Laporkan Jika Ada Link Mati!

Sebilah Pedang Mustika

Entah berapa lama sudah lewat, mendadak Hian Kie seperti mendusin dari mimpinya yang buruk dan hebat, dia seperti dibawa terbang kudanya berlaksa lie, dia bertempur dahsyat di gunung belukar di malam hari, lalu dia ingat kejadian atas dirinya. Ia menggeraki tubuhnya, untuk berbalik.

"Ha, aku berada di mana?" tanyanya seorang diri. "Mana Siangkoan Thian Ya? Mana Oen Lan? Mana kudaku? Eh, tempat ini tempat apakah?"

Ia terbenam dalam keheranan, matanya mengawasi ke arah jendela. Di sana terasa angin halus mendesir masuk, hidungnya membaui bau yang harum halus, hatinya menjadi lapang. Karena ia merasakan nyaman itu, tiba-tiba ia berbangkit untuk berduduk.

"Hai, mengapa aku telah kembali ke rumahku?" ia berseru seorang diri tanpa ia merasa.

Inilah sungguh di luar dugaan. Ia me- ngucak-ngucak kedua matanya, ia pun menggigit jari tangannya sendiri. Bukan, ia bukan tengah bermimpi! Ia ingat baik sekali bahwa ia telah tiba di gunung Holan San, di kaki gunung, yang terpisah dari rumahnya ribuan lie. Mustahilkah ia telah ketiduran hingga seratus hari? Bahwa tengah pulas orang sudah mengangkatnya, menggotong ia pulang ke rumahnya? Atau, mustahillah di dalam dunia ini ada dewa, yang telah menggunakan ilmunya membikin ciut bumi, hingga dari kaki gunung Holan San ia telah dibawa pulang ke kampung halamannya di Soetjoan Utara?

Tidak, itulah tak dapat terjadi! Toh ia bukannya lagi bermimpi!

Jendela di depannya itu menghadap ke selatan, jendela itu tertutup dengan kaca, di luar jendela berbayang pohon bwee. Semua itu, berikut almari buku di dalam kamarnya ini — ia ingat, adalah kamar tulisnya sendiri...

Ketika itu terdengar tindakan kaki di luar kamar.

Tidak ayal lagi, pemuda ini bergerak untuk turun dari pembaringan.

"Ibu!" ia memanggil keras.

Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa geli, lalu tertampak    seorang    nona menyingkap    layar bertindak masuk. Dialah seorang nona dengan alis lengkung bagaikan bulan sisir, mulutnya kecil mungil seperti buah engtho, dan di sorot matahari pagi itu, mukanya yang potongan telur bersemu dadu cemerlang, hingga    jelaslah kecantikan    dan kesegarannya. Hanya pada wajah itu nampak roman kekanak-kanakkan.

Heran Hian Kie hingga ia berdiri tercengang.

"Bagus!" terdengar si nona membuka mulutnya, memperdengarkan suara yang halus. "Kau telah dapat turun dari pembaringan! Bagaimana? Apakah kau kangen akan rumahmu?"

Kembali Hian Kie tercengang.

"Ah, jadinya ini bukan rumahku?" pikirnya heran.

Nona itu menghampirkan dengan tindakan perlahan sekali hingga terasa hawa mulutnya yang harum wangi. Ia tertawa pula ketika ia berkata lagi: "Aku lihat kau membawa-bawa pedang, kau menunggang seekor kuda jempolan, tetapi kiranya kaulah seorang bocah gedeh, sebab begitu kau sadar kau memanggil ibu!"

Hian Kie heran, ia tak mengambil mumat kata- kata itu.

"Aku mohon bertanya, nona apakah shemu yang mulia ?" tanyanya. "Kenapa aku dapat datang kemari?"

Si nona kembali tertawa.

"Aku justeru hendak menanyakannya kepada mu!" sahutnya. "Kenapa orang telah melukai kau begini hebat? Coba aku tidak menyimpan pel mustajab Siauwyang Siauwhoan tan, aku kuatir kau bakal mesti merawat sedikitnya setengah tahun."

"Terima kasih, nona, terima kasih! Aku mohon bertanya, tempat ini tempat apakah?"

"Inilah rumahku. Adakah kau mencelanya buruk?"

Hian Kie mementang lebar kedua matanya. Ia mengawasi ke sekitarnya.

Di tembok ada tergantung sebuah pigura yang melukiskan panorama di waktu malam di musim rontok di sungai Tiangkang, di sana nampak si Puteri Malam tergantung di atasan sungai, di sungai sendiri terlihat empat atau lima buah kapal perang. Kota pun seperti berlatarkan belakang sungai itu, kotanya besar dan angkar. Di atasan itu ada seruas syair yang memuji keindahan sungai Tiangkang itu.

Di samping pigura itu pula ada tergantung sebatang pedang, mungkin pedang mustika, sebab romannya luar biasa.

Itulah dua rupa benda yang tak ada di dalam kamarnya sendiri.

Maka lagi sekali ia memandang kelilingan.

Perlengkapan kamar ini ada bagiannya yang tak sama dengan kamarnya, hanya itu jendela kaca, pula luarnya jendela di mana ada pohon bwee.

Bagaimana mirip!

Nona itu tertawa mengawasi orang yang ber diam bingung seperti si tolol.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kamar ini indah, mengapa dibuatnya jendela itu?" si anak muda bertanya.

Biasanya dulu-dulu, sebuah rumah besar berjendela kecil dan dipakaikan kaca keluaran Pakkhia dan itu jarang tertampak kecuali di Kanglam. Nona itu heran orang menanyakan jendela. Tapi ia bersenyum manis.

"Itulah perlengkapan yang dibuat ayahku," sahutnya.

Sambil berpegangan pada tembok, Hian Kie menghampirkan jendela itu, perlahan tindakannya.
Ketika itu di luar jendela, bunga bwee tengah mekar, baunya harum.

Tanpa merasa, Hian Kie berkata perlahan: "Membuka jendela menyambut matahari pagi, menggulung layar mencium bau harum, di mana telah berada pekarangan penuh dengan bunga bwee, sudah seharusnya diadakannya jendela ini..."

Mendengar itu, si nona melengak.

"Ah," serunya perlahan, "nyatalah kegemaran- mu sama dengan kegemaran ayahku. Ayah pun membilangnya, lebih banyak jendela dibuka, supaya sinar matahari nembus ke dalam, hingga harum bunga memenuhi kamar, itu membuatnya pikiran orang nyaman dan terbuka."

Hian Kie pun heran.

"Tapi itulah bukan kegemaranku belaka, itu lah..." katanya.

"Bagaimana?" si nona memotong.

"Kamarmu ini tak beda banyak dengan kamar ku," menerangkan si anak muda. "Hanya kamarku itu adalah ibuku yang mengaturnya."

Kelihatan nona itu sangat ketarik hati dan kagum.

"Kau mempunyai ibu seperti ibumu itu, sungguh kau beruntung!"

Hian Kie dan ibunya memang sangat saling menyayangi, maka itu senang ia mendengar pujian...
 
Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger