Laporkan Jika Ada Link Mati!

Pelangi Untuk Jingga

Langit Cifor pukul 16.00 dipenuhi oleh awan. Itu adalah jenis awan berwarna putih, tipis, dan merata di semua sisi langit. Sungguh menakjubkan!. Subhanallah. Sepuluh regu telah diberangkatkan. Setiap regu diberi jarak keberangkatan. Aku bersama kelima kawanku berkonsentrasi pada denah dan tanda jejak yang telah dibuat oleh kakak pembina.

Memasuki Hutan Cifor, udara terasa sejuk. Cifor adalah singkatan dari Center for Internasional Foresty Research atau Pusat Penelitian Kehutanan Indonesia, salah satu dari 15 pusat penelitian perhutanan internasional. Luasnya 5 hektar. Menurut Pak Wendy, guru PLH-ku, kantor Cifor yang berada di dalam lokasi hutan ini didirikan pada tahun 1993. Tujuannya untuk melestarikan lingkungan di samping sebagai pusat penelitian dunia. Itulah sebabnya hutan ini tetap terjaga kelestariannya, sehingga menjadi paru-paru kota Bogor Barat.

Keluar dari wilayah hutan, ada jalan bercabang yang harus kami pilih. Tanda jejak di atas batu menunjukkan kami harus berbelok ke kiri, ke arah Danau Situ Gede. Aku sempat melihat Regu Banteng berbelok ke arah kanan. Degg..., jantungku berdetak sangat kencang. Kucoba berteriak sekeras-kerasnya untuk memangil mereka. Tapi mereka malah melambaikan tangan. Sayup-sayup terdengar jawaban, “Waktunya masih lama...! Jalan-jalan dulu...!” Astagfirullahaladzdziim..., alamat gawat!

Senja semakin mengabur dalam bayangku. Diam-diam bulan yang pucat mulai mengintip dari langit yang semakin kelam. Semakin pucat pula wajah kami berlima ketika kami melangkah semakin jauh dari arah yang tertera dalam denah. Kami dihadapkan pada buah simalakama. Ikut terus mengikuti Regu Banteng, semakin tak jelas arah. Mau kembali, juga sudah tak hafal lagi jalan yang telah dilalui. Sementara orang-orang sudah menutup pintunya rapat-rapat masuk ke dalam rumah masing-masing.
“Kamu sih, Wulan, sok pahlawan. Tahu mereka itu pada keras kepala, masih saja kamu mau mengingatkan.” sungut Zulfa padaku.

“Bukannya aku ingin jadi pahlawan, tapi sebagai teman, kita harus saling mengingatkan.” sahutku membela diri.

“Iya, tapi kalau gara-gara menolong teman, kita jadi celaka. Kan berabe juga jadinya,” kali ini Tasya yang pendiam ikut menimpali.

Kini kami berhasil mengejar Regu Banteng, setelah sekian jarak yang kami lalui. Mereka sudah tampak kelelahan. Terlebih karena kaki Lubab cedera, kuku kakinya berdarah, entah kenapa.

“Kataku juga apa..., kalian duluan aja! Kita gak bakal kenapa-napa kok. Masalahnya, rintangan yang diberikan gak asiyk. Laki-laki kan perlu tantangan.” Naufal memarahi kami.

“Eh, mau ditolong kok malah marah. Kita tuh cuma mau ngasih tahu, kalian itu gak amanah terhadap perintah guru, gak disiplin! Aku tuh takut kalian celaka kalau kalian membangkang perintah guru!” sahutku tak kalah sengit.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger