Laporkan Jika Ada Link Mati!
Koleksi Buku

Lupus - Kutukan Bintik Merah

Anak-anak lalu masuk. Di dalam ruangan yang gelap-gelap tai ayam, ternyata Hockus Pockus sudah menunggu di meja bundarnya. Tujuh kursi sudah tersedia, lengkap dengan penganan kecil dan kopi di atas meja.

"Nggak usah dijelaskan, Sur, saya sudah tau nama teman-temanmu dan tujuan mereka datang ke sini," cegah Hockus Pockus ketika Gusur akan menjelaskan. "Yang item keriting itu namanya Boim, kan. Dia ke sini mau minta diramal jodoh juga, kan?" tebak Hockus Pockus kemudian. Gusur mengangguk. Anak-anak takjub. Sedang Lupus masih belum terpengaruh.

"Oke, biar cepet, kalian saya ramal sekaligus," putus Hockus Pockus. Lalu Hockus Pockus menyuruh anak-anak bergandengan dan menutup matanya. Anak-anak melakukan apa yang diminta Hockus Pockus. Lupus ikut. Cuma nggak lama kemudian Lupus membuka matanya. Diliatnya Hockus Pockus meliuk-liuk kayak belut sakit perut.

"Kus Kus, interupsi sebentar!" pekik Lupus. Hockus Pockus kaget, dan membuka matanya. Lalu melotot marah ke arah Lupus.

"Kalau saya lagi konsen, jangan banyak ngomong Paham?"

"Sori, Kus. Tapi saya nggak mau diramal. Saya mau numpang ke kamar mandi aja. Udah kebelet, nih!" pinta Lupus.

"Hm, bilang dong dari tadi!" umpat Hockus Pockus.

Lalu Lupus disuruh ke belakang.

"Belok aja ke kiri. Kalau ketemu pintu yang ada stiker Mickey Mousenya, nah di situlah tempatnya. Jangan lupa disiram, ya!" jelas Hockus Pockus kemudian.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Lupus langsung melesat ke belakang. Sedang Hockus Pockus kembali melanjutkan liukannya sambil membaca mantera.

"Bang bang tut, akar gulang galing. Siapa yang kentut, ditembak raja maling...."

Sementara itu Lupus terus menuju ke belakang. Sampai akhirnya ia tiba di ruangan yang gelap dan bau sengak. Lupus meraba-raba. Tanpa sengaja tangannya meraba saklar lampu. Dalam sekejap ruangan pun jadi terang benderang. Kini Lupus bisa melihat jelas keadaan ruang an yang sebenarnya. Ada meja, kursi, vas bunga, dan guci antik. Bahkan ada juga botol-botol selai yang berisi berbagai macam ramuan. Di pojok ada sapu lidi besar yang ada tangkainya, persis sapu lidi nenek sihir. Lupus terus menyelidiki ke sana kemari. Sampai Lupus melihat ada benda yang diselubungi kain putih. Lupus mem- bukanya. Ternyata benda tersebut adalah gitar.

http://www.mediafire.com/file/z4zs5lfsv07jri9/Lupus%20-%20Kutukan%20Bintilk%20Merah.rar

Tentara Langit Di Karbala

Ketika Imam Ali terbaring sakit, mendekati ajal yang siap menjemputnya akibat pukulan telak dari pembunuh yang berlumuran dosa, sebagian sahabat memintanya agar dia bersedia menentukan pengganti dari putra-putra dan keluarganya seteleh dia wafat. Namun, Imam Ali menolak dan menganjurkan mereka untuk memilih sendiri seseorang yang mereka sukai dan ridhai.

Memang, Imam Ali tidak pernah berwasiat kepada salah satu pun anak-anaknya untuk menjadi khalifah, tetapi di sana ada wasiat lain yang menyibukkan jiwanya. Dia menyimpannya untuk anak-anaknya tersebut. Imam Ali memanggil Hasan dan Husain kepadanya, dan berkata,

“Aku berwasiat kepada kalian berdua untuk bertakwa kepada Allah. Janganlah kalian mencari dunia, meskipun ia mencari kalian Janganlah bersedih terhadap dunia yang hilang dan kalian. Berbuatlah kebaikan. Jadilah kalian musuh orang yang zalim dan penolong bagi orang yang dizalimi.”

Sungguh, kata-kata yang pantas bagi pemiliknya dan wasiat yang tepat bagi pemberinya.

***

Orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Pandangan dan hati mereka tertuju kepada satu sosok yang didambakan untuk menjadi khalifah pengganti. Mereka pun menggelar sumpah untuk memberikan baiat kepadanya.

Dia adalah lelaki mulia, Hasan ibn Ali, putra tertua Imam Ali.

Hasan pun menerima baiat setelah prosesi acara shalat jenazah dan pemakaman ayahnya.
Hasan menerimanya dengan penuh keterpaksaan karena mereka tidak memberikan hak kepadanya untuk memilih, dan tidak menerima alasan apa pun untuk menolak. Dengan cepat, Qais ibn Sa’ad bin Ubadah, pahlawan Anshar dan Islam berdiri memberikan baiat untuk dirinya. Lalu diikuti oleh khalayak ramai dan golongan-golongan yang berdatangan.

Kondisi masih belum aman untuk Hasan dan kondisi pada saat itu sangat jauh dan ketenangan dan ketenteraman.

Kabut hitam yang menyelimuti, membuatnya harus menerima baiat. Kekhalifahan adalah pengorbanan besar diantara sekian pengorbanan yang dilakukannya. Namun, ada sesuatu yang disembunyikan, hingga buat Hasan merasa sangat berat untuk menerima kekhalifahan ini.

Hal itu adalah kecintaan Hasan yang sangat mendalam terhadap perdamaian, dan ramalan Rasulullah kepadanya ketika masih kecil. Yaitu pada suatu hari nanti Allah akan menghentikan penumpahan darah umat Islam dikarenakan oleh dirinya. Sahabat-sahabat Rasulullah masih teringat jelas hari itu, ketika Rasul menaiki mimbar ditemani Hasan, cucunya yang masih kecil, yang berjalan tertatih-tatih. Rasulullah menggendongnya dan mendudukkannya di sampingnya kemudian berkata,

“Cucuku ini adalah seorang kesatria. Dengan dirinya, mungkin Allah akan mendamaikan dua golongan umat Islam yang sedang berseteru.”

Sekarang, datanglah waktunya, waktu yang tepat untuk menunjukkan kebenaran ramalan ini.

Sekarang, marilah kita lihat Amirul Mukminin, Hasan ibn Ali, ketika menyikapi masalah dengan dua pertimbangan:

Tentara Langit

Ain Jalut (Novel Islam)

Novel Ini menurut Mimin : Bagus, Layak dibaca... apalagi buat orang-orang yang malas baca sejarah Islam tapi suka membaca novel. Meski bisa saja berisi beberapa cerita fiktif, tapi garis besarnya berdasarkan cerita nyata.

Sinopsis:
Saifuddin Quthuz adalah satu di antara tokoh besar dalam sejarah muslimin. Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan memperbudak sebagian yang lain.

Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.

Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!

Subhanallah yang telah mengatur dengan Maha Lembut dan memperdaya dengan Maha Bijak. Tiada sesuatupun di bumi dan langit yang samar bagi-Nya.

ومكروا مكرًا ومكرنا مكرًا وهم لا يشعرون

“Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (An-Naml [27]: 50)

Quthuz –sebagaimana mamalik (budak yang dididik militer) lainnya–tumbuh dengan pendidikan agama yang benar. Semangat Islam yang kuat bergelora di dalam hatinya. Sejak kecil, ia dilatih dengan seni menunggang kuda, metode pertempuran, seluk-beluk manajemen dan leadership. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda gagah berani, mencintai dan menjunjung tinggi agamanya. Ia juga seorang yang kuat, penyabar, dan perkasa. Selain itu semua, ia juga dilahirkan dari keluarga raja.

Masa kanak-kanak Quthuz layaknya para pangeran yang lain. Hal ini membuat dirinya begitu percaya diri. Ia tidak asing dengan masalah kepemimpinan, manajemen negara dan kekuasaan. Di atas itu semua, keluarganya hancur oleh Tartar. Hal ini–tentu saja–membuat dirinya paham betul dengan bencana Tartar. Sebab orang yang menyaksikan tidaklah seperti yang mendengar.

Semua faktor ini berpadu menjadikan Quthuz seorang yang memiliki karakter sangat unik. Ia merasa ringan dengan penderitaan, tidak takut dengan para musuh bagaimanapun banyak jumlahnya atau unggul kekuatan mereka.

Pendidikan Islam dan militer, juga pendidikan untuk berpegang teguh kepada Allah, agama dan percaya diri, semua itu mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan Quthuz –rahimahullah-.

Nama Quthuz mulai muncul ke permukaan setelah terbunuhnya Raja Al-Muizz Izzuddin Aibak dan istrinya Syajarah Ad-Dur dihukum mati. Kemudian kekuasaan beralih kepada “Sultan Bocah” Al-Manshur Nuruddin Ali bin Izzuddin Aibak. Quthuz-lah yang memegang perwalian atas sultan kecil tersebut.

Quthuz meskipun ia secara real menyetir roda pemerintahan di Mesir, namun pada kenyataannya yang duduk di kursi kekuasaan adalah seorang sultan bocah. Tentu hal ini melemahkan wibawa pemerintah di Mesir dan merongrong kepercayaan rakyat kepada rajanya serta menguatkan niat musuh-musuhnya karena mereka melihat raja adalah seorang bocah.

Dengan mempertimbangkan ancaman Tartar yang menakutkan, problema internal yang mencekik, kekacauan dan pemberontakan dari mamalik bahriyyah dan ambisi para emir Bani Ayyub di Syam, maka Quthuz melihat tiada makna keberadaan “Sultan Bocah” Nuruddin Ali di kursi negara terpenting di kawasan, yaitu Mesir, di mana tiada lagi harapan untuk membendung Tartar kecuali di pundaknya.

Dari situ, Quthuz mengambil keputusan berani, yaitu menurunkan Nuruddin Ali dan ia mengambil alih kekuasaan di Mesir. Keputusan itu bukanlah hal yang aneh. Sebab sebenarnya Quthuz adalah penguasa real di Mesir. Semua orang –termasuk “sultan bocah” itu sendiri–mengetahui hal itu. Seolah-olah ada boneka lucu di mana Quthuz-lah yang menggerakan boneka tersebut. Boneka itu adalah sultan yang bocah. Apa yang dilakukan Quthuz tiada lain hanya mengangkat boneka itu, untuk memperlihatkan seorang singa gagah yang di tangannyalah peta geografi dunia akan berubah, begitu pula lembaran-lembaran sejarah lainnya.

Penggantian ini terjadi pada tanggal 24 Dzul Qaidah 657 H, yaitu beberapa hari sebelum kedatangan Hulagu di Aleppo.

Ain Jalut

https://www.mediafire.com/file/24d7dg0ppi18tw6/Ain%20Jalut.rar

Lupus - Topi-Topi Centil

Sekedar informasi, Lulu emang masuk sekolah sore. Biasa, biar bisa gantian jaga rumah sama Lupus. Soalnya tu rumah kalo nggak dijagai, suka kelayapan ke mana-mana. Repot kan nyarinya? Dan meski bisa naik becak, Lulu lebih suka jalan kaki kalo pulang sekolah. Hitung-hitung olahraga. Tapi tujuan mulianya sih sebetulnya cuma pengen ngeceng doang. Liat-liat pemandangan bagus, berupa cowok-cowok kece yang sedang lari sore, yang main sepatu roda atau bersepeda ria.

Atau kalo kebetulan ketemu teman yang lagi dimarahin ibunya di depan rumah, Lulu suka mampir. Turut mnyumbangkan rasa bela sungkawa.

"Santi memang keterlaluan, Nak Lulu," ungkap ibu Santi, teman Lulu yang sore itu kena giliran dimarahin di depan rumah, karena ulangan matematikanya ancur-ancuran. "Seharian suka maiiiin melulu. Pulang sekolah, tak langsung pulang. Entah main ke mana. Pulangnya malam. Besoknya pagi-pagi, bukanya belajar malah bermain-main lagi. Bagaimana bisa pintar?"

Santi hanya tertunduk dekat pagar.

"O, kalo saya pulang sekolah langsung pulang, Tante," ujar Lulu serius.

"Nah, dengar itu, Santi..." sela ibu Santi.

"Dan besok paginya juga jarang bermain-main, kecuali kalo lagi libur. Soalnya mami saya kerja, Lupus sekolah, jadi saya jaga rumah. Sambil baca-baca..." lanjut Lulu.

"Pasang telingamu baik-baik, Santi. Dengar sendiri apa kata temanmu!" sela ibu Santi lagi.

Santi makin menunduk.

"Kalau di kelas juga, saya selalu mendengarkan apa yang diterangkan guru, Tante. Tidak pernah bermain- main."

"Kamu anak yang baik. Lantas, bagaimana hasil ulangan matematikamu, Nak Lulu? Dapat nilai sembilan?"

Lulu diam sejenak. Memandang wajah ibu Santi dengan serius, "Tidak. Saya dapat nilai empat, seperti Santi."

Ibu Santi melongo.

***

Dan pas sampai di rumah, Lulu langsung menghitung uang tabungannya di kamar. Wah, kayaknya sudah cukup nih, pikirnya senang.

Dia memang punya rencana dengan uang-uangnya itu. Andi, teman Lulu yang jago basket itu mau ulang tahun. Kedengarannya biasa saja, tapi tidak buat Lulu. Soalnya, si centil itu diam-diam emang naksir Andi. Andi yang suka pake topi pet yang lucu-lucu, Andi yang punya badan atletis, Andi yang suka mencuri-curi pandang ke arah Lulu kalo Lulu lagi nonton basket, Andi yang anak kelas dua, Andi yang pernah sekali menegurnya di perpustakaan. Wah, pokoknya kalo kamu tanya apa aja soal Andi, Lulu pasti dengan mata berbinar binar menjelaskannya. Soalnya, katanya Andi juga naksir Lulu.

Dan sekarang Andi tersebut mau ulang tahun. Tentunya Lulu jadi mendadak sibuk sendiri. Memikir-mikir, kado apa ya yang paling tepat buat anak kece itu?

Tapi suatu ketika, saat Lulu sedang bermain-main di pusat pertokoan, Lulu melihat ada toko yang menjual topi-topi pet yang lucu-lucu. Yang bentuknya ada yang seperti topi pelaut, ada yang seperti topi jenderal, ada yang model detektif zaman dulu, yang merah, biru, hitam, kuning, wah... pokonya centil-centil deh. apalagi dengan ditempeli lencana yang lucu-lucu.

Lulu langsung ingat Andi. Andi yang juga suka pakai topi centil macam gitu. Wah, tentunya ini bakal jadi hadiah yang amat menarik buat dia.

Lulu langsung ngumpulin duit buat beli topi itu.

https://www.mediafire.com/file/0dypktunn3xb59b/Lupus%20-%20Topi-Topi%20Centil.rar

Penghuni Hutan Parigi

Novel ini menurut Mimin : Bagus! Karena jujur aja, Mimin mah penyuka novel-novel horor gini. Bacanya agak merinding disco gimana gitu hehe....

Oh ya, karna cover aslinya gak ada yang bagus (internet udah diubek-ubek), jadi mimin pake cover bikinan mimin sendiri. jadi, ya gitu deh...

Sinopsis 

 Suara mendengus bercampur bunyi menggeram itu datang dari sebelah kiri jalan. Keping-keing rembulan yang bertemperasan dari sela-sela pepohonan menerangi secara samar-samar sesosok tubuh setinggi pinggangku. berkaki pendek dengan tangan-tangan yang panjang tergantung di kedua sisi tubuhnya. Aku yakin warna bulunya kelabu sedikit kehitaman, tetapi warna mata itu hijau kemerahan! Kera apa ini? Dan mengapa pemilik warung tadi menyuruhku berhati-hati terhadap binatang jenis yang sebenarnya tak patut saling bermusuhan dengan manusia ini?

Werrrr! Weeerrrrrr......

Aku menoleh ke kanan dengan cepat. Makhluk yang sama muncul dengan langkah-langkah berat dari arah yang berlawanan dengan binatang yang pertama tadi. Yang ini dua ekor dan tingginya hampir mencapai bahuku. Ketiga makhluk itu bergerak dari kiri kanan yang satu berpindah ke depan. Jalanku ditutup. Benar. Ditutup untuk maju.

Werrrr!.....

Keterkejutanku segera lenyap, diganti oleh naluri ingin membela diri.

Pelan-pelan sebelah tanganku menyentuh tali-tali ransel, bermaksud melepas ikatannya. Ransel berisi pakaian dan sedikit oleh-oleh itu cukup berat dan kalau diayunkan bisa berubah jadi gada bertenaga kuda. Tetapi aku segera sadar, gerakan itu terhalang oleh kotak korek api yang tergenggam di tangan yang sama. Korek api! Dan tangan kiriku yang menggenggam bambu berlampu damar. Alangkah bodohnya!

“Yeeeeeaaaaaa!” aku menghentak

Ketika makhluk itu tertegur.

“Yea! Mundur! Mundur! Mundur!” aku bergerak

Tiga pasang mata berwama hijau kemerahan, seperti saling pandang. Serentak. Serentak pula ketiganya maju seperti aku, disertai bunyi dengus bercampur geraman-geraman aneh itu. Bentakan saja ternyata tidak akan berguna. Secepat aku bisa, beberapa batang korek api sekaligus kuhidupkan, lantas kudekatkan ke arah damar. Makhluk yang paling kecil, menerjang ke depan. Aku mengelak dan korek api mati. Cepat kuhidupkan lagi sementara dua makhluk yang lain kini hanya berjarak tak sampai dua meter dari tubuhku. Si kecil tadi menggeram ganas dan siap untuk menerjang kembali mengulangi kegagalannya tadi. Tetapi Lampu damar telah menyala. Terang-benderang, dengan suara api bersiur-siur garang waktu kugoyangkan ke kiri dan ke kanan berulang-ulang.

Benar. Makhluk-makhluk itu adalah kera-kera berbulu kelabu kehitam-hitaman, bermata hijau kemerah-merahan yang segera mengeluarkan suara “ngggik, ngiiiiiik, ngiiiiiiiiikk “ berusaha menghindari sinar lampu dengan menutupkan lengan-lengan berbulu mereka ke depan muka.

“Mundur!” aku berteriak lagi, seraya menerjang ke depan. Lampu damar tertuju pada kera yang tengah dan yang terbesar. Ia menggeram setengah menjerit dengan suara aneh, kemudian berlari tunggang langgang menerobos rimbunan semak-semak. Dua ekor kera lainnya mengikuti gerakan kera yang pertama. Semak belukar bertemperasan menimbulkan suara berisik, kian lama kian menjauh, kemudian sepi mencengkam. Tinggal desah nafasku yang tersengal-sengal dan denyut jantungku yang berdentum-dentum.

Ketika itulah terdengar suara yang sayup-sayup sampai.

Lalu kelap-kelip cahaya yang timbul tenggelam.

Lampu damar kuacungkan. Tinggi di udara.

Dan aku bernafas lega. Ternyata aku berada tak jauh dari mulut desa. Jalan di depanku berakhir di sebuah lapangan yang dikelilingi rumah-rumah penduduk Cibeureum.

DENGAN obor di tangan tiga orang laki-laki berlari-lari mendatangi. Lampu damar kuacungkan tinggi-tinggi di udara dengan mata liar memandang ke kiri dan ke kanan. Namun sampai ketiga orang itu sudah merubungiku, makhluk-makhluk tadi tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Semak belukar di pinggir jalan tampak tenang dan diam. Pepohonan yang besar-besar dan tinggi, berdiri kukuh tanpa kesan apapun. Seolah-olah tidak ingin dijadikan saksi atas kejadian yang membuat jantungku masih berdegup kencang itu

“Ada apa?” salah seorang yang mengenakan ikat kepala, bertaya seraya memandangi sekujur tubuhku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki lalu berhenti lama sekali di wajahku.

Aku menghela nafas. Lega. telah menemukan manusia lagi di sekitarku setelah perjalanan yan rasanya teramat panjang dan teramat menegangkan itu. Tiga ekor kera, dua di antaranya memang besar-besar, kukira bukan cerita yang bisa menarik simpati untuk disampaikan pada orang-orang itu. Oleh karenanya, seraya membetulkan letak tali ransel yang agak longgar tersabet kera yang kecil tadi, aku menyahut dengan suara ditenang-tenangkan.

“Ah... Engga apa-apa. Ini desa Cibeureum?”

“Ya Ada apa tadi? Saudara berteriak-teriak mengejutkan kami yang lagi piket jaga di pos”

“Oh... jadi kalian ronda malam. Maafkan atas kelancanganku. Tadi aku cuma kaget saja”

“Kaget?’

“Heem” dan aku cepat mencari sebab. “Aku terperosok. Lalu jatuh”

“Dan damar ini?” yang berikat kepala menuding bambu yang kupegang, berkibar-kibar kian kemari. Saudara menghindari sesuatu?”

Aku tertawa. Menjawab: “Tepatnya mencari sesuatu. Ransel ini lepas talinya. Dan, ah. Saya lelah sekali. Boleh aku meneruskan perjalanan?”

Orang itu menghindar dari depanku.

Aku menganggukkan kepala kemudian berjalan melampaui mereka. Yang seorang sempat kudengar berbisik:

“Dung, mungkin dia yang disebut-sebut Ningrum”

Aku cepat membalik. Menatap wajah pembicara itu. Seorang laki-laki muda, berusia sekitar dua puluh tahun, wajah kelimis, rambut tersisir rapih dan kain sarung dibelitkan pada pinggang. Ia agak terkesiap waktu kupandang dan kemudian menjadi biasa kembali setelah kulemparkan seulas senyum kepadanya.

“Aku memang mau ke rumahnya. Yang mana kira-kira ya?” kugerakkan dagu ke arah kampung.

“Mari kami antarkan” sambut lelaki berikat kepala.

Kami kemudian berjalan beriring-iringan masuk kampung. Yang tadi kukira rumah tempat ketiga laki-laki ini keluar, ternyata sebuah pos hansip berlantai tanah. Dari dalam asap putih bertemperasan keluar dari lubang hidungku mencium bau ubi bakar. Ketegangan di tubuh tiba-tiba berganti dengan perasaan lapar yang melilit perut. Ah, sabarlah. Ningrum toh telah menanti dengan santapan malam yang lezat di rumahnya. Kalau perlu akan kuminta ia menyediakan tempat perapian dimana aku jugs bisa memanggang ubi sambil berpelukan dikedinginan malam. Hehhh... terasa kudukku bergetar.

Setelah melewati beberapa buah rumah yang gelap, sepi dan diam dikeheningan malam dengan lampu damar yang berkelap-kelip tertiup angin pada mulut pagar, kami kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang termasuk agak besar dibandingkan dengan yang telah kami lalui. Halamannya luas, penuh ditanami ketela, beberapa pohon buah-buahan, sebuah kebun bunga tampak berseri dalam taman rembulan empat belas hari di samping rumah, Ia! teras berlantai tegel warna kuning dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota. Jadi, aku tak akan menyesal telah jatuh cinta pada seorang gadis yang berasal dari sebuah kampung terpencil dan untuk sampai ke rumahnya, harus melalui perjuangan yang tak kepalang. Diserang ketiga ekor kera itu misalnya. Tiba-tiba kudukku bergidik. Teringat warna mata yang hijau kemerah-merahan dalam jilatan rembulan!

“Nah, Oom” suara salah seorang pengiringku dengan nada yang agak janggal. “Kami tak diperlukan Lagi, bukan?”

Aku mengucapkan terimakasih, memperhatikan ketiganya berjalan keluar pagar. Disana, mereka berhenti, memutar tubuh memperhatikan. Aku mengangguk lagi dan mereka kemudian pergi. Tiga orang laki-laki dalam kesamaran malam di bawah jilatan rembulan, tampak kelabu kehitaman. Dan aku teringat lagi pada ketiga ekor kera yang menyerangku di mulut kampung. Selain babi hutan, kera merupakan binatang yang peru dijauhi menurut keterangan pemilik warung di pinggir jalan besar tadi. Aku telah mengalami kebenaran ucapannya, mensyukuri manfaat lampu damar yang tadinya kuremehkan, kemudian mengetuk pintu setelah lebih dulu meletakkan bambu berlampu damar di pojok teras.

Sepi di dalam.

Download

https://www.mediafire.com/file/nu71a1s3ep2j2re/Penghuni%20Hutan%20Parigi.rar

Rajawali Emas - Pendekar Cengeng

Dewi Murah Senyum makin diguncang gairah. Tetapi di saat dia hendak membuka pakaiannya kembali, mendadak lagi-lagi didengarnya suara isakan di luar,

"Huhuhu... aku tidak tahu jalan keluar dari tempat ini... huhuhu... tunjukkan segera padaku..."

"Jahanam terkutuk!" geram Dewi Murah Senyum.

Dengan kemarahan yang telah tiba di ubun-ubun, dia langsung melesat dan melompat keluar dari dalam tandu. Kedua kakinya begitu ringan tatkala menginjak tanah dan berdiri sejarak lima langkah dari sosok Pendekar Cengeng!

"Pemuda cengeng, kau telah mengabaikan perintahku! Berarti, kematian yang akan kau terima!"

"Huhuhu... aku cuma bermaksud bertanya padamu. Jangan ancam aku..."

"Keparat!" bergetar suara dan tubuh Dewi Murah Senyum. "Lekas katakan apa yang hendak kau tanyakan!"
Sambil bersikap seolah mengusap-usap air matanya padahal tak ada yang keluar, pemuda berpakaian putih ini berkata, "Tunjukkan padaku jalan keluar dari tempat ini..."

"Dari mana kau datang tadi?!" bentak Dewi Murah Senyum penuh kegeraman.

"Dari arah tirnur..."

"Mengapa kau tak segera pergi ke arah tirnur?!"

"Huhuhu... jangan bentak aku... aku tidak tahu di mana arah timur sekarang..."

"Terkutuk! Mengapa aku harus melayani percakapan sinting dengan pemuda cengeng ini?!" damprat Dewi Murah Senyum dalam hati. Kemudian katanya, "Kau tengok ke arah kananmu... Di sanalah arah timur! Cepat menyingkir dari sini!"

Pendekar Cengeng sejenak arahkan pandangannya ke kanan. Lalu dengan masih mengisak dia berkata, "Huhu... aku tak berani melangkah sendiri... maukah kau menemaniku?"

"Setan alas!!" maki Dewi Murah Senyum dalam hati dengan kemarahan yang sudah tak bisa ditahankan lagi.

Sebelum dia berkata, Pendekar Cengeng sudah berkata, "Huhu... kalau kau keberatan mengantarku tidak mengapa tetapi, bagaimana dengan gadis di dalam tandu- mu itu? Barangkali saja dia mau mengantarku... huhu..."

Mendengar kata-kata orang yang sama sekali tak disangkanya, sampai surut satu tindak kaki Dewi Murah Senyum.

"Setan! Siapa pemuda ini sebenarnya? Dia bisa tahu kalau ada orang lain di tanduku? Padahal aku merasa tak membiarkan pandangan siapa pun masuk ke dalam tanduku ini? Bahkan tanduku terbuat dari bahan yang cukup tebal! Terkutuk! Lebih baik kubunuh saja dia sebelum akhirnya memang mengganggu keasyikankui"

Memutuskan demikian, seraya maju dua tindak ke depan, Dewi Murah Senyum berkata, "Kau kesulitan menemukan arah yang harus kau tuju, dan kau ketakutan melangkah sendiri! Bagus! Kalau begitu... kutunjukkan jalanpadamu yang lebihbaik! Jalanke neraka!!"

Belum habis bentakannya terdengar, sosoknya sudah mencelat ke arah Pendekar Cengeng. Hawa panas seketika menebar.

https://www.mediafire.com/file/6ierm3l60crkyap/Rajawali%20Sakti%20-%20Pendekar%20Cengeng.rar

Tidak Hilang Sebuah Nama

Novel ini menurut Mimin : Awalnya mengalir sederhana, kemudian sadis dan diluar batas kewajaran. Penulisnya cukup pintar dengan mengambil setting di Australia, sebab kalau mengambil setting di Indonesia akan terkesan aneh hehe....

Keseluruhan ceritanya cukup menarik meski banyak janggalnya, tapi yah namanya juga cerita, kalo gak dibikin jangggal pasti gak seru. So, nikmatin aja!

Sedikit Nukilan

la sudah membaca belasan, bahkan hampir puluhan buku. Setengah yakin, namun ia juga terkadang tergelitik untuk mencari celah-celah kesalahannya. Tapi mengapa ajaran Islam sangat meyakinkan baginya? Hingga dadanya seperti dipukuli gada raksasa. Telinganya berdengung. Mungkin ini rasanya bila orang baru saja menemukan kebenaran.

"Aku ingin masuk Islam...," ucap Olive, sembari menggigit bibirnya.

Fateema tersenyum. "Alhamdulillah".

Olive sedikit menolak rengkuhan Fateema. "Tapi aku belum siap memakai kerudung. Bolehkah?"

Fateema diam sebentar.

"Tidak boleh, ya?"

"Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu? Masuk agama Islam dan menjalankan segala syariatnya?"

"Tentu..., tapi...," Olive menggigit bibirnya lagi, "akankah aku memakai kerudung saat aku belum benar- benar siap? Dan ketakutanku adalah aku akan setengah hati melakukannya. Setengah hati, berarti aku tidak sepenuhnya rela. Dan tanpa kerelaan, apa pun yang kulakukan akan menjadi cepat hilang."

Fateema tahu apa inti dari perkataan Olive. Kemudian ia teringat banyak pula temannya yang memakai kerudung, tetapi tidak mematuhi syariat tata cara berkerudung yang sebenarnya. Dan jika ketakutan Olive seperti itu, bukankah itu berarti Olive mempunyai semacam kecemasan bila dirinya hanya melakukannya setengah-setengah? Dan ada kemauan secara sungguh- sungguh untuk menerapkan syariat Islam. Lagi pula bagi seorang mualaf seperti Olive, yang selama ini benar-benar jauh dari bimbingan Islam, rasanya perubahan yang bertahap sedikit demi sedikit adalah yang paling baik untuknya.

"Lalu sampai kapan kamu akan benar-benar menjadi seorang Muslimah sejati?"

"Sampai aku sudah mendapatkannya. Aku akan mencari."

Fateema mengangguk. Sebuah keputusan yang logis. la kenal betul siapa Olive. Seorang gadis dengan kemauan keras yang tak akan berhenti berusaha sampai apa yang diinginkannya tercapai.

Olive berkaca pada seorang Fateema, yang meskipun tidak berwajah cantik namun tetap disegani banyak orang. Mula-mula ia mengira ini dikarenakan kepandaian Fateema. Ternyata ia juga baik hati, ramah, dan santun dalam perbuatannya.

"Agama memberi suatu kesucian atas prinsip moralitas, seperti kejujuran, keadilan, persaudaraan...."

"Tapi bukankah kita bisa melakukan itu tanpa memeluk agama?" potong Olive.

Fateema tersenyum. "Benar! Namun tanpa keimanan agama yang kuat, konsepsi-konsepsi seperti itu akan kehilangan kesuciannya. Berbuat baik hanya akan menjadi suatu rekomendasi, bukan kewajiban. Dengan kata lain, kita bebas untuk berbuat baik atau sebaliknya. Tidak ada yang mengikat."
"Berarti agama akan mengekang kita dengan kewajiban seperti itu?"

"Benar. Apa kamu tidak merasa bahwa kita diciptakan untuk saling menghormati dan berbuat baik pada sesama? Aku kira, itu adalah suatu prinsip yang universal."

Olive diam Dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata Fateema. Makin mantaplah ia dalam memeluk Islam -sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas di pikirannya hingga beberapa bulan yang lalu.

Sayangnya, satu bulan kemudian Fateema mendadak harus kembali ke negaranya. Perpisahan yang mengharukan Padahal Fateema mengatakan, ia akan mengajarkan mengaji. Sebelum pulang, Fateema menghadiahkan sebuah kerudung mams berwarna merah muda.

"Pakailah! Aku ingin melihatmu memakainya." Fateema tersenyum di antara matanya yang sembab. Olive memmang kain kerudung itu di tangannya.

Inikah saatnya? Olive bertanya dalam hati.

"Setidaknya sebelum pulang, aku ingin melihatmu untuk memakainya, biarpun hanya sekali. Meski setelah ini kaucopot kembali, dan meneruskan pencarianmu. Walaupun sejujurnya aku tidak mengharapkan itu."

Ah..., sesungguhnya aku pun telah lelah mencari. Biarlah setengah dari keraguan ini kukorbankan Dan dengan pengorbanan ini akan kucari setengah dari keraguan itu -dan berharap akan ketemu jalan keluarnya.

Olive mengangguk. Dibiarkan saja Fateema menyematkan kain itu di kepalanya.

"Cantik...," puji Fateema.

https://www.mediafire.com/file/99hqbq8g873d05d/Tidak%20Hilang%20Sebuah%20Nama.rar

Lupus - Tragedi Sinemata

BERITA bahwa Lupus bakal diajak main film, memang cukup menggemparkan teman-teman sekolahnya. Apalagi teman-teman dekatnya macam Fifi Alone, Boim, Aji, Gito, Gusur, Meta, Ita, dam Utari. Soalnya, rencananya, Lupus juga mau mengajak teman-teman dekatnya itu untuk ikutan terlibat. Gimana nggak surprise?

"Kamu serius, Pus?" tanya Fifi antusias.

"Serius kok. Kebetulan sang produser PT. Cuwek Bebek Film kenalan bos saya di Hai. Dan ketika dia butuh pemeran pembantu untuk film dia yang bertemakan remaja, si Bos langsung nawarin saya main. Dan karena butuh orang banyak, saya pun disuruh nyari temen-temen lain yang mau ikutan main."

Suasana sekolah pun jadi ramai. Ini karena ulah Fifi Alone yang nggak bisa ngebendung emosi dan langsung cerita ke semua orang.

"Ike khawatir, jangan-jangan bintang utamanya jadi kesaing gara-gara ike ikutan jadi pemeran pembantu...," celotehnya.

Anak-anak kelas lain pun jadi pada sirik.

"Produsernya kesambet apa sih, kok ya tega-teganya mereka diajak main film. Apa nggak takut rugi?" ejek seseorang.

"Tapi bener lho mereka bakal main film," bela yang lain.

"Ah, mustahil. Main topeng monyet sih mungkin!"

"Saya lihat sendiri, mereka sudah mulai latihan di aula sekolah saban pulang sekolah."

"Atraksi topeng monyet kan juga perlu latihan!"

Tapi berita itu hampir mendekati kebenaran ketika besoknya Lupus dipanggil sang produser untuk diajak ngomong-ngomong. Tadinya Lupus mau berangkat sendiri, biar di sananya nggak kacau. Tapi Gusur maksa ikut. Akhirnya mereka pergi berdua.

"Gimana, Pus? Mau serius kan?" tanya sang produser ketika mereka bertemu. Sementara si Gusur masih menunggu di luar, nunggu dipanggil.

Lupus pun tersenyum malu-malu. Sang sutradara, yang ikutan hadir, ikut tersenyum.

"Temen-temen yang lainnya mana? Kok nggak diajak?"

"Eh, saya kira saya disuruh menghadap sendiri. Sori deh. tapi saya bawa contohnya satu biji. Sekarang lagi nunggu di luar. Mau liat?" sahut Lupus.

"Lho, kok nggak disuruh masuk? Siapa namanya?"

"Gusur. Saya panggil, ya?" Lupus langsung berdiri, dan berteriak-teriak ribut, "Suuur, Gusuuuur, kamu boleh masuk. Udah aman!"

Wajah Gusur yang nggak kece muncul dari balik pintu, "Daku datang, Pus."

Lalu berjalan menghampiri mereka.

"Ini salah satu contoh, Mas. Meski agak lecek, ya lumayan lah buat peran jadi penjaga pintu kereta..." ujar Lupus memperkenalkan.

Sang produser pun sibuk senggol-senggolan dengan sang sutradara. Sambil berbisik, "Nggak salah nih? Kok yang beginian yang dibawa?"

"Eh, gini-gini juga dia pernah mau ikutan lomba coverboy majalah Mode, Mas," sahut Lupus seperti mendengar bisikan produser. "Tapi nggak boleh sama saya. Soal- nya takut, nanti kalau menang dan wajahnya sampai terpampang di cover, oplag majalahnya bisa anjlok. Nggak laku."

Gusur ngamuk-ngamuk.



"Oke deh, besok kamu dan temen-temen kamu ke sini aja lagi. Tapi agak pagian, biar bisa sekalian latihan, dan dicatat nama-namanya. Soalnya sekarang pegawai kantor sudah pada pulang," ujar si produser.

Lupus mengangguk. Gusur ikut-ikutan.

https://www.mediafire.com/file/8ocrz2bzn38fnmb/Lupus%20Tragedi%20Sinemata.rar

Misteri Shalat Subuh

Judul : Misteri Shalat Subuh
Penulis : Dr. Raghib As-Sirjani
Penerbit : Aqwam 
Tahun : Juni 2005

Pernah salah seorang penguasa Yahudi menyatakan bahwa mereka tidak takut dengan orang Islam kecuali pada satu hal. Ialah bila jumlah jamaah shalat Subuh menyamai jumlah jamaah shalat Jum’at. hal. 142)

Pelajaran apa yang dapat kita petik dari pernyataan di atas? Ternyata orang Yahudi lebih jeli terhadap kondisi kita, daripada diri kita sendiri.

Betapa, selama ini kebanyakan kaum muslimin terlena dalam malam yang panjang sehingga hanya menyisakan segelintir orang yang membentuk sederet-dua deret shaf pada shalat Subuh. Mereka tak menyadari, ada nilai religi dan filosofi yang kuat dalam pelaksanaan shalat Subuh. Alih-alih, justru Yahudi yang menyadarinya.

Memang, kalau kita urai benang permasalahannya akan lebih rumit. Pemahaman dan kesadaran mayoritas kaum muslimin masih lemah. Dengan berbagai alasan, akhirnya lebih memilih shalat di rumah. Sebuah fenomena yang bila terjadi pada masa Rasulullah akan diancam dengan sanksi pembakaran rumah. Bahkan bagi sebagian muslimin, kewajiban shalat teranak tirikan oleh berbagai kepentingan duniawi, dan tentunya, bisikan setan. Na’udzubillah!

Dalam lima waktu shalat wajib yang diperintahkan kepada kita, DR. Raghib As-Sirjani lebih memfokuskan titik permasalahan kepada satu waktu: shalat Subuh. Tentu, ini tidak bermaksud membeda-bedakan satu kewajiban dengan kewajiban lainnya.

Tetapi berdasarkan kajian epistemoligis dan analisis aksiologisnya, shalat Subuh mempunyai kekuatan yang luar biasa Pahala yang yang dijanjikan Allah dalam shalat Subuh, dan aktiyitas lain yang dikerjakan sebelum dan sesudahnya, begitu besar. Wajar, shalat Subuh dikerjakan diantara waktu teristimewa; sepertiga malam terakhir dan waktu fajar.

Yang tak kalah pentingnya, turunnya kembali Isa bin Maryam dan kedatangan Imam Mahdi, menurut sebuah riwayat, berlangsung saat Subuh.

Dampak sosial yang timbul dari pelaksanaan shalat Subuh pun tak bisa dipandang sebelah mata. Pelaksanaannya yang tepat sesuai waktu akan mendorong peningkatan aktiyitas sehari penuh seorang muslim Ini bukan tanpa bukti. Penulis menganalogikannya dengan kehidupan masyarat Eropa dan Amerika yang rajin bangun bagi—meski hanya sekadar mengajak jalan-jalan anjingnya.

Memang, buku ini tidak semerta-merta mengklaim pelaksanaan shalat Subuh sebagai satu-satunya solusi utama bejibun problematika umat. Namun, ia menjadi sumbangan pemikiran yang sangat berarti kehidupan umat ini, di dunia maupun akhirat.

Sebuah pemikiran yang menarik, menggelitik, idealis— namun tetap realistis, sekaligus membuat penasaran. Itulah sebabnya, kami mengemasnya dalam judul: Misteri Shalat Subuh.

https://www.mediafire.com/file/w0oll566da7yllm/Misteri%20Shalat%20Subuh.rar

Acep Pejuang Kecil

Buku ini menurut Mimin : Sangat bagus, apalagi dibaca pas bulan Agustus gini, biar kita sebagai generasi saat ini tau betapa berat perjuangan orang-orang terdahulu dalam memerdekakan negara ini dari penjajahan.

Sedikit ulasannya : Suatu sore, sehabis melayani serdadu-serdadu piket, seperti biasa Acep menganggur. Serdadu-serdadu itu tampak tenang-tenang saja, bahkan tampak sangat letih. Gerakannya lamban, senyum tawanya hilang, bahkan kegalakannya juga hilang. Kehadiran Acep di sana mulai tidak diganggu dan juga tidak dilarang. Hal ini sebenarnya merupakan kebebasan bagi Acep, tetapi Acep justru jadi menganggur.

Sebagai perintang waktu ia berdiri di depan markas dekat serdadu yang sedang jaga di rumah jaga. Ia memandang ke jalan yang sunyi. Tidak seorang pun yang lalu karena hari mulai gelap. Penduduk kota itu jarang yang berani lewat di depan markas.

Mula-mula Acep tidak sengaja memandangi deretan gedung-gedung di seberang itu. Matanya tertuju pada seorang yang sedang duduk di antara dua buah gedung. Orang itu seperti menatap dia. Orang itu tidak henti-hentinya memandang ke arah Acep, seolah-olah meminta agar Acep mendekat. Orang itu kelihatan sangat mengharapkan kedatangan Acep.

Seperti kena sihir Acep berjalan ke seberang mendekati orang itu.

"Selamat sore, Acep," kata orang itu menyapa.

Acep sangat terkejut. Dari mana orang itu mengetahui namanya?

"Yah, aku tahu namamu Acep. Serdadu-serdadu itu selalu memanggilmu demikian. Namamu sederhana tetapi mudah dikenal," katanya lagi.

"Selamat sore, Tuan siapa?" tanya Acep memberanikan diri.

"Sebut saja, Pak Namaku Kartono. Jadi, Pak Kartono atau Pak Ton."

"Sudah lama, bukan, kau tinggal di situ?" tanyanya lagi.

Acep tidak menjawab. Ia memandangi orang asing itu.

"Masuk gang itu lebih dulu. Aku akan menyusulmu nanti," permintaan orang asing itu.

Seperti tadi, seperti kena sihir Acep menurut saja perintah orang yang mengaku Pak Ton itu. Meskipun tidak tahu maksud orang itu, tetapi Acep terus saja menyusuri gang itu. Ia berjalan sambil berulang kali menoleh ke belakang. Ia sudah masuk kira-kira seratus meter, tetapi Pak Ton belum juga menampakkan diri. Tiba-tiba ketika timbul pikiran hendak kembali, orang itu menegur.

"Marilah ke tikungan itu."

Agaknya orang itu menyusul dari arah yang berlawa- nan.

"Bagaimana? Kau senang di sana?" tanyanya lagi.

"Sudah makan? Nasi beras tentu. Berlauk daging," tanyanya menyindir.

Acep diam saja. Bagaimana ia harus menjawab? Untuk apa pertanyaan itu dijawab? Memang demikianlah halnya.

"Kau kenal mereka?"

Acep menggelengkan kepala.

"Berapa orang biasanya yang jaga? Kapan biasa diganti?"

"Dua belas orang. Diganti tiap sore."

"Apa kerja mereka jika tidak berada di depan?"

"Paling main gaple atau catur. Malah pemimpinnya tiduran saja di kamar."

Setelah mengangguk tanda mengerti orang itu bertanya lagi "Kau tahu di mana tempat tinggal komandan yang dihormati oleh semua serdadu apabila ia lewat atau ketika sedang apel?"

"Tahu, di bagian tengah, di rumah yang menyendiri itu," Acep menjawab sambil menunjuk pada bangunan yang letaknya agak terpisah dari bangunan lain.

"Kau tahu di mana serdadu-serdadu itu mengambil senjata atau peluru?"

"Tahu. Di bangunan yang dilindungi dengan karung-karung pasir yang sangat tinggi itu "

"Kau tahu di mana mobil-mobil itu mengambil bensin?"

Orang itu masih terus bertanya seakan-akan ingin mengetahui liku-liku markas itu sampai pada hal yang paling kecil sekali pun.

"Oh, itu di pojok sana, dekat dapur umum, di belakang gudang senjata."

"Apakah ada meriam-meriam yang dipersiapkan yang terlindung oleh barikade-barikade atau karung-karung pasir yang tinggi itu?"

"Wah, saya kurang tahu."

Setelah berdiam sebentar orang itu bertanya lagi, "Nah, aku minta kamu memeriksa sekali lagi yang telah kutanyakan itu. Besok, waktunya seperti sekarang ini, kita berjumpa di sini. Aku menunggu laporanmu."

Acep agak lama terdiam. Mengapa orang ini bertanya terus dan soalnya macam-macam? Mengapa orang ini memerintah seperti seorang komandan tentara? Apa hubungannya dengan dia?
https://www.mediafire.com/file/kph87gjjkkr42mj/Acep%20Pejuang%20Kecil.rar

Misteri Gadis Tengah Malam

Buku ini menurut Mimin : Serem! Apalagi kalo bacanya sendirian tengah malem di pemakaman umum atau di kebun bambu He-he... Bintang 7 deh dari 10, cuma harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak sebab dibeberapa bagian mengandung unsur yang tidak kita inginkan bersama-sama Hehe...

Sekelumit ceritanya : "Normaaan...! Norrr...! Lupakah kauuu...? Lupakah kau padaku, Norman...!"

Norman segera melompat dari pembaringannya dan membuka jendela. Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding. Matanya melebar, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela kamarnya. Padahal suara tadi jelas terde- ngar di depan jendela, seakan mulut perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya suaranya didengar Norman. Tetapi, nyatanya keadaan di luar kamar sepi-sepi saja.

"Brengsek!" geram Norman. Ia menunggu beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu tidak terdengar lagi.

Norman mengeluh kesal sambil duduk di kursi belajar- nya. Ia menyalakan lampu belajar yang ada di meja kamar. Kamar menjadi terang. Cermin di depan meja belajar menampakkan wajahnya yang sayu.

Pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuknya deng an lembut. Pelan sekali, seakan pengetuknya sengaja hati-hati supaya suara ketukan tidak didengar penghuni pondokan yang lainnya. Norman melirik ke arah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu, ia mendengar suara perempuan di seberang pintunya.

"Nor... Normaaan...!"

"Siapa...?!" tanya Norman dengan nada kesal, karena ia tahu bahwa suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya itu sama persis dengan suara yang meng- ganggunya sejak tadi. Tapi, karena tidak ada jawaban dari pengetuk pintu, Norman berseru lagi, "Siapa sih?! Jawab dong!"

"Aku...!"

"Aku siapa?! Sebutkan!" Norman sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu.

"Kismi..."

Mata Norman jadi membelalak. Kaget.

"Kismi...?!" desahnya dengan nada heran sekali. Ia mengenal pemilik nama itu, tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau Kismi akan datang, apalagi lewat tengah malam begini. Norman pun akhirnya bergegas membukakan pintu setelah ia sadar, bahwa suara yang sejak tadi memanggilnya itu memang suara Kismi.

"Sebentar, Kis...!" kata Norman, yang kemudian segera membukakan pintu.

"Hah...!" Ia terperanjat dengan jantung berdetak-detak.

Di luar kamarnya, tidak ada siapa-siapa. Sepi. Hanya hembusan angin yang dirasakannya begitu dingin dan membuat tubuhnya merinding lagi. Dalam keadaan bingung dan berdebar-debar itu, Norman masih me- nyempatkan diri berpaling ke kanan-kiri, mencari Kis- mi yang menurutnya bersembunyi. Tapi, tak terlihat bayangan atau sosok seseorang yang bersembunyi. Di kamar mandi? Tak mungkin. Kamar mandi terlalu jauh dari kamar Norman jika akan digunakan seseorang untuk berlari dan bersembunyi. Sebelum orang itu sem pat bersembunyi, pasti Norman sudah melihatnya lebih dahulu.

"Kismi...?!"

Norman mencoba memanggil perempuan yang dikenal nya kemarin malam itu, tetapi tidak ada jawaban. Makin merinding tubuh Norman. dan semakin resah hatinya di sela debaran-debaran mencekam.

Karena ditunggu beberapa menit Kismi tidak muncul lagi, bayangannya pun tak terlihat, maka Norman pun segera menutup pintu kamarnya dengan hati bertanya-tanya: "Ke mana dia?"
Mendadak gerakan penutup pintu itu terhenti. Mata Norman sempat menemukan sesuatu yang mencuriga- kan di lantai depan pintu. Aneh, namun membuatnya penasaran.

"Kapas?"

Hati semakin resah, kecurigaan kian mengacaukan be- naknya. Segumpal kapas jatuh di lantai depan pintu. Se dikit bergerak-gerak karena hembusan angin. Ada rasa ingin tahu yang menggoda hati Norman. Maka. dipung utnya kapas itu.

Ketika tubuh Norman membungkuk untuk mengambil kapas, tiba-tiba angin bertiup sedikit kencang. Kapas itu bergerak, terbang. Masuk ke kamar. Gerakan kapas sempat membuat Norman yang tegang terperanjat sekejap.

Pintu ditutup dan kapas itu dipungutnya. Ia segera melangkah ke meja belajarnya, mencari tempat yang terang. Ia memperhatikan kapas itu di bawah penerangan lampu belajarnya.

"Apakah kapas ini milik Kismi?" pikirnya sambil meng amat-amati segumpal kapas yang kurang dari satu genggaman.

Ada aroma bau harum yang keluar dari kapas itu. Bau harum itu mengingatkan Norman pada jenis parfum yang baru sekali itu ia temukan. Parfum yang dikena- kan pada tubuh Kismi.

"Aneh?! Mengapa Kismi tidak muncul lagi?" pikirnya setelah setengah jam lewat tak terdengar suara Kismi maupun ketukan pintu. "Mengapa ia hanya meninggalkan kapas ini?

Lalu kapas untuk apa ini? Apakah Kismi sakit? Apakah ia hanya bermaksud mengingatkan kenangan sema- lam?"

Norman tertawa sendiri. Pelan. Ia kembali berbaring dengan jantung yang berdebar takut menjadi berdebar indah. Kapas itu diletakkan di samping bantalnya, sehingga bau harum yang lembut masih tercium oleh- nya. Pikiran Norman pun mulai menerawang pada satu kenangan manis yang ia peroleh kemarin malam. Kisah itu, sempat pula ia ceritakan kepada Hamsad, teman baiknya satu kampus dan Hamsad sempat tergiur oleh cerita tentang Kismi.

http://www.mediafire.com/file/80gokpv1zts01yf/Misteri_Gadis_Tengah_Malam.rar

Download

Harlequin - Marriage Of Sale

"Ah, lupakanlah,” kata Linc sambil membelai Rachel lembut. ”Itu tidak penting,”

Tapi Rachel tidak bisa berhenti berpikir. "Tunggu dulu. Apa yang tidak penting?” Rachel mendorong tangan Linc lalu duduk. Kedua tangannya menutupi pipinya yang memerah. "Ya ampun. Oh Linc. Aku tidak mau harus mengatakannya dengan cara ini. Seharusnya aku bilang sejak awal, tapi aku begitu terhanyut, aku betul-betul lupa. Seharusnya aku bilang waktu pertama kali aku dan Linda ke klinik, tapi aku malu dan tidak yakin pada Keputusanku—"

"Wow, Sayang. Pelan-pelan. Aku tidak mengali apa yang kaubicarakan."

"Aku bicara tentang apa yang ada di dalam bungkusan kecil itu," bisik Rachel.

"Itu alat KB."

"Kau tahu tentang alat KB?” sekarang Linc yang kaget.

"Ya. Aku dan Linda pergi ke klinik. Dia perlu diperiksa dan dia pikir aku juga perlu Dokter bertanya apa aku sudah menikah, dan saat aku bilang ya, dia menunjukkan macam-macam alat KB. Aku pilih pil.”

"Kau pilih pil?”

"Oh, sayang. Seharusnya aku berkonsultasi dulu denganmu."

"Jadi kau minum pil KB. begitu maksudmu?”

"Sudah lebih dari sebulan. Linda membawaku ke klinik minggu pertama aku di sini."

Linc mencium Rachel dan menggosok hidungnya dengan penuh kasih.

"Rachel, tiap hari kau membuatku makin kagum. Kau tahu itu?”
"Kau yang membuatku kagum, Linc.”
"Ah, lupakanlah,” kata Linc sambil membelai Rachel lembut. ”Itu tidak penting,”

Tapi Rachel tidak bisa berhenti berpikir. "Tunggu dulu. Apa yang tidak penting?” Rachel mendorong tangan Linc lalu duduk. Kedua tangannya menutupi pipinya yang memerah. "Ya ampun. Oh Linc. Aku tidak mau harus mengatakannya dengan cara ini. Seharusnya aku bilang sejak awal, tapi aku begitu terhanyut, aku betul-betul lupa. Seharusnya aku bilang waktu pertama kali aku dan Linda ke klinik, tapi aku malu dan tidak yakin pada Keputusanku—"

"Wow, Sayang. Pelan-pelan. Aku tidak mengali apa yang kaubicarakan."

"Aku bicara tentang apa yang ada di dalam bungkusan kecil itu," bisik Rachel.

"Itu alat KB."

"Kau tahu tentang alat KB?” sekarang Linc yang kaget.

"Ya. Aku dan Linda pergi ke klinik. Dia perlu diperiksa dan dia pikir aku juga perlu Dokter bertanya apa aku sudah menikah, dan saat aku bilang ya, dia menunjukkan macam-macam alat KB. Aku pilih pil.”

"Kau pilih pil?”

"Oh, sayang. Seharusnya aku berkonsultasi dulu denganmu."

"Jadi kau minum pil KB. begitu maksudmu?”

"Sudah lebih dari sebulan. Linda membawaku ke klinik minggu pertama aku di sini."

Linc mencium Rachel dan menggosok hidungnya dengan penuh kasih.

"Rachel, tiap hari kau membuatku makin kagum. Kau tahu itu?”

"Kau yang membuatku kagum, Linc.”

Aroma rumput segar mengingatkan Linc pada hari pertama mereka bertemu. Rasanya sudah begitu lama meski baru beberapa minggu. Linc ingat betapa gugupnya Rachel saat dia memegang tangannya dalam upacara pernikahan mereka yang seperti mimpi.

Hari ini adalah yang sesungguhnya.

Linc berguling ke samping dan berbaring telentang, menyandarkan kepala Rachel di bahunya. Rachel mendesah puas dan Linc juga hampir melakukannya, tapi ingatan tentang percakapan pertama mereka dan janji-janji pernikahan mengusik hati kecilnya. Dia pernah mengatakan pada Rachel bahwa pernikahan mereka pasti akan dibatalkan. Tapi dia juga sudah berjanji untuk melindungi dan menyayanginya seperti layaknya suami pada istrinya. Dialah yang membuat Rachel merasa seperti istrinya. Tidak heran Rachel berharap pernikahan ini akan berjalan terus. Parahnya lagi, Linc masih saja membuat janji-janji. Janji-janji yang diikat dengan ciuman dan percintaan yang dahsyat.

Download

Lupus - Makhluk Manis Dalam Bis

Buku ini menurut Mimin : Bagus... ceritanya simple meski gak mpe klimaks, namanya juga novelet. Lucu, udah pasti.... yang jelas, Mimin Upload sebelum berangkat Jum'atan hehe...

Nukilan Cerita : Tepat jam satu tengah hari bolong mereka selalu tampak asyik menunggu bis jurusan Blok M. Lupus, Aji, Boim, dan Gito. Rada aneh juga, rumah mereka jadi mendadak pada pindah ke Blok M semua.

Selidik punya selidik ternyata mereka itu lagi ngejar cewek. Nggak tau anak sekolah mana. Yang pasti setiap jam satu, wajah manisnya selalu nampak di jendela bis jurusan Blok M. dekat pintu depan. Matanya yang bulat bersinar, rambutnya yang panjang terurai dengan tubuh yang mungil. sempat membuat cowok-cowok kece SMA Merah Putih itu terkagum-kagum.

Mereka melihatnya tiga hari tang lalu. ketika mereka punya rencana mau makan-makan di Blok M, dalam rangka memperingati hari yang paling bersejarah dalam kehidupan Boim, karena dia berhasil memenangkan hadiah porkas setelah sebelas kali ikut. Dan saat itu mereka berempat secara serempak melongo di pintu bis mengagumi makhluk cantik yang duduk dengan manisnya di dekat jendela. kondektur bis yang bawaannya nggak mau sabar, sempat gahar juga. "He, lu pada niat nggak sih naik bis gue? Kok terbengong-bengong begitu?"

Lupus cs yang kaget dibentak begitu, menjawab secara. "Kita lagi berdoa dulu kok biar selamet di jalan."

Dan sejak itu, setiap malam, mereka punya mimpi yang sama. Tentang gadis di dalam bis.

Makanya hari-hari berikutnya, mereka jadi sering kedapatan menunggu bis jurusan Blok M. Setiap ada teman yang nanya, mereka serempak menjawab mau shopping ke Blok M.

"Kok tiap hari shopping-nya?" "Maklumlah namanya juga orang kaya."

Dan sang penanya pun langsung berlalu dengan wajah dongkol.

Bis yang ditunggu datang. dan mereka berempat serempak bangkit dengan semangat. Tak peduli bis tersebut sudah penuh sesak, mereka tetap bela-belain mengejarnya.

"Stop, Bang! Stop!" teriak mereka sambil berlompatan ke dalam bis yang enggan berhenti. Sang kondektur melirik jengkel pada mereka. Bukan apa-apa, makhluk-makhluk ini kalau naik bis pada riburt sekali. Padahal bayarnya cuma gocap. Dia apal betul. Terutama dengan Lupus yang selalu mengulum permen karet. Atau Boim, playboy SMA Merah Putih yang wajahnya gabungan Jaja Miharja dan Benyamin (wah, mentok banget deh!).

Dan seperti ramalan sang kondektur, kala penumpang sudah banyak yang turun, makhlukmakhluk SMA Merah Putih itu mulai menggoda-goda cewek tadi dengan ributnya.

"Hai. Cewek, kenalan dong. Nama saya Boim. Cowok paling kesohor di SMA Merah Putih. Pernah jadi cowok sampul majalah... Bobo. Saya punya motor bebek merah, yang sekarang karena satu dan lain hal- Lagi ngadat nggak bisa dipakai. Mungkin tali kipasnya putus (bego juga si Boim ini, motor mana ada tali kipasnya?). Tapi jangan kuatir. motor saya yang Iainnya banyak kok. Tinggal pilih aja mau pakce yang mana. Setiap hari ganti-ganti. Di samping itu, saya ini bintang film lho. Saya sering nongol di tipi dalam acara..."

"Flora dan Fauna!" celetuk Gito dari belakang.

"Bukan! Aneh tapi Nyata!" Lupus ikutan ngomong, membela Boim.

Boim melotot sewot ke arah Lupus dan Gito yang cekikikan.

"Jangan dengarkan mereka, Cewek manis. Maklum aja, orang top memang banyak yang nyirikin. Tapi saya udah biasa. Nah, mau kan kenalan sama saya?"

Cewek itu tak bereaksi. Cuma senyum dikit.

https://www.mediafire.com/file/fszu3h2huu2g2k0/Lupus%20-%20Makhluk%20Manis%20Dalam%20Bis.rar

Lupus - Tangkap Daku Kau Kujitak!

Komentar Mimin sama Novel ini : Selalu bintang 8 dari 10, sebab novel ini seangkatan sama Mimin eh... maksudnya asyik buat dibaca, gak bikin jenuh dengan alur yang bertele-tele. dan lebih asyiknya lagi, novel ini LUCU!

Sedikit Cuplikannya : Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti lagu lama yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?

Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung menuju bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk minta salinan pe-er.

Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.

Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.

"Kamu mau apa?" sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus.

Lupus kaget dan menoleh.

"Saya..."

"Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?"

"Belum. Saya justru lagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong..." sahut. Lupus sedih.

Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.

"Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... "

"Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?" bantah Poppi ketus. "Alasan apa lagi yang mau kamu katakan sekarang?"

"Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman-teman Iain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... "

"Ini lebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab!" teriak Poppi. "Kamu egois! Pengecut!"

Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stopwatch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.

"Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak usah berdalih macam-macam!" suara Poppi melemah. Lupus kelihatan ragu.

"Saya..."

"Ya, kenapa?" desak Poppi tak sabar.

"Saya nggak tau rumah kamu .... " suara Lupus pelan sekali.

"Apa?" Poppi terbelalak.

"Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu sekali dengan kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat saya untuk pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak tau apa yang harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau saya tak pernah punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjemputmu? Kau mau memaafkan saya? Lain kali, saya Janji..." suara Lupus makin pelan.

Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya. Hanya matanya yang menatap lebih bersahabat.

https://www.mediafire.com/file/3cxvu3qayvznqh1/Lupus%20-%20Tangkap%20Daku%20Kau%20Kujitak.rar

Pendekar Wanita Penjebar Bunga

Yang Tjong Hay telah saksikan itu semua, dia berlompat memburu. Dia ada sangat lincah, gerakannya sangat pesat. Kepandaiannya ilmu enteng tubuh memang istimewa.

Sin Tjoe dapat lihat orang datang, ia memapaki dengan satu tikaman tombak.

"Crok!" demikian satu suara benterokan, dan ujung tombak itu terbabat kutung!

Tanpa menghiraukan tombaknya buntung, Sin Tjoe mengeprak kudanya, supaya binatang itu berlompat maju, guna pergi menyingkir lebih jauh.

"Awas!" teriak Tjong Hay, yang sudah lantas menimpuk dengan ujung tombak lawannya itu.

Sin Tjoe menangkis, tetapi tombak itu terpental ke samping, tepat nancap di pundaknya Tjoei Hong, hingga darahnya si nyonya lantas saja bercucuran keluar.

"Panah!" Tjong Hay berteriak pula, mengasi titahnya.

Ie Sin Tjoe putar tombak buntungnya, untuk mengeprak jatuh setiap anak panah. Dan kudanya, di lain pihak, sambil meringkik keras, sudah berlompat, untuk kabur. Dia dapat lari keras walaupun punggungnya memuat tiga orang. Sama sekali binatang ini tidak menjadi kaget dengan datangnya anak-anak panah.

Tiba-tiba saja San Bin ingat suatu apa dan terus berseru: "Mari kita tolongi si pengurus rumah makan!"

"Lambat sedikit saja, kita semua tidak bakal lolos!" Sin Tjoe bilang.

"Toako, kau perlu lolos terlebih dulu," Tjoei Hong pun bilang.

"Dia telah tolongi kita, apa boleh kita tidak menolongi dia?" tanya San Bin keras.

Justeru itu terdengar teriakan aneh dari Law Tong Soen, kapan San Bin menoleh ke belakang, ia tampak si tongnia Gielimkoen tengah mengangkat tu-buhnya pengurus rumah makan itu, kedua tangan siapa telah tertelikung, setelah mana orang dilemparkan kepada satu perwira berpangkat geetjiang. Habis itu, Tong Soen lari memburu.

Saking gusar dan mendongkol, San Bin berseru keras, hingga ia memuntahkan darah, habis mana ia pingsan, tubuhnya terjatuh ke belakang, syukur Tjoei Hong lantas menyamber untuk dipeluki.Dengan tangannya yang sebelah lagi, nyonya ini mainkan goloknya, untuk melindungi diri. Di waktu begitu, ia melupakan luka di pundaknya.

Kuda putih lari terus, akan membuka jalan di antara serdadu-serdadu tukang panah itu. Di mana kuda sampai, orang lari menyingkir. Maka sebentar kemudian, kuda jempolan ini sudah meninggalkan jauh tentera negeri itu, malah Yang Tjong Hay pun tidak sanggup mengejarnya, hanya ia penasaran dan menya-yangi yang kuda itu dapat lolos. Achirnya ia menjadi seperti nekat, ia siapkan panahnya, dengan mengertak gigi, ia menarik tali panah. Di saat itu, ia bersangsi pula, maka sejenak kemudian, kuda putih itu dan penunggangnya semua telah pergi jauh...

Untuk beberapa lie, kuda itu kabur terus, sampai di jurusan timurnya terdengar suara tambur dan terompet tentera. Ie Sin Tjoe tidak ingin bertemu pula sama tentera negeri, ia tarik les kuda, untuk lari ke arah barat, hingga di lain saat mereka berada di mana tak ada seorang lain jua. Di sini kuda lari di jalanan gunung yang sempit dan berliku-liku.

Sampai di situ, lega hatinya Tjoei Hong, tetapi justeru itu, ia seperti kehabisan semangat, hingga ia rasai tubuhnya lemah, tubuh itu bergoyang- goyang seperti hendak jatuh dari atas kuda.

Sin Tjoe lihat orang lelah, ia lantas memeluk. Ia sekarang melihat tegas darah di pundak nyonya itu, yang masih mengalir. Tidak ayal lagi, ia buka baju si nyonya, untuk di atas kuda juga mengobati lukanya itu.

Sampai di situ, San Bin pun sadar dengan pelahan-lahan. Ia terkejut akan menyaksikan Sin Tjoe tengah mengolah tubuh isterinya. Ia lantas ulur sebelah tangannya, guna merangkul isterinya itu, dengan hawa amarah naik, ia membentak: "Eh, kau bikin apa?"

Sin Tjoe terkejut akan mendapati orang bergusar. Dalam sesaat itu, ia lupa bahwa ia dandan sebagai satu anak muda.

Tjoei Hong tertawa tiba-tiba. Ia kata: "Toako, kau bikin berisik apa? Dia adalah satu nona!"

Ia ingat halnya dulu In Loei, yang telah permainkan padanya, maka itu, setelah pengalamannya itu, ia lantas ketahui Sin Tjoe adalah satu nona.

Sin Tjoe pun tertawa, terus ia kasi turun kopianya, hingga terlihat rambutnya yang bagus.

"Tjioe Tjeetjoe, untuk apa kau bercem- buru?" ia pun menanya sambil tertawa.

San Bin tahu ia ke-cele, ia jengah sendirinya, tetapi lekas ia menghaturkan maaf.

Ketika itu matahari sudah doyong rendah ke barat, manusia dan kuda letih bersama. Sin Tjoe lompat turun dari kudanya, ia membantui suami isteri itu turun. Ia pun lantas periksa lukanya San Bin, Kalau luka Tjoei Hong tidak mengenai urat atau tulang, luka itu tidak berbahaya, tidak demikian dengan tjeetjoe ini, jeriji tangannya Tong Soen membuatnya ia terluka parah. Sin Tjoe lantas kasi ia makan dua butir pil Siauwyang Siauwhoan tan dan menitahkannya dia beristirahat.

Berselang lama juga, San Bin merasakan kesegarannya pulih sedikit. Ingat kepada lukanya, ia jadi sengit. Katanya: "Pernah aku berperang sama tentera Watzu, sampai beratus kali, belum pernah aku terkalahkan sebagai ini. Sakit hati ini mesti aku balas!"

Tjoei Hong hiburkan suami itu.

"Mana gurumu?" ke-mudian San Bin tanya Nona Ie. "Oleh karena kami mendengar kabar pemerintah bermaksud tidak baik terhadapnya, kami sengaja datang untuk menyambut padanya. Apakah dia tidak kurang suatu apa?"

"Soehoe sudah menyingkir sejak siang- siang," sahut Sin Tjoe. "Untukmu ia telah titipkan sepucuk surat."

Nona itu lantas keluarkan surat gurunya itu.

San Bin sambuti surat itu, untuk dibuka dan dibaca, habisnya, ia menghela napas: "Ah! Gurumu melarang aku menuntut balas!"

"Apakah yang Thio Tan Hong tulis?" Tjoei Hong tanya.

"Dia bilang di pesisir timur selatan keamanan tengah terganggu oleh perompak-perompak bangsa kate, jikalau aksinya kawanan perompak itu tidak dicegah, mereka bisa menjadi bencana besar di belakang hari," sahut San Bin. "Karena ini ia menghendaki aku memecah sebahagian tenteraku, guna dipin-dahkan ke Kanglam, untuk bekerja sama kawan sepaham di pesisir timur selatan itu untuk menentang pengaruhnya perompak- perompak bangsa kate itu. Inilah bukan pekerjaan gampang."

"Apakah yang sulit?" Sin Tjoe menanya.

"Pertama-tama kita orang Utara tidak bisa berenang," jawab San Bin. "Kedua kita telah lama bermusuh sama pemerintah, sekarang kita mesti bawa pasukan tentera melintasi tempat-tempat jagaan pemerintah, sulitnya bukan main. Ketiga, dengan begini apa kita bukan seperti juga membantu pemerintah si orang she Tjoe itu?"

"Kau telah belajar si-lat, apakah kau anggap belajar berenang lebih sukar daripada belajar silat itu?" Sin Tjoe tanya.

"Tentu saja belajar silat ada terlebih sukar."

Si nona lantas ter-tawa.

"Kalau begitu, kesu- karanmu yang pertama itu tidak beralasan!" ia berkata. "Siapa pun tak bisa begitu dilahirkan lantas dapat berenang. Orang Utara juga, satu kali dia sampai di Selatan, dia bakal bisa berenang. Kita bisa belajar berperang di air."

"Dan tentang kesulitan tentera kita berangkat ke selatan," Tjoei Hong turut bicara, "untuk bisa melintasi tempat jagaan tentera negeri, baiklah kita atur supaya mereka menyamar sebagai pelbagai golongan penduduk, jalannya pun dengan berpencaran. Kita mesti masuk ke Selatan dengan menyelundup."

San Bin tertawa.

"Kamu berdua mem-bilang begini, aku jadinya tak seperti kamu kaum wanita!" ia kata. "Aku bukannya tidak mengarti maksudnya Thio Tan Hong, bahwa menolongi rakyat dari ancaman bahaya adalah tugas kita.

Memang tidak dapat aku menampik. Aku hanya tidak puas kita keluarkan tenaga untuk pemerintah si orang she Tjoe. Pemerintahlah yang mesti tolong rakyat di Selatan itu. Kalau sekarang kita yang menolongi, habisnya, pemerintah bakal melabrak musna pada kita!"

"Tetapi kau harus ingat, toako, Thio Tan Hong sendiri tidak mengutarakan penasaran seperti kau ini," berkata Tjoei Hong, sang isteri. "Bicara perihal sakit hati, dia sebenarnya lebih mem-benci dan mendendam kepada pemerintah!"

San Bin memang mengarti soal itu.

"Baiklah!" katanya. "Asal kita bisa pulang ke tempat kita, akan aku kerahkan tenteraku..."

https://www.mediafire.com/file/hidl9dhk454hi7l/Pendekar%20Wanita%20Penjebar%20Bunga%20-%20San%20Hoa%20Lie%20Hiap%20%283%20Jilid%29.rar

Dua Musuh Turunan

Pada matanya In Loei, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan. Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun. Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri?

Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercingcang goloknya kaum Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya.

"Adik In," terdengar pula San Bin berkata, "sejak kau meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau"

Suara ini sangat perlahan, manis terdengarnya.

"Banyak terima kasih untuk perhatianmu," katanya, lemah.

Kecewa San Bin melihat orang lesu.

"Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau," berkata pula pemuda she Tjioe itu, "sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baharu satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio Tjong Tjioe sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangannya Thio Tjong Tjioe ke Tionggoan, tidak nanti dia mengandung maksud baik, pasti dia bertujuan untuk mengacau balau Tiongkok, maka itu ayah menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah, loklim tjian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Tjio Eng, dari itu aku sudah lantas cari ketua she Tjio itu. Sayang, ketika aku sampai di rumahnya, Tjio looenghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Tjio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantunya Tjio looenghiong itu. Selagi aku cari Tjio looenghiong, dia sendiri sedang mencari kau. Haha, adik In, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Tjio itu sungguh-sungguh menyintai kau!"

In Loei bersenyum.

"Bagaimana kau lihat Nona Tjio itu?" ia tanya.

"Ilmu silatnya cukup baik," sahut San Bin.

"Yang lainnya lagi?" tanya pula In Loei.

"Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?" San Bin membaliki.

In Loei bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya loklim tjian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung. Tjio Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas.

San Bin tidak tahu apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak. Ia bicara terus.

"Itu hari bersama-sama nona Tjio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming," kata dia. "Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira kira empat puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus    "

"Bagaimana dengan nona Tjio?" tanya In Loei.

San Bin tertawa.

"Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!" katanya. "Terus menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak angkatmu? Ada hubungan apa antara nona Tjio itu dengan aku?"

Di dalam hatinya, In Loei tertawa. Ia ingat hal¬nya sendiri pada malam pengantin, terhadap Tjoei Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin.

San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula: "Oleh karena kita gagal mengejar musuh itu, Tjoei Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikin banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwanya    "

Tanpa merasa, In Loei tertawa.

San Bin berkata pula:    "Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya selaku tanda mata, terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu."

In Loei tertawa.

"Tetapi kali ini adalah kau yang memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang memberikannya!" katanya.

San Bin tercengang, wajahnya segera berubah menjadi merah.

"Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti aku robek mulutmu!" Dan ia ulur tangannya.

In Loei palingkan mukanya, masih ia tertawa.

"Mari kita bicara dari hal urusan yang benar," ia kata kemudian. "Nona Tjio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah Loklim tjian itu?"

"Itu adalah kejadian yang kebetulan saja," jawab San Bin. "Sesudah nona Tjio tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hongthianloei Tjio Eng, ayahnya itu. Tjio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain."

"Bukankah Tjio looenghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?" In Loei tanya.

"Benar! Dia jalan terburu-buru seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta Loklim tjian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata: "Nama Kimtoo Tjeetjoe sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Loklim tjian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau. Siauwtjeetjoe, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Heksek tjhoeng, nanti kita pasang omong dengan asyik    

Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Loklim tjian padaku, terus ia ajak ke empat saudagar itu melanjutkan perjalanannya."

"Oh, demikian duduknya hal"

In Loei berpikir.

"Coba Tjio Eng menanyakannya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she Tjioe ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini    "

"Aku bertemu dengan Tjio looenghiong di dekat tanjakan Bengliangkong," berkata pula San Bin, "tempat itu adalah daerah pengaruhnya Tjeetjoe Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Loklim tjian kepadanya sambil menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh kaum Rimba Hijau.

Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Tjio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In, kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa? Kenapa kau kelihatannya tidak gembira?"

San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu ditegur, dia telah paksakan diri untuk tertawa.

"Sebenarnya aku merasa kurang sehat," ia kata. "Tapi sekarang aku sudah sehat, aku, aku girang sekali."

"Tentang Loklim tjian itu, tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh," San Bin menerangkan pula. "Satu kali panah telah di kirimkan, orang-orang loklim sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!"

In Loei berdiam.

San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya.

https://www.mediafire.com/file/9ddd6se37c7867w/Dua%20Musuh%20Turunan.rar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger