Laporkan Jika Ada Link Mati!

Carry Me Down

Kami memarkirkan mobil di gerbang dan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Si tukang kebun berdiri dekat pintu masuk, mengenakan jaket panjang hijau dan sepatu bot Wellington. Kami berjalan menghampirinya dan ia mengawasi kami datang tanpa berkata apa pun hingga kami berdiri beberapa kaki darinya. "Ini adalah tanah pribadi," katanya.

"Ya, tapi putraku ingin melihat ke dalam," kata ibuku. "Bolehkah kami melihat-lihat barang sejenak?"

Si tukang kebun menyeka wajahnya menggunakan punggung tangannya. Selain itu, ia tak bergerak lagi. Ekspresi kosong wajahnya lebih membuatnya tampak seperti tidur daripada terjaga. "Ini tanah pribadi," katanya lagi.

Ibuku tidak membuang-buang waktu. "Putraku sedang sakit parah," katanya. "Hanya sebentar kami melihat ke dalam."

Ia berbohong tapi aku tak bereaksi. Inilah yang disebut sebagai kebohongan putih. Tapi, tetap saja sebuah kebohongan yang dilakukan demi keuntungan seseorang dan menipu orang lain. Mungkin kebohongan putih tidak bekerja dalam cara yang sama karena si pelaku tidak merasa cemas atau kesulitan. Tapi, tetap saja kebohongan putih memiliki konsekuensi sama seperti kebohongan hitam.

"Dan tidak ada lumpur di sepatu kami," aku menambahkan. Si tukang kebun menengok ke arah rumah dan menyeka wajahnya dengan punggung tangannya yang bertato setangkai bunga mawar. Ia meraih kunci di dalam saku bajunya.

"Lagi pula, rumah itu memang perlu udara segar," katanya.

Dalam perjalanan masuk, aku batuk beberapa kali, berpura-pura sakit, dan wajah Ibu merona. Wajahnya lebih merah daripada yang pernah aku lihat. Aku menanti wajahnya kembali pucat dan kemudian aku menggandeng tangannya saat memasuki ruangan-ruangan dalam rumah besar itu. Ruangan di dalamnya gelap dan dingin beraroma seperti Pak Sheen.

Si tukang kebun menceritakan usia perabot yang ada di dalam rumah besar itu. Ibu, yang biasanya tidak mudah bosan, melontarkan pertanyaan-pertanyaan kaku dengan nada tegang.

"Apakah itu tempat lilin Waterford?" ia bertanya.

Ketika kami memasuki dapur di bagian belakang rumah besar tersebut, aku tahu kunjungan kami akan segera berakhir. Maka aku memutuskan untuk memisahkan diri. Aku berbalik ke ruangan depan. Aku melihat sekeliling kemudian berian meniti anak-anak tangga lebar tak berkarpet.

Ketika ibuku memanggilku, aku berdiri merapat ke dinding di lantai satu. "John!" teriaknya. "John!" Kemudian aku mende-ngar ia berbicara dengan si tukang kebun dan kukira si tukang kebun akan naik mengejarku. Aku tak punya banyak waktu. Aku berlari tiga anak tangga lagi dan ketika aku tiba di lantai atas, aku kehabisan napas dan cemas, tapi aku terus maju. Aku membuka pintu- pintu dan menengok ke dalam ruangan-ruangan hingga aku menemukan sebuah ruangan penuh mainan. Aku masuk dan menutup pintu di belakangku.

Terdapat sebuah kuda goyang dan kotak-kotak penuh mainan serta dua buah ranjang ditutupi beruang- beruang Teddy dan boneka-boneka. Di depan perapian tersusun deretan botol susu berisi pasir.

Di atas meja, dekat jendela yang terbuka, terhampar sebuah model kawasan pedesaan lengkap dengan stasiun kereta api, kantor pos, dan toko pangan. Aku berdiri dan melihat pusaran angin kecil berembus dari jendela ke arah toko pangan. Sebuah embusan angin, seperti napas Crito, menyentuh punggung tanganku.

Aku takut seseorang akan melihatku lewat jendela- jendela tinggi tersebut. Aku mengangkat model pedesaan itu dari meja dan membawanya ke sudut di balik sebuah ranjang, merapat ke dinding belakang. Saat aku menurunkan model tersebut ke lantai, alasnya tertekuk dan dua pohon kecil terlepas. Aku menurunkan desa tersebut ke lantai lebih hati-hati dan meletakkan pohon-pohon itu kembali ke tempatnya. Kemudian aku duduk bersilang kaki di atas karpet.

Ada kereta api, deretan toko, orang-orangan plastik, semak-semakan, dan anjing-anjing. Aku meraih gerbong kereta dari relnya dan meletakkannya di luar barisan kereta.

Ini bukan model pedesaan Irlandia. Ini model desa di Prancis; ada sebuah kereta dengan tujuan Pigalle. Aku bermain dengan kereta tersebut beberapa lama. Ada sebuah balkon di bagian bela-kang gerbong. Tempat para penumpang berdiri melihat pemandangan. Aku bertanya- tanya mengapa kereta di tempat kami tidak memiliki balkon.

Sesungguhnya aku ingin mengambil satu model kereta untukku sendiri, tapi aku bahkan tak dapat menyembunyikan sebuah gerbong. Akhirnya aku mengambil si kepala stasiun dan memasukkannya ke dalam saku jaketku. Si kepala stasiun memiliki kumis, mengenakan topi merah berpelindung mata, dan berdiri di alas plastik datar berwarna hijau, seperti alas prajurit-prajurit mainanku.

Ibuku mendaki tangga, memanggil-manggil namaku. Aku mengembalikan model desa ke atas meja dan menuruni tangga menghampirinya.

Ia sendirian.

"Kenapa kau menghilang?"

Aku mengangkat bahu.

"Ayolah," katanya. "Aku tidak ingin si tukang kebun mendapat masalah."

Saat menuruni tangga, aku meraih lengannya. "Terima kasih," bisikku.

"Kau baik-baik saja," katanya.

Download

Share this article :

+ komentar + 1 komentar

19 Maret 2018 pukul 10.20

Link Dead OM,.... Please Reupload ya To Google Drive.
#Syukron.

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger