Laporkan Jika Ada Link Mati!

Gunung Kawi

Tak lama kemudian sunyi melangut, seperti mimpi buruk yang mengintip dari bayang-bayang gelap. Burung malam berdengut di kejauhan. Mereka semua telah terlelap, kecuali satu orang yang diam-diam menyelinap ke luar. Dia menyalakan senternya. Di wajahnya tak ada sama sekali rasa takut. Dia melangkah dengan yakin, menuju sebuah arah. Dia tak menyadari, di dunia yang tak kasat mata ratusan sosok menoleh padanya, mengikutinya dengan mata kosong dan kelam.

Dini hari yang dingin. Dia menggigil. Namun rasa ingin tahu menuntunnya untuk terus mendekati Dewandaru, pohon berumur ratusan tahun yang disebut-sebut keramat. Buahnya berbentuk seperti labu tetapi tekstur dan ukurannya seperti tomat. Hanya di sini orang-orang tidak memandangnya sebagai buah yang sekadar bisa dinikmati. Tepat seperti namanya, buah itu didewakan. Jika buah itu jatuh, orang-orang akan berebutan demi memilikinya. Mereka tiba-tiba lupa pada sopan santun: saling sikut, saling jarah demi buah, ranting, dan daun yang jatuh. Konon katanya, kejatuhan salah satu bagian pohon itu berarti kemakmuan yang tak terhingga. Meski pada akhimya tetap akan ada yang dikorbankan untuk menebus kemakmuran.

Tumbal, gumamnya. Dia meragu. Tapi, bukankah dia melakukan itu untuk keluarganya? Dia melangkah lagi sembari menguatkan tekadnya sedikit demi sedikit. Dia menyorotkan lampu senter dari ponselnya ke arah pohon itu. Bersih, sama sekali tak ada yang jatuh. Dia melenguh kesal. Bagaimana mungkin tak ada daun yang jatuh? Dia sama sekali tak punya waktu untuk menunggu.

Terdengar desir angin. Dia menengok belakang. Hari masih gelap dan pekat. Bau rerumputan yang basah mulai menyeruak. Hanya angin yang menampar daun-daun. Tak ada suara binatang. Mereka nyenyak dalam sarang atau mungkin enggan bersapa dengan mahkluk-mahkluk malam. Dia menatap pohon yang tak seberapa besar itu. Tak ada ketakutan yang terlintas di wajahnya. Hanya bimbang, yang kemudian segera dia singkirkan. Sudah kepalang basah, pikirnya. Dia tak ingin melihat keluarganya menderita lagi.

Tangannya meraih daun yang bisa diraih. Dia memetiknya dengan tergesa, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik yang dibawanya. Kepalanya menengok ke sana kemari. Aman. Hanya ada suara angin saat dia bergegas meninggalkan tempat itu.

Namun, dia tak tahu bahwa angin yang bersiut itu hanya berpusat pada pohon. Pelan-pelan angin itu senyap saat sesosok gelap keluar pelan-pelan dari balik pohon. Penyamarannya yang gaib mampu menipu mata. Sejak tadi, dia memerhatikan dengan matanya yang semerah darah. Senyumnya yang dingin membekukan udara. Sekejap, dia melebur menjadi bayangan gelap. Kemudian bergerak cepat, membuntuti orang itu. Pelan tapi pasti, dia menyatu dengan bayangan orang itu. Rapi dan senyap. Seakan tak pernah ada hal buruk yang akan terjadi. Meski seketika burung-burung berdengut di kejauhan. Membisikkan tanda-tanda malapetaka.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger