Laporkan Jika Ada Link Mati!

Dua Musuh Turunan

Pada matanya In Loei, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan. Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun. Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri?

Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercingcang goloknya kaum Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya.

"Adik In," terdengar pula San Bin berkata, "sejak kau meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau"

Suara ini sangat perlahan, manis terdengarnya.

"Banyak terima kasih untuk perhatianmu," katanya, lemah.

Kecewa San Bin melihat orang lesu.

"Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau," berkata pula pemuda she Tjioe itu, "sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baharu satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio Tjong Tjioe sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangannya Thio Tjong Tjioe ke Tionggoan, tidak nanti dia mengandung maksud baik, pasti dia bertujuan untuk mengacau balau Tiongkok, maka itu ayah menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah, loklim tjian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Tjio Eng, dari itu aku sudah lantas cari ketua she Tjio itu. Sayang, ketika aku sampai di rumahnya, Tjio looenghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Tjio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantunya Tjio looenghiong itu. Selagi aku cari Tjio looenghiong, dia sendiri sedang mencari kau. Haha, adik In, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Tjio itu sungguh-sungguh menyintai kau!"

In Loei bersenyum.

"Bagaimana kau lihat Nona Tjio itu?" ia tanya.

"Ilmu silatnya cukup baik," sahut San Bin.

"Yang lainnya lagi?" tanya pula In Loei.

"Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?" San Bin membaliki.

In Loei bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya loklim tjian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung. Tjio Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas.

San Bin tidak tahu apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak. Ia bicara terus.

"Itu hari bersama-sama nona Tjio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming," kata dia. "Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira kira empat puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus    "

"Bagaimana dengan nona Tjio?" tanya In Loei.

San Bin tertawa.

"Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!" katanya. "Terus menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak angkatmu? Ada hubungan apa antara nona Tjio itu dengan aku?"

Di dalam hatinya, In Loei tertawa. Ia ingat hal¬nya sendiri pada malam pengantin, terhadap Tjoei Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin.

San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula: "Oleh karena kita gagal mengejar musuh itu, Tjoei Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikin banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwanya    "

Tanpa merasa, In Loei tertawa.

San Bin berkata pula:    "Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya selaku tanda mata, terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu."

In Loei tertawa.

"Tetapi kali ini adalah kau yang memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang memberikannya!" katanya.

San Bin tercengang, wajahnya segera berubah menjadi merah.

"Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti aku robek mulutmu!" Dan ia ulur tangannya.

In Loei palingkan mukanya, masih ia tertawa.

"Mari kita bicara dari hal urusan yang benar," ia kata kemudian. "Nona Tjio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah Loklim tjian itu?"

"Itu adalah kejadian yang kebetulan saja," jawab San Bin. "Sesudah nona Tjio tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hongthianloei Tjio Eng, ayahnya itu. Tjio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain."

"Bukankah Tjio looenghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?" In Loei tanya.

"Benar! Dia jalan terburu-buru seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta Loklim tjian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata: "Nama Kimtoo Tjeetjoe sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Loklim tjian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau. Siauwtjeetjoe, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Heksek tjhoeng, nanti kita pasang omong dengan asyik    

Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Loklim tjian padaku, terus ia ajak ke empat saudagar itu melanjutkan perjalanannya."

"Oh, demikian duduknya hal"

In Loei berpikir.

"Coba Tjio Eng menanyakannya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she Tjioe ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini    "

"Aku bertemu dengan Tjio looenghiong di dekat tanjakan Bengliangkong," berkata pula San Bin, "tempat itu adalah daerah pengaruhnya Tjeetjoe Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Loklim tjian kepadanya sambil menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh kaum Rimba Hijau.

Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Tjio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In, kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa? Kenapa kau kelihatannya tidak gembira?"

San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu ditegur, dia telah paksakan diri untuk tertawa.

"Sebenarnya aku merasa kurang sehat," ia kata. "Tapi sekarang aku sudah sehat, aku, aku girang sekali."

"Tentang Loklim tjian itu, tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh," San Bin menerangkan pula. "Satu kali panah telah di kirimkan, orang-orang loklim sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!"

In Loei berdiam.

San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya.

https://www.mediafire.com/file/9ddd6se37c7867w/Dua%20Musuh%20Turunan.rar

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger