Laporkan Jika Ada Link Mati!

Bidadari Tajir

"SI Faisal itu brengsek banget!"

Risma, Tiwi, dan Ine langsung terkejut men¬dengar suara menggelegar Kikan.

"Sebulan lalu, playboy cap kadal itu mendekati Izza. Lalu dalam tempo dua minggu, dia berhasil membujuk Izza jadi pacarnya. Sampai-sampai, Izza diomongin teman-teman di Rohis. Masa pakai jilbab pacaran? Akhirnya, Izza buka jilbabnya demi Faisal. Dan, kemarin... Faisal memutuskan hubungannya dengan Izza, terus menggaet anak baru di kelas satu," Kikan terus nyerocos seperti presenter tayangan gosip di teve.

"Salah Izza juga. Lagian, mau-maunya diajak pacaran sama Faisal yang reputasinya udah jelek," komentar Tiwi yang kenal betul sosok Izza. Dulu pun, Izza pake Jilbab karena ingin mendekati Kodrat, anak Rohis.

Risma dan Ine nggak mau menanggapi. Bisa bisa, waktu istirahat mereka dihabisin buat ngegosip. Padahal, mereka lagi asyik menikmati mi ayam Bu Roso. Rugi banget dan nggak penting, pikir Risma.

"Elo kok, diem aja, Ris? Sebagai cewek yang pa¬ke jilbab juga, mestinya ikut marah, dong!" usik Kikan dengan mulut monyong mirip ikan mujaer ke luar kolam.

"Nggak, ah! Nanti, dikira aku naksir Faisal kalo ikut campur urusan mereka," timpal Risma sambil tetep mengaduk-aduk mi di mangkuk.

Jawaban yang menohok Kikan. Ya, selama ini, mereka tau kalo diam-diam Kikan naksir Faisal. Semua gerak-gerik Faisal selalu diikuti Kikan.

"Ceritanya nyindir gue, nih?" tanya Kikan.

"Nggak. Aku nggak bermaksud nyindir kamu, kok!"

Tiwi dan Ine tertawa.

Kikan melengos kesal. Lalu, dia nyari meja lainnya yang tertarik ngegosipin Faisal. Mungkin, kepalanya bisa langsung ketombean kalo nggak nyebarin gosip terhangat setiap pagi.

"Dasar biang gosip!" umpat Tiwi.

"Sebenarnya, aku kasihan juga sama Izza," timpal Risma. "Dari kemaren, dia seperti minder. Nggak mau ke luar kelas. Dan, kayaknya dia malu kalo ketemu aku atau teman-teman lain yang pake jilbab."

Tiwi mencibir. "Aku pernah nasihatin Izza, tapi dia kepala batu. Mestinya, dia siap dengan risikonya sekarang ini," katanya tegas.

Begitulah Tiwi-dengan tinggi badan 165 senti, berkacamata, rambut sebahu-yang tegas. Di kelompok itu, Tiwi bisa dibilang sebagai pemimpin. Otaknya lumayan encer. Satu-satunya yang dibenci adalah cowok. Hah?! Cewek kok, anticowok?! Jangan-jangan... ssst! Nggak, kok. Mungkin, Tiwi jadi begitu karena waktu kecil, ayahnya menelantarkan ibunya.

Di samping Tiwi, ada Ine yang super pendiam. Jarang ngomong kalo nggak ditanya. Bahkan, banyak yang mengira Ine adalah patung boneka. Dia dengan tinggi badan 160 senti, berambut lurus panjang, dagu khas putri keraton-baru bergabung ketika naik ke kelas dua, gara-gara wali kelas mereka menyuruh Tiwi duduk sebangku dengan Ine. Sebenarnya, penyebab Ine diam mudah ditebak. Logat bicaranya masih dialek Jawa medok. Maklum, Ine memang berdarah keraton Yogya. Lantaran pernah disorakin teman sekelasnya ketika bicara di depan kelas, dia kapok banyak ngomong lagi.

Masih ada Voni, teman sebangku Risma. Hari ini, dia-dengan tinggi badan 170 senti, tampang Indo, model rambut gonta-ganti potongan dan warna-nggak masuk karena katanya ada jadwal syuting mendadak di pagi hari. Tentu aja, kabar yang sampai ke wali kelas bukan itu. Tapi ... kabar Voni mendadak demam!

"Eh, tuh si Dodo nyamperin ke sini!" tunjuk Tiwi sambil menggeser duduknya.

Cowok yang dipanggil Dodo itu aslinya bernama Didi Rahadi. Cuma, karena bentuk tubuhnya menyerupai huruf "O", orang    lebih suka memanggilnya Dodo. Fakta sebenarnya, dia nggak gemuk-gemuk amat, sih. Terutama, kalo berada di kumpulan atlet sumo Jepang!

"Lidah sehat, Do?" sapa Risma.

"Lumayan. Ternyata, kemaren tuh cuma gejala typhus," timpal Dodo sambil duduk di samping Tiwi. Bangku yang didudukinya langsung menjerit mengeluarkan bunyi "kriek". "Lumayan, deh, jadi turun dua ons nih, badan."


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger