Laporkan Jika Ada Link Mati!

One For The Money

Kubeli sekaleng soda di Fiorello's dan aku melangkah ke mobil sembari minum. Aku menyelinap di balik kemudi dan, menyerah pada hawa gerah, aku melepas dua kancing blus sutra merahku serta melucuti stoking. Lalu, aku membuka-buka berkas Morelli, pertama menilik foto-foto—beberapa diambil saat penangkapan Morelli, ada pula jepretan jarak jauh dirinya dalam balutan jaket pilot cokelat dan jins, serta sebuah pose formal memakai kemeja dan dasi, jelas dikliping dari dokumen kepolisian. Ia tak banyak berubah. Agak kurusan, mungkin. Tulang wajahnya lebih tegas. Sedikit kerut di mata. Parut tipis luka melintangi alis kanannya, mengakibatkan kelopaknya agak turun. Kesan yang keseluruhan bikin merinding. Mengancam.

Morelli pernah menyalahgunakan kenaifanku, bukan hanya sekali tapi dua kali. Sehabis berbuat di lantai bakeri, ia tak pernah menelepon, tak pernah mengirim kartu pos, bahkan tak mengucapkan selamat tinggal. Dan bagian yang terburuk, aku justru mengharap teleponnya. Mary Lou Molnar benar soal Morelli. Dia memang perayu ulung.

Semua itu tinggal sejarah, kutegaskan pada diriku. Dan rentang 11 tahun belakangan, aku tak melihat laki-laki itu lebih dari dua atau tiga kali, dan itu pun cuma dari jauh.

Morelli hanyalah kenangan dari masa kecilku, dan perasaanku saat masih kanak-kanak tak punya tempat di masa kini. Aku punya tugas yang harus dituntaskan. Jelas dan sederhana. Tak ada maksud membalas luka lama. Menemukan Morelli tak berkaitan dengan dendam. Menemukan Morelli berkaitan dengan uang sewa. Yeah, yang benar saja. Karena inilah perutku tiba-tiba mulas.

Berdasarkan informasi dalam kontrak jaminan, Morelli berdomisili di kompleks apartemen yang berdekataan dengan Route 1. Sepertinya itu tempat terbaik untuk mulai menyidik. Kusangsikan Morelli ada di apartemennya, tapi aku bisa mewawancarai para tetangga dan memeriksa apakah ia mengambil surat-suratnya.

Aku meletakkan berkas itu di samping dan dengan berat hati menyusupkan kaki ke dalam sepatu hitamku yang bertumit tinggi. Kuputar kunci starter. Tak ada respons. Tinjuku menggebrak dasbor dengan kencang dan aku menggeram puas saat mesin menyala.

Sepuluh menit kemudian, kumasuki halaman parkir Morelli. Gedung-gedung bata, bertingkat dua, utiliter. Tiap gedung dilengkapi dua jalur beratap. Delapan apartemen berjejer sepanjang jalur-jalur itu, empat di atas, empat di bawah. Kupadamkan mesin dan memantau nomor-nomor pintu. Morelli menempati apartemen ujung di lantai dasar.

Sejenak aku duduk saja, merasa tolol dan tak becus. Andai Morelli ada di rumah, apa yang harus kulakukan? Mengancam akan mengadu pada ibunya jika dia tak mau ikut dengan sukarela? Laki-laki ini dicari karena membunuh. Banyak yang dia pertaruhkan. Aku tak bisa membayangkan ia mencederaiku, namun ada kemungkinan besar aku bakal mempermalukan diri. Bukannya aku tipe orang yang membiarkan aib kecil menghalangi perangaiku yang membabi-buta saat nyemplung dalam proyek-proyek bodoh... seperti per-nikahanku yang nahas dengan Dickie Orr, si bokong kuda. Memori itu membuatku mengernyit tanpa sadar. Sulit dipercaya aku betul-betul menikahi seorang pria bernama Dickie.

Oke, batinku, lupakan Dickie. Sekarang adalah proyek Morelli. Periksa kotak suratnya, lantas apartemennya. Bila aku beruntung (atau apes, tergantung caramu memandangnya), karena ternyata Morelli membuka pintunya, aku tinggal asal mengarang dusta dan cabut. Setelah itu aku akan menelepon polisi dan biarlah mereka yang menangangi urusan fisik.

Aku melangkah mantap menyeberangi aspal dan dengan cermat meneliti deretan kotak surat yang menjorok dari dinding bata. Seluruhnya disesaki amplop-amplop; milik Morelli-lah yang paling penuh. Aku menyusuri jalur beratap dan mengetuk pintu apartemennya. Tak ada jawaban. Betapa mengejutkan. Aku mengetuk-ulang dan menunggu. Nihil. Kuberjalan mengitari bangunan dan menghitung jendela-jendela. Empat punya Morelli dan empat punya apartemen yang memunggungi miliknya. Morelli telah mengatupkan kerai. Toh aku tetap mendekat, sambil mengendap-endap, berusaha mengintip lewat celah antara pinggir kerai dan tembok. Andai kerainya mendadak tersibak dan seraut wajah nongol, aku pasti ngompol di tempat. Untungnya, kerai itu tidak tersibak, dan sayangnya aku tak berhasil melihat ada apa di baliknya. Kembali ke jalur beratap, dan aku mendatangi tiga apartemen yang lain. Dua pintu tidak disahut. Yang terakhir dihuni oleh wanita uzur yang selama enam tahun tinggal di situ tak pernah melihat Morelli. Jalan buntu.
 
http://www.mediafire.com/download/6qginp1y4xisfuq/One_For_The_Money.rar


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger