Laporkan Jika Ada Link Mati!

Kolam Darah

“Waktumu sudah habis, Suharyadi. Dan aku paling benci berdebat. Maka, ambillah kerisku ini. Hukum dirimu sendiri karena telah menghujat arwah leluhurmu yang terhormat ini!”

Dengan memegang ujung keris di tangannya, sosok bangsawan di hadapan Suharyadi menyodorkan gagang keris berbentuk kepala ular itu ke arah Suharyadi. Yang seketika bergerak surut ke belakang. Ketakutan. Tetapi sesuatu menghalangi langkahnya. Yakni suara berdesis liar dari arah tungku. Lidah api yang menjilat-jilat hebat seakan berusaha meraih kaki Suharyadi. Mengelak terkejut, Suharyadi kemudian berlari panik menjauhi tungku dan menjauhi sang Juragan Besar.

Sambil menjerit panik, “Tidak. Jangan dekati aku! Jangan ganggu aku! Toloong...!”

Bersama jeritan minta tolongnya, Suharyadi terus berlari dan berlari. Disertai lolongan histerisnya, ”Tolong! Jangan bunuh aku. Tolonglah...! Sumpah mati. Aku tidak bermaksud mengutuk arwahmu! Tolong...! Tidak, aduh tidak! Tolong!”

Tenang dan dingin, sang Juragan Besar bergerak mengikuti.

Disertai senyumannya yang kian mengejek. Meninggalkan ruang tengah vila. Meninggalkan tungku pendiangan yang apinya kembali menyala normal. Dengan sebuah lukisan tua di atasnya. Lukisan sang Juragan Besar, yang kali ini seperti juga sudah seratus tahun waktu berlalu, tampak menatap lembut. Dengan senyuman tipisnya, yang juga lembut namun terkesan misterius. 

Hanya saja, ada yang berbeda.

Yakni sepasang mata lembut itu. Yang tadinya kering sebagaimana halnya lukisan, kini tampak seperti membasah.

Seakan menangisi sesuatu.

Akan tetapi sepasang mata itu dengan sangat cepat dan tiba-tiba langsung mengering sendiri, tidak lagi membasah manakala terdengar suara langkah kaki berlari-lari mendatangi. Disusul munculnya pelayan setia keluarga Suharyadi, yakni Sarijah yang tampak cemas serta suaminya Ardi yang setengah mengantuk karena dipaksa bangun dari tidur yang pulas oleh sang istri.

”Aku yakin suara jeritan itu berasal dari ruangan ini.” Sarijah berkata gugup seraya menyapukan pandang ke seputar ruang duduk yang mereka masuki.

Ikut menyapukan pandang, sang suami bertanya setengah mengantuk, “Lalu, di mana orangnya, Bu?”

“Entahlah.” jawab Sarijah bingung sendiri sebelum kemudian melihat ke lantai atas lalu berbicara yakin. “Mungkin Juragan ada di kamarnya. Dan dia sedang terancam marabahaya.”

“Bahaya apa?”

“Daripada Bapak terus ribut bertanya, lebih baik kita ke atas. Untuk memeriksa.” jawab Sarijah yang langsung bergegas menuju lalu menaiki tangga dengan wajah yang semakin kuatir.

Ardi semula akan membiarkan dan sudah memutuskan untuk kembali tidur saja lagi, ketika secara tak sengaja matanya beradu pandang dengan sepasang mata lainnya. Yang menatap dingin dari atas tungku pendiangan. Mata sang Juragan Besar Anggadireja. Dangan sosoknya yang tampak angker di mata Ardi. Karena sosok pada lukisan tua itu sudah berulangkah ia lihat berkeliaran di dalam kegelapan rumah di mana ia dan istrinya sudah mengabdi selama puluhan tahun. Bahkan pernah di suatu malam, ketika Ardi membuka pintu kamar tidurnya, sosok dalam lukisan itu tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Mengawasi Ardi dangan sorot matanya yang tajam tampak menyala, merah semerah darah. Dan langsung membuat Ardi jatuh pingsan saking terkejut.

Ingatan menakutkan itu seketika membunuh perasaan kantuk Ardi, yang dengan cepat berlari menuju tangga untuk menyusul istrinya. Naik ke lantai atas. Sebuah kelalaian atau kesalahan kecil yang tak seharusnya dilakukan oleh Ardi. Mestinya ia tidak menunggu, tidak pula latah naik ke lantai atas. Ardi mestinya mencari ke luar rumah. Setidak-tidaknya langsung pergi ke halaman.

Pada saat yang sama, di halaman majikan mereka terpeleset lalu jatuh tersungkur di tanah becek bekas hujan siang harinya. Dan begitu Suharyadi merayap bangkit dengan tangan menggapai-gapai untuk mencari kacamata minusnya yang ikut terlempar jatuh, terdengarlah suara berderak lunak di telinganya. Suara kaca pecah terinjak. Dan kaki yang menginjak kacamata minus Suharyadi itu adalah kaki yang setengah tertutup oleh jubah panjang, jubah bangsawan tempo dulu!
Terkesima.

Suharyadi mengangkat muka. Di bawah sinar rembulan, tampaklah sang juragan Besar sudah berdiri tegak mengawasi dirinya, disertai senyuman mengejek. Dan bisikannya yang tajam menusuk, “Darahmu, Suharyadi. Jangan biarkan aku menunggu...”

Lalu tangan sang bangsawan bergerak sangat cepat. Dan sebilah keris berlekuk dengan gagang kepala ular miliknya tahu-tahu sudah tertancap pada tanah di hadapan Suharyadi. Diikuti perintah yang tak ingin dibantah, ”Lakukanlah sekarang juga.”

”Apa...?” tanya Suharyadi, menggagap. ”Apa yang harus kulakukan, Abah?”

”Kau pasti tahu apa maksudku.”

Menatap tengadah ke wajah sang sosok di hadapannya, Suharyadi kemudian merasakan hawa sejuk dingin bagai merembes masuk ke sekujur pembuluh darahnya. Mengalir sampai ke urat-urat saraf dan terus merambat ke dalam sel-sel otaknya. Otak yang menuntut suatu kepatuhan. Untuk menebus dosa-dosanya. Dosa telah menyetubuhi Ningrum di depan tungku pendiangan. Di hadapan mata sang kakek.

Bagai terhipnotis, tangan Suharyadi terulur bergemetar ke depan untuk meraih lalu mencabut keris yang tertancap di tanah. Masih terhipnotis, Suharyadi kemudian berlutut pasrah. Siap menebus dosa.

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger