Laporkan Jika Ada Link Mati!

Penghuni Hutan Parigi

Novel ini menurut Mimin : Bagus! Karena jujur aja, Mimin mah penyuka novel-novel horor gini. Bacanya agak merinding disco gimana gitu hehe....

Oh ya, karna cover aslinya gak ada yang bagus (internet udah diubek-ubek), jadi mimin pake cover bikinan mimin sendiri. jadi, ya gitu deh...

Sinopsis 

 Suara mendengus bercampur bunyi menggeram itu datang dari sebelah kiri jalan. Keping-keing rembulan yang bertemperasan dari sela-sela pepohonan menerangi secara samar-samar sesosok tubuh setinggi pinggangku. berkaki pendek dengan tangan-tangan yang panjang tergantung di kedua sisi tubuhnya. Aku yakin warna bulunya kelabu sedikit kehitaman, tetapi warna mata itu hijau kemerahan! Kera apa ini? Dan mengapa pemilik warung tadi menyuruhku berhati-hati terhadap binatang jenis yang sebenarnya tak patut saling bermusuhan dengan manusia ini?

Werrrr! Weeerrrrrr......

Aku menoleh ke kanan dengan cepat. Makhluk yang sama muncul dengan langkah-langkah berat dari arah yang berlawanan dengan binatang yang pertama tadi. Yang ini dua ekor dan tingginya hampir mencapai bahuku. Ketiga makhluk itu bergerak dari kiri kanan yang satu berpindah ke depan. Jalanku ditutup. Benar. Ditutup untuk maju.

Werrrr!.....

Keterkejutanku segera lenyap, diganti oleh naluri ingin membela diri.

Pelan-pelan sebelah tanganku menyentuh tali-tali ransel, bermaksud melepas ikatannya. Ransel berisi pakaian dan sedikit oleh-oleh itu cukup berat dan kalau diayunkan bisa berubah jadi gada bertenaga kuda. Tetapi aku segera sadar, gerakan itu terhalang oleh kotak korek api yang tergenggam di tangan yang sama. Korek api! Dan tangan kiriku yang menggenggam bambu berlampu damar. Alangkah bodohnya!

“Yeeeeeaaaaaa!” aku menghentak

Ketika makhluk itu tertegur.

“Yea! Mundur! Mundur! Mundur!” aku bergerak

Tiga pasang mata berwama hijau kemerahan, seperti saling pandang. Serentak. Serentak pula ketiganya maju seperti aku, disertai bunyi dengus bercampur geraman-geraman aneh itu. Bentakan saja ternyata tidak akan berguna. Secepat aku bisa, beberapa batang korek api sekaligus kuhidupkan, lantas kudekatkan ke arah damar. Makhluk yang paling kecil, menerjang ke depan. Aku mengelak dan korek api mati. Cepat kuhidupkan lagi sementara dua makhluk yang lain kini hanya berjarak tak sampai dua meter dari tubuhku. Si kecil tadi menggeram ganas dan siap untuk menerjang kembali mengulangi kegagalannya tadi. Tetapi Lampu damar telah menyala. Terang-benderang, dengan suara api bersiur-siur garang waktu kugoyangkan ke kiri dan ke kanan berulang-ulang.

Benar. Makhluk-makhluk itu adalah kera-kera berbulu kelabu kehitam-hitaman, bermata hijau kemerah-merahan yang segera mengeluarkan suara “ngggik, ngiiiiiik, ngiiiiiiiiikk “ berusaha menghindari sinar lampu dengan menutupkan lengan-lengan berbulu mereka ke depan muka.

“Mundur!” aku berteriak lagi, seraya menerjang ke depan. Lampu damar tertuju pada kera yang tengah dan yang terbesar. Ia menggeram setengah menjerit dengan suara aneh, kemudian berlari tunggang langgang menerobos rimbunan semak-semak. Dua ekor kera lainnya mengikuti gerakan kera yang pertama. Semak belukar bertemperasan menimbulkan suara berisik, kian lama kian menjauh, kemudian sepi mencengkam. Tinggal desah nafasku yang tersengal-sengal dan denyut jantungku yang berdentum-dentum.

Ketika itulah terdengar suara yang sayup-sayup sampai.

Lalu kelap-kelip cahaya yang timbul tenggelam.

Lampu damar kuacungkan. Tinggi di udara.

Dan aku bernafas lega. Ternyata aku berada tak jauh dari mulut desa. Jalan di depanku berakhir di sebuah lapangan yang dikelilingi rumah-rumah penduduk Cibeureum.

DENGAN obor di tangan tiga orang laki-laki berlari-lari mendatangi. Lampu damar kuacungkan tinggi-tinggi di udara dengan mata liar memandang ke kiri dan ke kanan. Namun sampai ketiga orang itu sudah merubungiku, makhluk-makhluk tadi tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Semak belukar di pinggir jalan tampak tenang dan diam. Pepohonan yang besar-besar dan tinggi, berdiri kukuh tanpa kesan apapun. Seolah-olah tidak ingin dijadikan saksi atas kejadian yang membuat jantungku masih berdegup kencang itu

“Ada apa?” salah seorang yang mengenakan ikat kepala, bertaya seraya memandangi sekujur tubuhku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki lalu berhenti lama sekali di wajahku.

Aku menghela nafas. Lega. telah menemukan manusia lagi di sekitarku setelah perjalanan yan rasanya teramat panjang dan teramat menegangkan itu. Tiga ekor kera, dua di antaranya memang besar-besar, kukira bukan cerita yang bisa menarik simpati untuk disampaikan pada orang-orang itu. Oleh karenanya, seraya membetulkan letak tali ransel yang agak longgar tersabet kera yang kecil tadi, aku menyahut dengan suara ditenang-tenangkan.

“Ah... Engga apa-apa. Ini desa Cibeureum?”

“Ya Ada apa tadi? Saudara berteriak-teriak mengejutkan kami yang lagi piket jaga di pos”

“Oh... jadi kalian ronda malam. Maafkan atas kelancanganku. Tadi aku cuma kaget saja”

“Kaget?’

“Heem” dan aku cepat mencari sebab. “Aku terperosok. Lalu jatuh”

“Dan damar ini?” yang berikat kepala menuding bambu yang kupegang, berkibar-kibar kian kemari. Saudara menghindari sesuatu?”

Aku tertawa. Menjawab: “Tepatnya mencari sesuatu. Ransel ini lepas talinya. Dan, ah. Saya lelah sekali. Boleh aku meneruskan perjalanan?”

Orang itu menghindar dari depanku.

Aku menganggukkan kepala kemudian berjalan melampaui mereka. Yang seorang sempat kudengar berbisik:

“Dung, mungkin dia yang disebut-sebut Ningrum”

Aku cepat membalik. Menatap wajah pembicara itu. Seorang laki-laki muda, berusia sekitar dua puluh tahun, wajah kelimis, rambut tersisir rapih dan kain sarung dibelitkan pada pinggang. Ia agak terkesiap waktu kupandang dan kemudian menjadi biasa kembali setelah kulemparkan seulas senyum kepadanya.

“Aku memang mau ke rumahnya. Yang mana kira-kira ya?” kugerakkan dagu ke arah kampung.

“Mari kami antarkan” sambut lelaki berikat kepala.

Kami kemudian berjalan beriring-iringan masuk kampung. Yang tadi kukira rumah tempat ketiga laki-laki ini keluar, ternyata sebuah pos hansip berlantai tanah. Dari dalam asap putih bertemperasan keluar dari lubang hidungku mencium bau ubi bakar. Ketegangan di tubuh tiba-tiba berganti dengan perasaan lapar yang melilit perut. Ah, sabarlah. Ningrum toh telah menanti dengan santapan malam yang lezat di rumahnya. Kalau perlu akan kuminta ia menyediakan tempat perapian dimana aku jugs bisa memanggang ubi sambil berpelukan dikedinginan malam. Hehhh... terasa kudukku bergetar.

Setelah melewati beberapa buah rumah yang gelap, sepi dan diam dikeheningan malam dengan lampu damar yang berkelap-kelip tertiup angin pada mulut pagar, kami kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang termasuk agak besar dibandingkan dengan yang telah kami lalui. Halamannya luas, penuh ditanami ketela, beberapa pohon buah-buahan, sebuah kebun bunga tampak berseri dalam taman rembulan empat belas hari di samping rumah, Ia! teras berlantai tegel warna kuning dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota. Jadi, aku tak akan menyesal telah jatuh cinta pada seorang gadis yang berasal dari sebuah kampung terpencil dan untuk sampai ke rumahnya, harus melalui perjuangan yang tak kepalang. Diserang ketiga ekor kera itu misalnya. Tiba-tiba kudukku bergidik. Teringat warna mata yang hijau kemerah-merahan dalam jilatan rembulan!

“Nah, Oom” suara salah seorang pengiringku dengan nada yang agak janggal. “Kami tak diperlukan Lagi, bukan?”

Aku mengucapkan terimakasih, memperhatikan ketiganya berjalan keluar pagar. Disana, mereka berhenti, memutar tubuh memperhatikan. Aku mengangguk lagi dan mereka kemudian pergi. Tiga orang laki-laki dalam kesamaran malam di bawah jilatan rembulan, tampak kelabu kehitaman. Dan aku teringat lagi pada ketiga ekor kera yang menyerangku di mulut kampung. Selain babi hutan, kera merupakan binatang yang peru dijauhi menurut keterangan pemilik warung di pinggir jalan besar tadi. Aku telah mengalami kebenaran ucapannya, mensyukuri manfaat lampu damar yang tadinya kuremehkan, kemudian mengetuk pintu setelah lebih dulu meletakkan bambu berlampu damar di pojok teras.

Sepi di dalam.

Download

https://www.mediafire.com/file/nu71a1s3ep2j2re/Penghuni%20Hutan%20Parigi.rar
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger