Laporkan Jika Ada Link Mati!

Omen #1 - Omen

SEJAK kecil aku dikenal dengan julukan ”Omen”.

Buat kalian yang pandai berbahasa Inggris atau punya kamus Inggris yang bagus, kalian akan tahu bahwa secara harfiah, omen berarti ”pertanda”. Arti yang netral. Bisa saja itu berarti pertanda bagus, bisa juga itu berarti pertanda buruk. Namun, kalau kalian sudah nonton film The Omen, kalian akan tahu bahwa kata Omen itu merujuk pada seorang anak kecil yang jahat dan mengerikan, penjelmaan seorang Anti-Kristus, yang hobi membunuh-bunuhi orang seenak jidatnya. Bagiku, yang tumbuh di keluarga besar yang akrab dan hobi nonton film horor bareng seperti orang-orang lain nonton pertandingan sepak bola bareng, menyandang julukan itu benar-benar membuat masa kecilku terasa bagaikan di neraka.

Bukannya aku terlahir dengan tampang dan sifat mirip anak kecil di film The Omen itu. Waktu lahir, aku normal-normal saja seperti kalian semua. Muka lucu dan polos, badan kecil tak berdaya. Satu-satunya yang agak berbeda dalam diriku adalah ternyata aku punya ingatan fotografis. Artinya, aku tidak akan melupakan apa pun yang sudah kulihat. Bahkan sebenarnya, aku juga tak pernah melupakan apa pun yang pernah kudengar. Itulah sebabnya aku jauh lebih cepat bisa bicara dibandingkan Eliza, dan pengetahuanku pun bertambah luar biasa cepat.

Karena Eliza belum bisa bicara sama sekali, aku mengira diriku pun belum bisa bicara. Namun, pada saat merayakan ulang tahun kami yang pertama, saking girangnya melihat kue ulang tahun untuk yang pertama kalinya, aku berkata dengan lidah cadelku, ”Lika mau lebih banyak dalipada punya Lica.”

Itulah pertama kalinya aku melihat ekspresi horor di wajah orangtuaku. Mereka menatapku seolah-olah aku sedang kesurupan. Belakangan, aku tahu memang itulah yang mereka pikirkan. Bahwa anak pertama mereka sudah kerasukan roh jahat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa aku sanggup berbicara lebih cepat daripada Eliza karena aku jauh lebih pandai.

Tapi saat itu, aku masih belum tahu apa-apa. Aku senang bisa bicara dan mengungkapkan isi hatiku, tanpa menyadari bahwa isi hatiku sering kali membuat orangtuaku ketakutan.

”Baju Lika cobek. Lika mau pakai baju Lica aja.”

Yang mereka dengar adalah: Rika sengaja menyobek bajunya sendiri supaya bisa mengambil baju Liza.

”Ada cemut di baju Lica, jadi Lika bunuh bial mati.”

Kecil-kecil dia sudah mengerti konsep membunuh, padahal tidak ada yang mengajarinya.

”Dalipada belalangnya loncat-loncat pelgi, Lika patahin aja dua kaki belakangnya.”

Dia menyiksa binatang malang itu untuk kesenangannya sendiri. Dari mana sifat kejamnya itu berasal?

Dalam waktu singkat, semua itu menyebar ke sanak keluarga yang lain. Setiap kali aku lewat, semua langsung berbisik-bisik.

”Padahal mereka begitu mirip, kenapa hati mereka bisa begitu berbeda ya?”

”Liza begitu manis. Coba lihat senyumnya, menggemaskan banget. Sedangkan senyum Rika tampak licik dan kejam.”

”Lihat, betapa beda aura kedua anak itu. Aura Liza begitu putih bersinar, sementara aura Rika gelap dan hitam. Mengerikan sekali.”

”Dia itu persis anak kecil yang ada di film The Omen. Kalian semua ingat, kan?”

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger