Laporkan Jika Ada Link Mati!

Prabu Siliwangi (Buku Satu)

Matahari dengan teriknya yang mengubun-ubun, tak menghentikan langkah Somadullah alias Prabu Anom Walangsungsang disertai adik dan istrinya. Mereka terus berjalan menyusuri pinggir pantai ke arah selatan.

Password E-Book ini : 1982

“Kalian tak berniat untuk istirahat?” pancing Somadullah.

Keduanya menggeleng kencang.

“Alhamdulillah, kalian luarbiasa!” puji Somadullah.

“Aku tak ingin menciptakan sendiri kekalahanku hanya karena terik matahari, Kakang! Biarlah aku terus berjalan dengan sedikit harap, matahari akan redup juga pada akhirnya nanti,” jawab Nyimas Rarasantang. Ia baru saja terkenang ucapan ayahandanya yang mengira ia masih anak ingusan, yang selalu menyelesaikan masalah dengan tangis. Somadullah menatapnya bangga. Nyimas Rarasantang terlihat senyum penuh percaya diri.

Langkahnya masih tegap dengan napas yang teratur. Tak hirau dengan keringat yang mengucur deras. Padahal kepalanya hanya terlindung selindang yang diikatkan beberapa kali mengelilingi lingkaran kepala, lalu menjuntaikan sedikit ujung sisi ke arah dahi, dan sebagian besar menutup atas kepalanya.

“Peliharalah selalu harapan itu, Nyimas! Juga kau, Nyai Nini Indangayu, istriku!” jelas Somadullah diiringi pandangan menggoda ke arah Nyai Nini Indangayu, yang terlihat serius menghabiskan jarak.

“Itu pasti, Kakang!” jawab keduanya serempak.

“Peliharalah harapan-harapan itu, karena ia yang akan mendorong kita membangkitkan semangat dalam diri. Ketika sebuah keinginan mendesak terus-menerus, kita harus yakin tidak ada jalan lain untuk menempuhnya selain dengan harapan itu. Biarlah rasa takut itu hilang sendiri oleh kekuatan harapan, seperti juga yang selalu kita pelihara ketika kita terdesak pada tepi jurang tanpa apa pun, bahwa di sana masih ada satu harapan, Allah akan bersama kita. Sehingga sekalipun nyawa kita melayang bersama tubuh kita terjun ke jurang, kita masih juga punya harapan, kita ada dalam ridha-Nya...” jelas Somadullah yang sesungguhnya memberi semangat untuk dirinya dan kedua perempuan setia yang ada di sampingnya. Mereka lalu berbelok ke arah barat menuju Lemahwungkuk, tempat Ki Gedeng Alang-Alang bermukim.

Saat masuk waktu zuhur, Somadullah beserta istri dan adiknya ikut shalat sekalian istirahat di rumah Ki Gedeng Alang-Alang. Selesai shalat ditambah wirid yang cukup panjang, barulah Ki Gedeng Alang-Alang memeriksa tamunya. Ia yakin mereka bertiga adalah para musafir, karena sehabis wirid masih juga duduk-duduk di emper masjid. Somadullah merasa bersyukur karena cepat diperiksa.

“Kami santri dari Amparan Jati, Ki! Somadullah namaku. Ini istriku Nyai Nini Indangayu, sedang ini adikku, kami panggil Nyai Rarasantang!” jelas Somadullah. Ki Gedeng Alang-Alang mengangguk

“Subhanallah, kalian ini santri-santri Syaikh Nurjati rupanya. Apa perlu kalian datang ke sini, Nak?”

“Kami datang mengemban tugas dari Syaikh Nurjati, untuk membangun dukuhdi daerah ini,” jelas Somadullah; “tepat besok tanggal 1 Suro, pekerjaan itu dimulai, Ki, sesuai dengan perintah dari guru kami. Kalau Aki tidak keberatan, kami ingin beristirahat malam ini di sini, sebelum besok pagi kami mulai babad alas.” 

Download

Share this article :

+ komentar + 3 komentar

14 November 2018 pukul 10.10

Ini formatnya apa ka??

14 April 2020 pukul 21.45

Buku yang kedua ada ka?

17 Mei 2020 pukul 00.52

Halo ka, jika berkenan bisakah Kaka kirimkan filenya ke email amirahrahimah93@gmail.com ka, saya sudah download tapi tidak bisa terbuka filenya. Terimakasih ka

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger