Laporkan Jika Ada Link Mati!
Koleksi Buku

Ain Jalut (Novel Islam)

Novel Ini menurut Mimin : Bagus, Layak dibaca... apalagi buat orang-orang yang malas baca sejarah Islam tapi suka membaca novel. Meski bisa saja berisi beberapa cerita fiktif, tapi garis besarnya berdasarkan cerita nyata.

Sinopsis:
Saifuddin Quthuz adalah satu di antara tokoh besar dalam sejarah muslimin. Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan memperbudak sebagian yang lain.

Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.

Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!

Subhanallah yang telah mengatur dengan Maha Lembut dan memperdaya dengan Maha Bijak. Tiada sesuatupun di bumi dan langit yang samar bagi-Nya.

ومكروا مكرًا ومكرنا مكرًا وهم لا يشعرون

“Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (An-Naml [27]: 50)

Quthuz –sebagaimana mamalik (budak yang dididik militer) lainnya–tumbuh dengan pendidikan agama yang benar. Semangat Islam yang kuat bergelora di dalam hatinya. Sejak kecil, ia dilatih dengan seni menunggang kuda, metode pertempuran, seluk-beluk manajemen dan leadership. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda gagah berani, mencintai dan menjunjung tinggi agamanya. Ia juga seorang yang kuat, penyabar, dan perkasa. Selain itu semua, ia juga dilahirkan dari keluarga raja.

Masa kanak-kanak Quthuz layaknya para pangeran yang lain. Hal ini membuat dirinya begitu percaya diri. Ia tidak asing dengan masalah kepemimpinan, manajemen negara dan kekuasaan. Di atas itu semua, keluarganya hancur oleh Tartar. Hal ini–tentu saja–membuat dirinya paham betul dengan bencana Tartar. Sebab orang yang menyaksikan tidaklah seperti yang mendengar.

Semua faktor ini berpadu menjadikan Quthuz seorang yang memiliki karakter sangat unik. Ia merasa ringan dengan penderitaan, tidak takut dengan para musuh bagaimanapun banyak jumlahnya atau unggul kekuatan mereka.

Pendidikan Islam dan militer, juga pendidikan untuk berpegang teguh kepada Allah, agama dan percaya diri, semua itu mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan Quthuz –rahimahullah-.

Nama Quthuz mulai muncul ke permukaan setelah terbunuhnya Raja Al-Muizz Izzuddin Aibak dan istrinya Syajarah Ad-Dur dihukum mati. Kemudian kekuasaan beralih kepada “Sultan Bocah” Al-Manshur Nuruddin Ali bin Izzuddin Aibak. Quthuz-lah yang memegang perwalian atas sultan kecil tersebut.

Quthuz meskipun ia secara real menyetir roda pemerintahan di Mesir, namun pada kenyataannya yang duduk di kursi kekuasaan adalah seorang sultan bocah. Tentu hal ini melemahkan wibawa pemerintah di Mesir dan merongrong kepercayaan rakyat kepada rajanya serta menguatkan niat musuh-musuhnya karena mereka melihat raja adalah seorang bocah.

Dengan mempertimbangkan ancaman Tartar yang menakutkan, problema internal yang mencekik, kekacauan dan pemberontakan dari mamalik bahriyyah dan ambisi para emir Bani Ayyub di Syam, maka Quthuz melihat tiada makna keberadaan “Sultan Bocah” Nuruddin Ali di kursi negara terpenting di kawasan, yaitu Mesir, di mana tiada lagi harapan untuk membendung Tartar kecuali di pundaknya.

Dari situ, Quthuz mengambil keputusan berani, yaitu menurunkan Nuruddin Ali dan ia mengambil alih kekuasaan di Mesir. Keputusan itu bukanlah hal yang aneh. Sebab sebenarnya Quthuz adalah penguasa real di Mesir. Semua orang –termasuk “sultan bocah” itu sendiri–mengetahui hal itu. Seolah-olah ada boneka lucu di mana Quthuz-lah yang menggerakan boneka tersebut. Boneka itu adalah sultan yang bocah. Apa yang dilakukan Quthuz tiada lain hanya mengangkat boneka itu, untuk memperlihatkan seorang singa gagah yang di tangannyalah peta geografi dunia akan berubah, begitu pula lembaran-lembaran sejarah lainnya.

Penggantian ini terjadi pada tanggal 24 Dzul Qaidah 657 H, yaitu beberapa hari sebelum kedatangan Hulagu di Aleppo.

Ain Jalut

https://www.mediafire.com/file/24d7dg0ppi18tw6/Ain%20Jalut.rar

Lupus - Topi-Topi Centil

Sekedar informasi, Lulu emang masuk sekolah sore. Biasa, biar bisa gantian jaga rumah sama Lupus. Soalnya tu rumah kalo nggak dijagai, suka kelayapan ke mana-mana. Repot kan nyarinya? Dan meski bisa naik becak, Lulu lebih suka jalan kaki kalo pulang sekolah. Hitung-hitung olahraga. Tapi tujuan mulianya sih sebetulnya cuma pengen ngeceng doang. Liat-liat pemandangan bagus, berupa cowok-cowok kece yang sedang lari sore, yang main sepatu roda atau bersepeda ria.

Atau kalo kebetulan ketemu teman yang lagi dimarahin ibunya di depan rumah, Lulu suka mampir. Turut mnyumbangkan rasa bela sungkawa.

"Santi memang keterlaluan, Nak Lulu," ungkap ibu Santi, teman Lulu yang sore itu kena giliran dimarahin di depan rumah, karena ulangan matematikanya ancur-ancuran. "Seharian suka maiiiin melulu. Pulang sekolah, tak langsung pulang. Entah main ke mana. Pulangnya malam. Besoknya pagi-pagi, bukanya belajar malah bermain-main lagi. Bagaimana bisa pintar?"

Santi hanya tertunduk dekat pagar.

"O, kalo saya pulang sekolah langsung pulang, Tante," ujar Lulu serius.

"Nah, dengar itu, Santi..." sela ibu Santi.

"Dan besok paginya juga jarang bermain-main, kecuali kalo lagi libur. Soalnya mami saya kerja, Lupus sekolah, jadi saya jaga rumah. Sambil baca-baca..." lanjut Lulu.

"Pasang telingamu baik-baik, Santi. Dengar sendiri apa kata temanmu!" sela ibu Santi lagi.

Santi makin menunduk.

"Kalau di kelas juga, saya selalu mendengarkan apa yang diterangkan guru, Tante. Tidak pernah bermain- main."

"Kamu anak yang baik. Lantas, bagaimana hasil ulangan matematikamu, Nak Lulu? Dapat nilai sembilan?"

Lulu diam sejenak. Memandang wajah ibu Santi dengan serius, "Tidak. Saya dapat nilai empat, seperti Santi."

Ibu Santi melongo.

***

Dan pas sampai di rumah, Lulu langsung menghitung uang tabungannya di kamar. Wah, kayaknya sudah cukup nih, pikirnya senang.

Dia memang punya rencana dengan uang-uangnya itu. Andi, teman Lulu yang jago basket itu mau ulang tahun. Kedengarannya biasa saja, tapi tidak buat Lulu. Soalnya, si centil itu diam-diam emang naksir Andi. Andi yang suka pake topi pet yang lucu-lucu, Andi yang punya badan atletis, Andi yang suka mencuri-curi pandang ke arah Lulu kalo Lulu lagi nonton basket, Andi yang anak kelas dua, Andi yang pernah sekali menegurnya di perpustakaan. Wah, pokoknya kalo kamu tanya apa aja soal Andi, Lulu pasti dengan mata berbinar binar menjelaskannya. Soalnya, katanya Andi juga naksir Lulu.

Dan sekarang Andi tersebut mau ulang tahun. Tentunya Lulu jadi mendadak sibuk sendiri. Memikir-mikir, kado apa ya yang paling tepat buat anak kece itu?

Tapi suatu ketika, saat Lulu sedang bermain-main di pusat pertokoan, Lulu melihat ada toko yang menjual topi-topi pet yang lucu-lucu. Yang bentuknya ada yang seperti topi pelaut, ada yang seperti topi jenderal, ada yang model detektif zaman dulu, yang merah, biru, hitam, kuning, wah... pokonya centil-centil deh. apalagi dengan ditempeli lencana yang lucu-lucu.

Lulu langsung ingat Andi. Andi yang juga suka pakai topi centil macam gitu. Wah, tentunya ini bakal jadi hadiah yang amat menarik buat dia.

Lulu langsung ngumpulin duit buat beli topi itu.

https://www.mediafire.com/file/0dypktunn3xb59b/Lupus%20-%20Topi-Topi%20Centil.rar

Penghuni Hutan Parigi

Novel ini menurut Mimin : Bagus! Karena jujur aja, Mimin mah penyuka novel-novel horor gini. Bacanya agak merinding disco gimana gitu hehe....

Oh ya, karna cover aslinya gak ada yang bagus (internet udah diubek-ubek), jadi mimin pake cover bikinan mimin sendiri. jadi, ya gitu deh...

Sinopsis 

 Suara mendengus bercampur bunyi menggeram itu datang dari sebelah kiri jalan. Keping-keing rembulan yang bertemperasan dari sela-sela pepohonan menerangi secara samar-samar sesosok tubuh setinggi pinggangku. berkaki pendek dengan tangan-tangan yang panjang tergantung di kedua sisi tubuhnya. Aku yakin warna bulunya kelabu sedikit kehitaman, tetapi warna mata itu hijau kemerahan! Kera apa ini? Dan mengapa pemilik warung tadi menyuruhku berhati-hati terhadap binatang jenis yang sebenarnya tak patut saling bermusuhan dengan manusia ini?

Werrrr! Weeerrrrrr......

Aku menoleh ke kanan dengan cepat. Makhluk yang sama muncul dengan langkah-langkah berat dari arah yang berlawanan dengan binatang yang pertama tadi. Yang ini dua ekor dan tingginya hampir mencapai bahuku. Ketiga makhluk itu bergerak dari kiri kanan yang satu berpindah ke depan. Jalanku ditutup. Benar. Ditutup untuk maju.

Werrrr!.....

Keterkejutanku segera lenyap, diganti oleh naluri ingin membela diri.

Pelan-pelan sebelah tanganku menyentuh tali-tali ransel, bermaksud melepas ikatannya. Ransel berisi pakaian dan sedikit oleh-oleh itu cukup berat dan kalau diayunkan bisa berubah jadi gada bertenaga kuda. Tetapi aku segera sadar, gerakan itu terhalang oleh kotak korek api yang tergenggam di tangan yang sama. Korek api! Dan tangan kiriku yang menggenggam bambu berlampu damar. Alangkah bodohnya!

“Yeeeeeaaaaaa!” aku menghentak

Ketika makhluk itu tertegur.

“Yea! Mundur! Mundur! Mundur!” aku bergerak

Tiga pasang mata berwama hijau kemerahan, seperti saling pandang. Serentak. Serentak pula ketiganya maju seperti aku, disertai bunyi dengus bercampur geraman-geraman aneh itu. Bentakan saja ternyata tidak akan berguna. Secepat aku bisa, beberapa batang korek api sekaligus kuhidupkan, lantas kudekatkan ke arah damar. Makhluk yang paling kecil, menerjang ke depan. Aku mengelak dan korek api mati. Cepat kuhidupkan lagi sementara dua makhluk yang lain kini hanya berjarak tak sampai dua meter dari tubuhku. Si kecil tadi menggeram ganas dan siap untuk menerjang kembali mengulangi kegagalannya tadi. Tetapi Lampu damar telah menyala. Terang-benderang, dengan suara api bersiur-siur garang waktu kugoyangkan ke kiri dan ke kanan berulang-ulang.

Benar. Makhluk-makhluk itu adalah kera-kera berbulu kelabu kehitam-hitaman, bermata hijau kemerah-merahan yang segera mengeluarkan suara “ngggik, ngiiiiiik, ngiiiiiiiiikk “ berusaha menghindari sinar lampu dengan menutupkan lengan-lengan berbulu mereka ke depan muka.

“Mundur!” aku berteriak lagi, seraya menerjang ke depan. Lampu damar tertuju pada kera yang tengah dan yang terbesar. Ia menggeram setengah menjerit dengan suara aneh, kemudian berlari tunggang langgang menerobos rimbunan semak-semak. Dua ekor kera lainnya mengikuti gerakan kera yang pertama. Semak belukar bertemperasan menimbulkan suara berisik, kian lama kian menjauh, kemudian sepi mencengkam. Tinggal desah nafasku yang tersengal-sengal dan denyut jantungku yang berdentum-dentum.

Ketika itulah terdengar suara yang sayup-sayup sampai.

Lalu kelap-kelip cahaya yang timbul tenggelam.

Lampu damar kuacungkan. Tinggi di udara.

Dan aku bernafas lega. Ternyata aku berada tak jauh dari mulut desa. Jalan di depanku berakhir di sebuah lapangan yang dikelilingi rumah-rumah penduduk Cibeureum.

DENGAN obor di tangan tiga orang laki-laki berlari-lari mendatangi. Lampu damar kuacungkan tinggi-tinggi di udara dengan mata liar memandang ke kiri dan ke kanan. Namun sampai ketiga orang itu sudah merubungiku, makhluk-makhluk tadi tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Semak belukar di pinggir jalan tampak tenang dan diam. Pepohonan yang besar-besar dan tinggi, berdiri kukuh tanpa kesan apapun. Seolah-olah tidak ingin dijadikan saksi atas kejadian yang membuat jantungku masih berdegup kencang itu

“Ada apa?” salah seorang yang mengenakan ikat kepala, bertaya seraya memandangi sekujur tubuhku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki lalu berhenti lama sekali di wajahku.

Aku menghela nafas. Lega. telah menemukan manusia lagi di sekitarku setelah perjalanan yan rasanya teramat panjang dan teramat menegangkan itu. Tiga ekor kera, dua di antaranya memang besar-besar, kukira bukan cerita yang bisa menarik simpati untuk disampaikan pada orang-orang itu. Oleh karenanya, seraya membetulkan letak tali ransel yang agak longgar tersabet kera yang kecil tadi, aku menyahut dengan suara ditenang-tenangkan.

“Ah... Engga apa-apa. Ini desa Cibeureum?”

“Ya Ada apa tadi? Saudara berteriak-teriak mengejutkan kami yang lagi piket jaga di pos”

“Oh... jadi kalian ronda malam. Maafkan atas kelancanganku. Tadi aku cuma kaget saja”

“Kaget?’

“Heem” dan aku cepat mencari sebab. “Aku terperosok. Lalu jatuh”

“Dan damar ini?” yang berikat kepala menuding bambu yang kupegang, berkibar-kibar kian kemari. Saudara menghindari sesuatu?”

Aku tertawa. Menjawab: “Tepatnya mencari sesuatu. Ransel ini lepas talinya. Dan, ah. Saya lelah sekali. Boleh aku meneruskan perjalanan?”

Orang itu menghindar dari depanku.

Aku menganggukkan kepala kemudian berjalan melampaui mereka. Yang seorang sempat kudengar berbisik:

“Dung, mungkin dia yang disebut-sebut Ningrum”

Aku cepat membalik. Menatap wajah pembicara itu. Seorang laki-laki muda, berusia sekitar dua puluh tahun, wajah kelimis, rambut tersisir rapih dan kain sarung dibelitkan pada pinggang. Ia agak terkesiap waktu kupandang dan kemudian menjadi biasa kembali setelah kulemparkan seulas senyum kepadanya.

“Aku memang mau ke rumahnya. Yang mana kira-kira ya?” kugerakkan dagu ke arah kampung.

“Mari kami antarkan” sambut lelaki berikat kepala.

Kami kemudian berjalan beriring-iringan masuk kampung. Yang tadi kukira rumah tempat ketiga laki-laki ini keluar, ternyata sebuah pos hansip berlantai tanah. Dari dalam asap putih bertemperasan keluar dari lubang hidungku mencium bau ubi bakar. Ketegangan di tubuh tiba-tiba berganti dengan perasaan lapar yang melilit perut. Ah, sabarlah. Ningrum toh telah menanti dengan santapan malam yang lezat di rumahnya. Kalau perlu akan kuminta ia menyediakan tempat perapian dimana aku jugs bisa memanggang ubi sambil berpelukan dikedinginan malam. Hehhh... terasa kudukku bergetar.

Setelah melewati beberapa buah rumah yang gelap, sepi dan diam dikeheningan malam dengan lampu damar yang berkelap-kelip tertiup angin pada mulut pagar, kami kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang termasuk agak besar dibandingkan dengan yang telah kami lalui. Halamannya luas, penuh ditanami ketela, beberapa pohon buah-buahan, sebuah kebun bunga tampak berseri dalam taman rembulan empat belas hari di samping rumah, Ia! teras berlantai tegel warna kuning dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota. Jadi, aku tak akan menyesal telah jatuh cinta pada seorang gadis yang berasal dari sebuah kampung terpencil dan untuk sampai ke rumahnya, harus melalui perjuangan yang tak kepalang. Diserang ketiga ekor kera itu misalnya. Tiba-tiba kudukku bergidik. Teringat warna mata yang hijau kemerah-merahan dalam jilatan rembulan!

“Nah, Oom” suara salah seorang pengiringku dengan nada yang agak janggal. “Kami tak diperlukan Lagi, bukan?”

Aku mengucapkan terimakasih, memperhatikan ketiganya berjalan keluar pagar. Disana, mereka berhenti, memutar tubuh memperhatikan. Aku mengangguk lagi dan mereka kemudian pergi. Tiga orang laki-laki dalam kesamaran malam di bawah jilatan rembulan, tampak kelabu kehitaman. Dan aku teringat lagi pada ketiga ekor kera yang menyerangku di mulut kampung. Selain babi hutan, kera merupakan binatang yang peru dijauhi menurut keterangan pemilik warung di pinggir jalan besar tadi. Aku telah mengalami kebenaran ucapannya, mensyukuri manfaat lampu damar yang tadinya kuremehkan, kemudian mengetuk pintu setelah lebih dulu meletakkan bambu berlampu damar di pojok teras.

Sepi di dalam.

Download

https://www.mediafire.com/file/nu71a1s3ep2j2re/Penghuni%20Hutan%20Parigi.rar

Rajawali Emas - Pendekar Cengeng

Dewi Murah Senyum makin diguncang gairah. Tetapi di saat dia hendak membuka pakaiannya kembali, mendadak lagi-lagi didengarnya suara isakan di luar,

"Huhuhu... aku tidak tahu jalan keluar dari tempat ini... huhuhu... tunjukkan segera padaku..."

"Jahanam terkutuk!" geram Dewi Murah Senyum.

Dengan kemarahan yang telah tiba di ubun-ubun, dia langsung melesat dan melompat keluar dari dalam tandu. Kedua kakinya begitu ringan tatkala menginjak tanah dan berdiri sejarak lima langkah dari sosok Pendekar Cengeng!

"Pemuda cengeng, kau telah mengabaikan perintahku! Berarti, kematian yang akan kau terima!"

"Huhuhu... aku cuma bermaksud bertanya padamu. Jangan ancam aku..."

"Keparat!" bergetar suara dan tubuh Dewi Murah Senyum. "Lekas katakan apa yang hendak kau tanyakan!"
Sambil bersikap seolah mengusap-usap air matanya padahal tak ada yang keluar, pemuda berpakaian putih ini berkata, "Tunjukkan padaku jalan keluar dari tempat ini..."

"Dari mana kau datang tadi?!" bentak Dewi Murah Senyum penuh kegeraman.

"Dari arah tirnur..."

"Mengapa kau tak segera pergi ke arah tirnur?!"

"Huhuhu... jangan bentak aku... aku tidak tahu di mana arah timur sekarang..."

"Terkutuk! Mengapa aku harus melayani percakapan sinting dengan pemuda cengeng ini?!" damprat Dewi Murah Senyum dalam hati. Kemudian katanya, "Kau tengok ke arah kananmu... Di sanalah arah timur! Cepat menyingkir dari sini!"

Pendekar Cengeng sejenak arahkan pandangannya ke kanan. Lalu dengan masih mengisak dia berkata, "Huhu... aku tak berani melangkah sendiri... maukah kau menemaniku?"

"Setan alas!!" maki Dewi Murah Senyum dalam hati dengan kemarahan yang sudah tak bisa ditahankan lagi.

Sebelum dia berkata, Pendekar Cengeng sudah berkata, "Huhu... kalau kau keberatan mengantarku tidak mengapa tetapi, bagaimana dengan gadis di dalam tandu- mu itu? Barangkali saja dia mau mengantarku... huhu..."

Mendengar kata-kata orang yang sama sekali tak disangkanya, sampai surut satu tindak kaki Dewi Murah Senyum.

"Setan! Siapa pemuda ini sebenarnya? Dia bisa tahu kalau ada orang lain di tanduku? Padahal aku merasa tak membiarkan pandangan siapa pun masuk ke dalam tanduku ini? Bahkan tanduku terbuat dari bahan yang cukup tebal! Terkutuk! Lebih baik kubunuh saja dia sebelum akhirnya memang mengganggu keasyikankui"

Memutuskan demikian, seraya maju dua tindak ke depan, Dewi Murah Senyum berkata, "Kau kesulitan menemukan arah yang harus kau tuju, dan kau ketakutan melangkah sendiri! Bagus! Kalau begitu... kutunjukkan jalanpadamu yang lebihbaik! Jalanke neraka!!"

Belum habis bentakannya terdengar, sosoknya sudah mencelat ke arah Pendekar Cengeng. Hawa panas seketika menebar.

https://www.mediafire.com/file/6ierm3l60crkyap/Rajawali%20Sakti%20-%20Pendekar%20Cengeng.rar

Tidak Hilang Sebuah Nama

Novel ini menurut Mimin : Awalnya mengalir sederhana, kemudian sadis dan diluar batas kewajaran. Penulisnya cukup pintar dengan mengambil setting di Australia, sebab kalau mengambil setting di Indonesia akan terkesan aneh hehe....

Keseluruhan ceritanya cukup menarik meski banyak janggalnya, tapi yah namanya juga cerita, kalo gak dibikin jangggal pasti gak seru. So, nikmatin aja!

Sedikit Nukilan

la sudah membaca belasan, bahkan hampir puluhan buku. Setengah yakin, namun ia juga terkadang tergelitik untuk mencari celah-celah kesalahannya. Tapi mengapa ajaran Islam sangat meyakinkan baginya? Hingga dadanya seperti dipukuli gada raksasa. Telinganya berdengung. Mungkin ini rasanya bila orang baru saja menemukan kebenaran.

"Aku ingin masuk Islam...," ucap Olive, sembari menggigit bibirnya.

Fateema tersenyum. "Alhamdulillah".

Olive sedikit menolak rengkuhan Fateema. "Tapi aku belum siap memakai kerudung. Bolehkah?"

Fateema diam sebentar.

"Tidak boleh, ya?"

"Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu? Masuk agama Islam dan menjalankan segala syariatnya?"

"Tentu..., tapi...," Olive menggigit bibirnya lagi, "akankah aku memakai kerudung saat aku belum benar- benar siap? Dan ketakutanku adalah aku akan setengah hati melakukannya. Setengah hati, berarti aku tidak sepenuhnya rela. Dan tanpa kerelaan, apa pun yang kulakukan akan menjadi cepat hilang."

Fateema tahu apa inti dari perkataan Olive. Kemudian ia teringat banyak pula temannya yang memakai kerudung, tetapi tidak mematuhi syariat tata cara berkerudung yang sebenarnya. Dan jika ketakutan Olive seperti itu, bukankah itu berarti Olive mempunyai semacam kecemasan bila dirinya hanya melakukannya setengah-setengah? Dan ada kemauan secara sungguh- sungguh untuk menerapkan syariat Islam. Lagi pula bagi seorang mualaf seperti Olive, yang selama ini benar-benar jauh dari bimbingan Islam, rasanya perubahan yang bertahap sedikit demi sedikit adalah yang paling baik untuknya.

"Lalu sampai kapan kamu akan benar-benar menjadi seorang Muslimah sejati?"

"Sampai aku sudah mendapatkannya. Aku akan mencari."

Fateema mengangguk. Sebuah keputusan yang logis. la kenal betul siapa Olive. Seorang gadis dengan kemauan keras yang tak akan berhenti berusaha sampai apa yang diinginkannya tercapai.

Olive berkaca pada seorang Fateema, yang meskipun tidak berwajah cantik namun tetap disegani banyak orang. Mula-mula ia mengira ini dikarenakan kepandaian Fateema. Ternyata ia juga baik hati, ramah, dan santun dalam perbuatannya.

"Agama memberi suatu kesucian atas prinsip moralitas, seperti kejujuran, keadilan, persaudaraan...."

"Tapi bukankah kita bisa melakukan itu tanpa memeluk agama?" potong Olive.

Fateema tersenyum. "Benar! Namun tanpa keimanan agama yang kuat, konsepsi-konsepsi seperti itu akan kehilangan kesuciannya. Berbuat baik hanya akan menjadi suatu rekomendasi, bukan kewajiban. Dengan kata lain, kita bebas untuk berbuat baik atau sebaliknya. Tidak ada yang mengikat."
"Berarti agama akan mengekang kita dengan kewajiban seperti itu?"

"Benar. Apa kamu tidak merasa bahwa kita diciptakan untuk saling menghormati dan berbuat baik pada sesama? Aku kira, itu adalah suatu prinsip yang universal."

Olive diam Dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata Fateema. Makin mantaplah ia dalam memeluk Islam -sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas di pikirannya hingga beberapa bulan yang lalu.

Sayangnya, satu bulan kemudian Fateema mendadak harus kembali ke negaranya. Perpisahan yang mengharukan Padahal Fateema mengatakan, ia akan mengajarkan mengaji. Sebelum pulang, Fateema menghadiahkan sebuah kerudung mams berwarna merah muda.

"Pakailah! Aku ingin melihatmu memakainya." Fateema tersenyum di antara matanya yang sembab. Olive memmang kain kerudung itu di tangannya.

Inikah saatnya? Olive bertanya dalam hati.

"Setidaknya sebelum pulang, aku ingin melihatmu untuk memakainya, biarpun hanya sekali. Meski setelah ini kaucopot kembali, dan meneruskan pencarianmu. Walaupun sejujurnya aku tidak mengharapkan itu."

Ah..., sesungguhnya aku pun telah lelah mencari. Biarlah setengah dari keraguan ini kukorbankan Dan dengan pengorbanan ini akan kucari setengah dari keraguan itu -dan berharap akan ketemu jalan keluarnya.

Olive mengangguk. Dibiarkan saja Fateema menyematkan kain itu di kepalanya.

"Cantik...," puji Fateema.

https://www.mediafire.com/file/99hqbq8g873d05d/Tidak%20Hilang%20Sebuah%20Nama.rar

Lupus - Tragedi Sinemata

BERITA bahwa Lupus bakal diajak main film, memang cukup menggemparkan teman-teman sekolahnya. Apalagi teman-teman dekatnya macam Fifi Alone, Boim, Aji, Gito, Gusur, Meta, Ita, dam Utari. Soalnya, rencananya, Lupus juga mau mengajak teman-teman dekatnya itu untuk ikutan terlibat. Gimana nggak surprise?

"Kamu serius, Pus?" tanya Fifi antusias.

"Serius kok. Kebetulan sang produser PT. Cuwek Bebek Film kenalan bos saya di Hai. Dan ketika dia butuh pemeran pembantu untuk film dia yang bertemakan remaja, si Bos langsung nawarin saya main. Dan karena butuh orang banyak, saya pun disuruh nyari temen-temen lain yang mau ikutan main."

Suasana sekolah pun jadi ramai. Ini karena ulah Fifi Alone yang nggak bisa ngebendung emosi dan langsung cerita ke semua orang.

"Ike khawatir, jangan-jangan bintang utamanya jadi kesaing gara-gara ike ikutan jadi pemeran pembantu...," celotehnya.

Anak-anak kelas lain pun jadi pada sirik.

"Produsernya kesambet apa sih, kok ya tega-teganya mereka diajak main film. Apa nggak takut rugi?" ejek seseorang.

"Tapi bener lho mereka bakal main film," bela yang lain.

"Ah, mustahil. Main topeng monyet sih mungkin!"

"Saya lihat sendiri, mereka sudah mulai latihan di aula sekolah saban pulang sekolah."

"Atraksi topeng monyet kan juga perlu latihan!"

Tapi berita itu hampir mendekati kebenaran ketika besoknya Lupus dipanggil sang produser untuk diajak ngomong-ngomong. Tadinya Lupus mau berangkat sendiri, biar di sananya nggak kacau. Tapi Gusur maksa ikut. Akhirnya mereka pergi berdua.

"Gimana, Pus? Mau serius kan?" tanya sang produser ketika mereka bertemu. Sementara si Gusur masih menunggu di luar, nunggu dipanggil.

Lupus pun tersenyum malu-malu. Sang sutradara, yang ikutan hadir, ikut tersenyum.

"Temen-temen yang lainnya mana? Kok nggak diajak?"

"Eh, saya kira saya disuruh menghadap sendiri. Sori deh. tapi saya bawa contohnya satu biji. Sekarang lagi nunggu di luar. Mau liat?" sahut Lupus.

"Lho, kok nggak disuruh masuk? Siapa namanya?"

"Gusur. Saya panggil, ya?" Lupus langsung berdiri, dan berteriak-teriak ribut, "Suuur, Gusuuuur, kamu boleh masuk. Udah aman!"

Wajah Gusur yang nggak kece muncul dari balik pintu, "Daku datang, Pus."

Lalu berjalan menghampiri mereka.

"Ini salah satu contoh, Mas. Meski agak lecek, ya lumayan lah buat peran jadi penjaga pintu kereta..." ujar Lupus memperkenalkan.

Sang produser pun sibuk senggol-senggolan dengan sang sutradara. Sambil berbisik, "Nggak salah nih? Kok yang beginian yang dibawa?"

"Eh, gini-gini juga dia pernah mau ikutan lomba coverboy majalah Mode, Mas," sahut Lupus seperti mendengar bisikan produser. "Tapi nggak boleh sama saya. Soal- nya takut, nanti kalau menang dan wajahnya sampai terpampang di cover, oplag majalahnya bisa anjlok. Nggak laku."

Gusur ngamuk-ngamuk.



"Oke deh, besok kamu dan temen-temen kamu ke sini aja lagi. Tapi agak pagian, biar bisa sekalian latihan, dan dicatat nama-namanya. Soalnya sekarang pegawai kantor sudah pada pulang," ujar si produser.

Lupus mengangguk. Gusur ikut-ikutan.

https://www.mediafire.com/file/8ocrz2bzn38fnmb/Lupus%20Tragedi%20Sinemata.rar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger