Laporkan Jika Ada Link Mati!

Death Du Jour

Kalaupun mayat itu ada di situ, aku tidak bias menemukannya.

Di luar, angin menderu-deru. Di dalam gereja tua, yang terdengar hanyalah gesekan sekop, dengungan generator jinjing, serta pemanas yang bergema dengan menyeramkan di ruangan yang amat luas itu. Tinggi di atas, dahan pohon menggaruk-garuk jendela berkusen, jari- jemarinya mencakari dinding kayu lapis.

Kerumunan orang berdiri dekat di belakangku, bergerombol, tetapi tidak menyentuh, tangan mengepal dalam saku masing-masing. Aku bisa mendengar pergerakan dari sisi yang satu ke sisi yang lain, satu kaki diangkat kemudian kaki yang satunya lagi. Sepatu lars menimbulkan suara menggerus di tanah yang beku. Tidak ada yang berbicara. Rasa dingin telah membius kami dalam kesunyian.

Kuamati segumpal tanah menghilang melalui ayakan berlubang halus saat aku menebarkannya dengan lembut menggunakan sekop. Butiran tanah di lapisan bawah merupakan kejutan yang menyenangkan. Mengingat per-mukaannya, aku menduga akan menemukan lapisan tanah yang membeku selama peng galian ini. Namun, dua minggu terakhir di Quebec ini, tidak seperti biasanya, cuaca cukup hangat sehingga salju meleleh dan tanah melunak. Ciri khas keberuntungan Tempe. Walaupun te- tesan musim semi telah terusir oleh badai salju arktik, cuaca yang hangat itu telah membuat tanah menjadi lunak dan mudah digali. Bagus. Tadi malam suhu menukik sampai -14 derajat Celcius. Tidak bagus. Walaupun tanah tidak membeku kembali, cuaca terasa sangat dingin menusuk tulang. Jari-jemariku begitu kedinginan sehingga aku hampir tidak bisa mem bengkokkannya.

Kami sedang menggali lapisan tanah yang kedua. Namun, masih belum ditemukan apa-apa, kecuali kerikil dan serpihan batu yang menumpuk di ayakan. Aku tidak berharap menemukan apa-apa di kedalaman seperti ini, tapi bisa saja keliru. Selama ini aku belum pernah mengalami penggalian mayat yang berjalan sesuai dengan rencana.

Aku berbalik menghadap seorang lelaki yang mengenakan jaket panjang hitam dan sebuah topi rajut. Dia memakai sepatu lars dari kulit yang bertali sampai ke lututnya, sepasang kaus kaki yang melipat keluar dari puncak sepatu itu. Wajahnya merah seperti sup tomat.

"Hanya beberapa sentimeter lagi." Aku memberikan tanda dengan menelungkupkan tanganku, seperti mengelus seekor kucing. Pelan-pelan. Dengan perlahan-lahan.

Lelaki itu mengangguk. Kemudian, dia menancapkan sekop bergagang panjang ke lapisan tanah yang kedua, melenguh keras seperti Monica Seles, pemain tenis AS terkenal, ketika melakukan serve pertamanya.

"Par pounces!" teriakku sambil menyambar sekop. Be-berapa sentimeter lagi! Kuulangi gerakan meng iris yang telah kutunjukkan kepadanya sepagian ini. "Galinya jangan terlalu dalam, tipis-tipis saja." Ujarku kembali dengan lambat-lambat dalam bahasa Prancis yang cermat.

Terlihat jelas bahwa lelaki itu tidak mengacuhkan per-mintaanku. Mungkin karena pekerjaan ini sungguh membosankan atau mungkin karena pemikiran bahwa dirinya sedang menggali sebuah kuburan. Lelaki bermuka merah ini hanya ingin melakukannya dengan cepat, kemudian cepat berlalu daritempat ini.

"Ayolah, Guy, coba lagi?" ujar suara lelaki di belakangku.

"Baik, Pastor." Gumamnya.

Guy melanjutkan pekerjaannya, menggelengkan kepala, tetapi mengiris tanah seperti yang tadi kutunjukkan caranya, lalu melemparkannya ke atas ayakan. Kualihkan lirikanku dari gumpalan tanah hitam ke lubang itu, menunggu munculnya tanda-tanda bahwa kami memang sedang menggali sebuah kuburan.

Kami sudah menggali selama berjam-jam dan aku bisa merasakan ketegangan yang mencuat di belakangku. Ayunan tubuh para biarawati semakin gencar. Aku berbalik untuk memberikan ekspresi wajah yang kuharap bisa menenangkan sekelompok wanita ini. Kedua bibirku begitu kaku sehingga aku tidak yakin apakah niatku itu terpan- carkan dengan baik di wajahku.

Enam raut wajah membalas pandanganku, terlihat tirus karena kedinginan dan rasa gelisah. Kepulan asap muncul dan menghilang di depan wajah keenam wanita itu. Enam senyuman ditujukan kepadaku. Aku bisa merasakan mereka sedang giat berdoa.

Sembilan puluh menit kemudian, kami sudah menggali sedalam satu setengah meter. Seperti satu setengah meter yang pertama, lubang ini hanya menghasilkan tanah. Setiap jari kakiku serasa sudah diserang radang dingin dan Guy sudah siap untukmen datangkan mesin pengeruk tanah. Sudah waktunya untuk menelaah situasi ini.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger