya dengan marah orang itu. “Beraninya engkau melakukan itu” geram Altamyra, “Dasar tidak punya belas kasihan!”

Pria itu tersenyum sinis.

Kemarahannya semakin memuncak. “Apakah menurutmu nyawa manusia itu sedemikian murahnya!? Apakah bagimu nyawa itu tidak ada harganya!? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya!?”

Pria itu terkejut melihat air mata gadis itu.

“Apakah engkau tidak dapat berpikir!? Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkannya? Apakah kau tidak dapat berpikir betapa sedihnya mereka kalau ia pulang hanya nama!?”

Dari atas kudanya, pria itu membungkuk. Tangannya terulur ke wajah Altamyra tapi ia menepisnya dengan penuh kemarahan. Pria itu tertawa sinis.

Sang pelayan memegang lengan Altamyra dengan ketakutan. “Sebaiknya kita tidak membuatnya marah” bisiknya.

“Siapa yang mengatakan aku tidak punya belas kasihan?” pria itu berkata tajam, “Kalian beruntung, aku tidak pernah membunuh anak-anak dan wanita”

“Bagus kalau engkau menyadarinya!” balas Altamyra sinis. Pria itu tersenyum simpul.

Altamyra terkejut tiba-tiba tubuhnya diangkat.

“Lepaskan aku!” serunya marah, “Aku tidak sudi kausentuh!”

Ia hanya tersenyum sinis menghadapi rontaan Altamyra. “Sekarang engkau tawananku”

”Aku tak sudi menjadi tawanan pembunuh sepertimu!”

“Kembalilah pada keluarga majikanmu dan katakan putri mereka kini menjadi tawananku” kata pria itu sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Altamyra.

“Mundur!” perintah pria itu lalu ia membawa kudanya berlari ke dalam hutan.

https://www.mediafire.com/file/rqprrpnfnibuojn/Anugrah%20Bidadari.rar
 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger