Laporkan Jika Ada Link Mati!

Aku Beriman Maka Aku Bertanya

Pada suatu malam di musim panas beberapa tahun silam, aku berjalan-jalan dengan putriku, Jameelah. Tiba-tiba, ia bertanya, "Ayah, bagaimana tanggapanmu seandainya suatu saat aku masuk Kristen?" Ia mengajukan pertanyaan ini dengan nada serius, bukan sekadar berandai-andai meskipun usianya baru sembilan tahun.

Seolah-olah, detak jantungku berhenti seketika itu juga, dan aku hanya bisa berdiri termangu. Dada dan perutku terasa hampa. Benarkah putriku bertanya demikian?-putriku yang tahu bahwa ayahnya kerap memberikan ceramah tentang Islam di universitas- universitas Amerika, yang menemaniku salat saban malam, yang sering sekali berbincang-bincang tentang agama denganku? Aku tak pernah membayangkan bahwa ia mempunyai pikiran semacam itu.

"Seberapa jauh yang kauketahui tentang agama Kristen?" tanyaku kepadanya dengan nada selembut mungkin.

"Aku sekadar ingin tahu apakah Ayah akan marah padaku. Apakah nenek dan kakek memarahi Ayah ketika engkau keluar dari agama Kristen dan kemudian memeluk Islam?"

Ia dengan cerdas coba membandingkan pengalaman¬nya sendiri dengan pengalamanku, dan ini membuatku sedikit tenang

"Nenekmu sangat terpukul, dan kakekmu mengancam akan mengusir Ayah dari rumah," jawabku seraya membayangkan rasa kaget campur khawatir yang memancar di wajah ibuku dan ledakan amarah ayahku yang tak terkendali waktu itu. (Sebagaimana adatnya, ayahku akan mendamprat: "Kaupikir dirimu paling pintar, Jeffrey; baiklah, akan kutunjukkan! Kita lihat seberapa lama kau betah hidup di jalanan! Takkan ada sekolah yang mau menerimamu, Jeffrey! Hiduplah di comberan dengan seluruh khayalanmu itu!")

"Akankah Ayah memarahiku?" tanya Jameelah lagi.

"Marah bukanlah kata yang tepat." Aku coba memilah- milah perasaanku secepatnya. "Tak bisa dimungkiri, Ayah akan luar biasa kecewa, sebab Ayah menemukan teramat banyak kedamaian dan ketenteraman dalam Islam. Ayah pun selalu ingin membaginya dengan kalian anak-anakku. Ada dua hal yang sungguh penting bagiku, yaitu keluarga dan agamaku." Kami terdiam beberapa saat, dan kemudian Jameelah berkata, "Aku tak benar-benar ingin masuk Kristen, Ayah, tetapi kadang kadang aku merasa jauh lebih mudah untuk tidak menjadi seorang muslim."

Alangkah tololnya diriku yang telah menyembunyikan kecemasan ini. Aku tak ingin anak-anakku takut untuk mengemukakan pendapat-pendapat mereka perihal agama. Adalah sulit untuk tumbuh menjadi seorang muslim di Amerika, dan aku merasa perlu untuk mendorong mereka agar mau secara terbuka menuturkan semua masalah mereka kepadaku dengan harapan aku dapat membantu mengurai masalah masalah tersebut. Hanya saja, aku tak pernah menduga kalau putriku akan melontarkan pertanyaan di atas, yang kurasa harus kukaji ulang.

"Jameelah, terlebih dahulu engkau harus mengerti bahwa Ayah senantiasa menyayangimu, apa pun yang terjadi. Ayah menyayangimu sejak kaulahir, sejak perawat menyerahkanmu padaku dan Ayah menimangmu sambil berjalan-jalan di bawah atap rumah sakit yang terus menatapmu itu. Saat itu, seakan akan Ayah berada di sebuah dunia lain-terbang ke langit! Manakala perawat tadi memintaku untuk menyerahkanmu kembali, Ayah tak membolehkannya dan hatiku takkan pernah mengizin¬kannya kau milikku selamanya. Dan setelah dewasa kelak, engkau juga harus melakukan apa yang kau yakini benar. Ayah akan selalu mendampingi, membantu, dan mena- sihatimu, tetapi pada akhirnya engkau sendirilah yang harus memutuskan apa yang kauanggap paling baik, bahkan ketika ayah dan ibumu tak setuju dengan keputusanmu. Aku hanya berharap bahwa engkau mesti menentukan pilihan pilihan dengan penuh pertimbangan yang cerdas dan matang. Tapi omong omong, mengapa kau merasa sangat sulit untuk menjadi seorang muslim?"

Selanjutnya, kami mengayunkan langkah-langkah kaki kami sembari membicarakan hari-hari besar Islam, beberapa syarat ibadah, larangan makan daging babi, dan menurut pendapatku larangan berkencan (berpacaran), meskipun aku tahu bahwa topik-topik ini sebenarnya sama sekali tak mengganggunya. Kurasa ia sekadar ingin mengungkapkan sebuah kegelisahan samar-samar yang umumnya dialami oleh seorang muslim. Selaras dengan kemampuan otaknya pada usia sembilan tahun, kukira ia belum mengerti mengapa dirinya merasa amat terbelenggu oleh agama yang diwarisi dari orangtuanya. Tetapi, pertanyaan Jameelah itu hanyalah bentuk awal dari apa yang kusebut sebagai fase kritik dan protes dalam perkembangan keagamaan anak-anakku. Pada fase ini, mereka akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mengungkapkan keberatan keberatan mereka menyangkut praktik dan kepercayaan Islam.

Apabila mengingat masa-laluku sendiri, aku tentu takkan begitu diresahkan oleh pertanyaan Jameelah tersebut. Aku percaya banyak sekali anak-anak Amerika yang berasal dari keluarga muslim pernah mempunyai perasaan-perasaan serupa. Pertama-tama, mereka lahir dalam sebuah komunitas agama yang dipandang rendah dan ditakuti oleh banyak orang Amerika. Anak-anak tentunya ingin menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar, sementara masyarakat Amerika sendiri bisa jadi sangat terganggu ketika hidup berdampingan dengan sebuah komunitas yang dianggap asing dan hina.

Secara umum, sikap masyarakat Amerika terhadap Islam dan kaum muslim selalu buruk, dan persepsi mereka tentang Islam menjadi sangat miring sejak terjadinya aksi teror pada 11 September 2001. Aku teringat dengan sebuah artikel hasil riset-diterbitkan sebelum 2001-yang menyebutkan bahwa lebih dari sembilan puluh persen gambaran tentang kaum muslim dalam novel-novel dan film-film berbahasa Inggris yang dipublikasikan selama abad ke-20 ternyata bersifat negatif. Berdasarkan apa yang kualami semasa kanak-kanak, aku menduga temuan yang sama juga berlaku untuk media-media hiburan lain semisal televisi dan kartun, mungkin termasuk komik serta, sekarang, video game.

Waktu seorang anak banyak dihabiskan di sekolah, dan di sana siswa-siswa muslim dapat menjumpai sikap fanatik teman-teman mereka yang beragama lain. Anak-anak dapat bersikap amat jahat pada suatu waktu, tetapi yang jauh lebih disayangkan adalah bahwa sebagian guru pun bersikap sama picik dengan sebagian siswanya, dan sebagian guru tersebut memanfaatkan ruang kelas mereka untuk mengajarkan cara pikir mereka yang picik itu. Semenjak aku mulai berbicara tentang Islam di depan publik sekitar delapan belas tahun silam, para orangtua muslim di berbagai tempat di negara ini selalu saja, kepadaku, mengeluhkan guru-guru yang menjelek- jelekkan Islam ketika mengajar anak-anak mereka.

Anak anakku pun menemui pengalaman serupa di sekolah-sekolah mereka. Pada 2004, guru Pendidikan Kewarganegaraan putriku Fattin mengajarkan kepada siswa-siswa kelas tujuh bahwa Islam menganjurkan kekerasan sedangkan Kristen mengajak pada perdamaian. Guru kelas sembilan putriku, Sarah, mengatakan bahwa orang Islam tak tahu terima kasih, sebab menurutnya, "Kita terus memberi mereka bantuan kemanusiaan, sementara mereka malah membalasnya dengan teror." Keluhan lain yang kerap terdengar adalah bahwa pihak sekolah sama sekali tidak menghormati hari-hari besar Islam sekalipun para orangtua muslim telah memberitahu guru dan pengelola sekolah sementara pada saat yang sama siswa-siswa muslim diwajibkan ikut merayakan hari hari besar Tudeo Kristen di sekolah.

Selain dicerca oleh prasangka buruk,anak-anak muslim pun jauh terpinggirkan di masyarakat Amerika karena banyak ajaran agama mereka berbenturan dengan norma-norma sosial yang ada. Seks pranikah telah menjadi ciri budaya kaum muda Amerika yang diterima dan dipuja secara luas, padahal Alquran mengharamkannya dan menggariskan zina sebagai salah satu dosa besar. Banyak orang Amerika telah mulai berkencan sejak masih....

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger