Laporkan Jika Ada Link Mati!

Asap Itu Masih Mengepul

Rasa-rasanya dia jujur. Yang dituturkannya bukan cerita rekaan. Menurut data dia dilahirkan pada tahun 1959 sedangkan pemberontakan PKI terjadi tahun 1965, Jadi ceritanya masuk akal juga.

Bagaimanapun dia kuminta mengganti nama orangtua yang tertera dalam biodatanya.

Masalah yang menyangkut diri guru itu menjadi rumit dan berlarut-larut diawali dengan datangnya surat kaleng yang kuterima dari seseorang yang menamakan dirinya “wakil masyarakat desa Kalijambe. Dalam surat itu dipersoalkan mengapa seorang anak gembong PKI dapat diangkat menjadi pegawai negeri dan bahkan menjadi guru yang mengajar Pancasila. Andaikata surat kaleng tersebut tanpa disertai tembusan ke instansi lain, antara lain ke Kandep Dikbud, sebenarnya aku tidak perlu melayaninya. Akan tetapi, karena ada tembusan, aku terpaksa melapor ke kandep. Kebetulan waktu aku datang melapor di ruang kerja kakandep ada tamu pengawas. Kepada kedua pejabat itu aku menceritakan secara kronologis kejadian-kejadian yang menyangkut diri anak buahku itu. Ternyata kedua pejabat itu sependapat bahwa kehadiran guru anak tokoh PKI itu telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Karenanya aku diminta membuat laporan tertulis kepada kakanwil, tembusannya dikirim ke kandep. Tentu saja permintaan itu kupenuhi.

Sehari kemudian pengawas datang ke sekolahku. Di buku pembinaan dia menulis catatan, “Sambil menunggu kebijaksanaan kakanwil, Saudara dibebaskan dari tugas mengajar, bisa membantu kegiatan perpustakaan,” Kepadaku Pak Pengawas bercerita bahwa pada masa Orla di kabupaten ini ada dua Ramli yang tergolong PKI kelas kakap. Satu Ramli BTI dan yang lain Ramli PGRI-NV, Ayah anak buahku adalah Ramli BTI.

Sejak kedatangan pengawas ke sekolahku, guru tersebut tidak kuberi jam mengajar. Dia tidak memprotes, patuh saja pada perintahku. Sebagai kepala sekolah aku merasa harus lapor kepada kepala bidang di kanwil. Aneh, atasanku di bidang teknis-edukatif itu tidak sependapat dengan pengawas.

“Yang berdosa terhadap Bangsa dan Negara adalah ayahnya, bukan dia. Mengapa dia harus menanggung dosa ayahnya? Tidak ada dosa keturunan!”

“Akan tetapi, Bapak Kakandep dan Pengawas menilai kehadirannya di sekolah saya tidak diterima oleh masyarakat, menimbulkan keresahan dan kerawanan,”

“Kehendak masyarakat tidak selamanya harus kita turuti,” kata kepala bidang lagi, “Api keributan sudah lama padam. Asapnya sempat melambung tinggi, tetapi asap itu jangan dibiarkan mengepul terus.”

“Kalau begitu saya mohon Bapak sudi membantu saya.”

“Membantu bagaimana?”

“Buatlah sekadar memo yang menyatakan Bapak mengizinkan dia mengajar kembali,” kataku.

Atasanku itu diam. Sesudah berpikir sejenak dia berkata, “Coba temui Bapak Kabag Kepegawaian, Beliau adalah ketua tim skrining,”

Kembali terjadi kejutan. Ketua tim skrining itu ternyata terheran-heran mendengar laporanku. Dia merasa kebobolan, ada anak tokoh PKI bisa diangkat menjadi guru mata pelajaran Pancasila.

“Jelas tidak boleh. Coba Saudara bayangkan, bagaimana dia bisa berbicara tentang pemberontakan G30S. Lidahnya mesti kaku. Kelu. Karena itu, orang semacam itu harus dikantorkan.” kata pejabat itu, “Pulang sajalah, Saudara. Tunggu sampai kami mengambil ke putusan. Untuk sementara dia tidak boleh mengajar.”

Dengan demikian, kepergianku ke Semarang tidak mengubah nasibnya. Anak buahku itu tampak sangat kecewa, Soalnya dia sudah sangat tidak betah jadi petugas perpustakaan.

“Anak-anak sinis terhadap saya, Pak,” katanya pada suatu kesempatan, “Malah sebagian di antara mereka ada yang terang-terangan mengejek saya. Martabat saya di perpustakaan lebih rendah daripada pesuruh. Omongan saya sama sekali tidak mereka hargai.”

Pada kesempatan lain dia menuturkan ketidak enakannya sebagai guru yang dilarang mengajar. “Yang dirugikan bukan cuma saya pribadi,” katanya, “Adik perempuan saya ikut merasakan getahnya. Beberapa waktu yang lalu sudah ada pemuda yang mendekatinya, mau resmi melamar. Begitu mendengar saya dinonaktifkan sebagai guru, pemuda itu mundur. Luka lama kambuh kembali. Masalah ayah sedikit demi sedikit mulai dilupakan orang, tetapi begitu saya terkena hukuman, orang pun kembali membicarakan masa lalu ayah. Saya mohon Bapak bisa merasakan penderitaan kami.”
Aku tidak bisa banyak bicara. Paling-paling menasihatinya agar bersabar dan jangan mudah berputus asa.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa kerjanya sebagai petugas perpustakaan makin hari makin jelek. Aku prihatin sekali sebab pada dasarnya dia memiliki rasa tanggung jawab besar. Kembali aku melapor kepada kepala bidang di Semarang, “Beri dia tugas mengajar, selain Pancasila.” begitu bunyi memo yang kubawa pulang. Keputusan itu membuat hatinya agak lega. Dia kuberi tugas mengajar Tatanegara, mata pelajaran yang juga dikuasainya.

Asap Mengepul
Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger