Laporkan Jika Ada Link Mati!

Dyah Pitaloka : Korban Ambisi Politik Gajahmada

Tujuh tahun sudah ia duduk di singgasana Majapahit Wilwatikta, sejak ia baru berusia 16 warsa, pada tahun 1273 Saka, menggantikan sang bunda, Bhre Kahuripan yang bergelar Maharani Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani. Selama itu Rajasanagara memegang takhta tanpa permaisuri.

Password E-Book ini : 1982

Pada tahun-tahun pertama masa pemerintahannya, boleh jadi ia merasa masih terlalu muda untuk mencari belahan jiwa, sigaraning nyawa. Namun, selewat usia dua puluh warsa, sudah Selayaknya ia memiliki pendamping serasi untuk melewati hari demi hari memerintah negeri ini.

Baik di lingkungan keluarga dekat yang tinggal tak jauh dari istana maupun di keluarga-keluarga di daerah watekbhumi, tak kurang-kuranggnyaa gadis muda nan jelita dipersembahkan untuknya. Namun, tak ada satu pun yang sesuai dengan dambaan hatinya. Juga ketika raja-raja negeri mandarlika menawarkan putri-putri tercantiknya, Rajasanagara hanya menggelengkan kepala. Bahkan, ketika diutus para juru lukis untuk menampilkan lukisan putri-putri dari mancanegara yang paling rupawan, tetap hati Rajasanagara tak tertawan.

Tentu saja, ya.. raja siapa yang tak mau bermenantukan Rajasanagara. Dan wanita mana yang tak sudi bersuamikan Maharaja Wilwatikta.

Apa yang tak ia miliki? Usia yang muda, rupa yang tampan dan otak yang cerdas. Dan tentu saja kekuasaan yang nyaris tak terbatas.

Ia adalah titisan Sang Hyang Wisnu sendiri. Bahkan semenjak lahir, ia mendapat nama Hayam Wuruk, ia sudah langsung menjadi putra mahkota, dan segera dipersiapkan untuk suatu saat kelak menjadi seorang raja. Sungguh beruntung Majapahit tak pernah kekurangan tokoh-tokoh sakti dan mumpuni yang senantiasa sedia mencurahkan tenaga dan menyerahkan jiwa raga demi kejayaan negara. 

Sejak kecil, Hayam Wuruk langsung ditempa jiwa dan raga. Seorang dharmadyaksa paling ternama, bernama Dang Acarya Nadera, memberinya bekal ilmu pengetahuan dan agama Syiwa dan Buddha sekaligus. Diberinya Hayam Wuruk bermacam-macam kitab dari para empu dan pujangga, baik yang disalin dari kitab-kitab lama zaman Kediri hingga Singasari, seperti Bharatayudha, Hariwangsa dan Gatotkacasraya, maupun kitab-kitab baru yang disusun para empu dan pujangga Majapahit sendiri, seperti berbagai kakawin karya Empu Tantular dan juga karya-karya Dang Acarya Nadera sendiri yang kemudian lebih terkenal sebagai Empu Prapanca, seperti Parwasagara dan Bhismasaranantya. Dididiknya sang putra mahkota berbagai ilmu keduniaan, ilmu pemerintahan, dan bahkan ilmu kanuragan.

Dalam hal ilmu kanuragan, tokoh-tokoh sakti baik di lingkungan istana maupun guru-guru dari padepokan terpencil yang terkenal menghasilkan pendekar-pendekar ulung dengan senang hati memberi Hayam Wuruk berbagai bekal jurus dan kesaktian. Bahkan, tak jarang Mahapatih Gajah Mada sendiri menambah bekal ajian yang miliki, termasuk dasar-dasar ilmu yang membuatnya disegani di berbagai laga (Lembu Sekilan) ajian yang membuat tubuh Gajah Mada seperti terbuat dari baja, ajian yang hingga saat itu belum ada tandingannya.

Maka dalam usia yang belia, Hayam Wuruk telah menjelma menjadi pemuda perkasa yang ilmunya sulit dicari padanannya. Dalam usia enam belas warsa, tak lama sebelum diwisuda menjadi maharaja, dalam sebuah latihan, Hayam Wuruk Pernah mampu melayani Gajah Mada sendiri bertempur tak kurang dari dua puluh jurus. Itu pun tentu karena Hayam Wuruk tak pernah mengalami langsung hidup di dunia luar yang penuh dengan jago-jago kanuragan. Padahal, sangat jarang orang yang sanggup berhadapan dengan Gajah Mada lebih dari lima jurus.

Pada saatnya, ketika neneknya, Gayatri Rajendradewi, mangkat dan membuat sang ibu Tribhuwanattunggadewi memutuskan mengundurkan diri, Hayam Wuruk memang sudah memiliki bekal yang sangat memadai untuk menggenggam takhta Wilwatikta.

Namun, apalah arti segala kehormatan dan keharuman yang bertumpuk di pundaknya, serta seluruh Nusantara di hadapannya, kalau tak juga menemukan calon permaisuri?

Nyaris putus asa ketika sekian tahun berupaya tak juga ia menemukan putri yang didamba. Dan tentu ia sampaikan rasa terima kasih tak berhingga kepada Gajah Mada, Patih Madu, dan Ki Juru Lukis yang telah mempersembahkan apa yang ia dambakan.

"O, kekasihku Dyah Pitaloka Ratna Citra-resmi..."

Terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. Pemandangan indah di kepala Rajasanagara langsung buyar.

"Siapa?"

"Saya, Baginda".

Rajasanagara hafal suara berat di balik pintu. Ia bergegas keluar menemuinya. 

Download


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger