Sesosok tubuh bermuka pucat, berdiri di muka pintu.
Ia mengenakan celana hitam, kemeja kotak-kotak berwarna gelap dengan kain sarung yang juga hitam melingkar dari pundak sampai batas pinggang. Ia rupanya tidak mengenakan alas kaki sehingga langkah-langkahnya tidak tendengar waktu berjalan ke teras lantas berdiri di pintu waktu Parjo tiba-tiba membukanya.
“Aku Kurdi” gumamnya dengan suara berat.
“Ooo! cetus Parjo, lalu menyingkir memberi jalan.
“Masuklah, Pak Kurdi. Kami sudah lama menunggu”.
Laki-laki setengah umur bermuka pucat itu masuk ke dalam. Tubuhnya sedang, tidak tinggi, tidak pula pendek. Tidak gemuk, namun tak bisa dikatakan kurus. Gerak-geriknya tenang, bahkan tampak lamban sehingga Ia bukanlah tipe seorang lelaki yang patut diperhatikan secara khusus. Tetapi ketika bibirnya yang tipis memperlihatkan seulas senyum kering disertai sinar mata yang tajam berkilat-kilat, semua orang yang berada di ruang depan itu seolah-dah melihat makhluk asing yang kehadirannya tidak boleh dilepaskan sekejap mata pun jua.
Laki-laki beruban dekat pintu ruang tengah, berdiri menyongsong. Yang lain mengikuti.
“Kami senang Nak Kurdi datang” ujarnya seraya menjabat tangan tamu yang datang kemalaman itu.
“Terima kasih. Mana mayatnya?”
Orang tua yang rupanya adalah penghuni rumah, menggerakkan dagu ke arah ruang dalam.
“Di sana!” sungutnya. Menguatkan.
“Hem” Kurdi memperhatikan dupa menyan yang mengebulkan asap di atas tikar pandan. Ia menghirup asap menyan itu dengan perasaan nikmat, dan sepasang matanya yang berkilat-kat tampak kesenangan. Angin dingin bertiup semakin kencang lewat pintu yang menganga.
“Tutupkan, Parjo” kata orang tua tadi dengan muka memberengut.
Parjo bergerak ke pintu dengan malas, dan sebelum menutupkannya ía sempat meninjau ke luar. Lewat pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat bayangan sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, dengan kepala tegak, memandang ke arah rumah.
Parjo tak dapat melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan namun ia bisa menangkap suara mendengusnya yang keras dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok makhluk berbaring di atas tanah berumput. Juga dengan kepala tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya tampak samar-samar membentuk sepasang bintik-bintik kecil berwarna kuning kemerahan.
“Anjing..” desis Parjo kecut, seraya menutupkan pintu buru-buru.
Berderak bunyinya, karena tergesa-gesa.
Sementara yang lain termasuk Parjo duduk kembali di tempat masing-masing, Kurdi masuk ke ruang dalam ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai garden yang terbuka sebagian waktu mereka masuk, kedua orang itu berjalan pelan-pelan ke tengah ruangan yang diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotan-perabotan yang disingkirkan ke tepi, tergelar tikar lebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran kecil.
Selendang batik dan harga murahan menutupi sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari mayat itu, di sekelilingnya masih dipasang lilin-lilin yang tinggal puing-puingnya saja lagi menyala lemah. Bau menyan campur baur dengan bunga rempah-rempah di dekat kepala mayat.
Setelah kumat kamit sebentar, Pak Kurdi memerintah:
“Bukalah.”
Orangtua itu berjongkok, lalu dengan tangan gemetar pelan-pelan ía menyingkapkan ujung kain yang menutupi bagian kepala. Pehan-pelan pula wajahnya ia tolehkan ke arah lain, dengan mata yang terpejam. Didekatnya, tamu bermuka pucat itu memandang ke bawah dengan mata terbuka lebar Mula-mula ia mehihat rambut yang ikal, panjang bergerai, lebat dan hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis, meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru-biruan. Di bawah alis tipis, lentik dan bagus bentuknya, sepasang mata tampak melotot di antara kelopak-kelopak yang hancur bercampur darah mengering
“...terus!” sungut Kurdi waktu gerakan tangan yang membuka kain penutup agak tersendat.
Orang tua itu terkejut, lantas menyingkapkan kain selendang sekaligus sehingga wujut mayat itu tampak lebih jelas. Orang-orang yang berada di ruang depan sama-sama menarik nafas lantas sama-sama pula memalingkan muka dari arah ruang tengah. Orangtua yang berjongkok di sebelah Kurdi, mulai menangis. Tersendat-sendat. Di antara suara tangisnya ía berkata :
“Anak malang. Ia.... ia....”
Kurdi manggut-manggut. Bergumam:
“Ya. Ya. Aku maklum. Aku belum mengenal menantu bapak ini. Kalaupun ia pernah bertemu denganku, ia tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak. Boleh dikata anggota-anggota tubuhnya hampir hancur. Anak malang! Hem. Apa yang menyebabkan ia mati dalam keadaan sedemikian rupa, Pak Marto?
Orangtua yang sudah ubanan itu sesenggukan.
“Nekad!!!” jawabnya. “Ningsih nekat. Tak bisa menahan diri. Kami tidak tahu mengapa Ia tiba-tiba menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada orang mengabari bahwa... bahwa Ia... Ia...”
Pak Marto tiba-tiba benteriak histeris: “Mengapa, Ningsih? Mengapa? Mengapa kau lakukan itu, anakku? Mengapa?”
“Apa yang Ia lakukan, Pak Marto?”
“Ia... oh!” orangtua itu menahan sedu sedannya. Suara berat Pak Kurdi memberikan pengaruh aneh pada dirinya. “Ia bunuh diri!”
“Bunuh diri?”
“Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang lewat.... Aduh! Orang itu bilang.. ada yang melihat... melihat Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mula-mula disangka mau menyeberang, sampai kereta itu datang dan Ningsih tiba-tiba berlari ke arah maut itu datang. Ia tak sempat terjun ke tengah-tengah rel ketika tubuhnya disambar oleh lokomotip dan....”
Posting Komentar