Laporkan Jika Ada Link Mati!

Money A Memoir

Pada suatu saat di atas Samudra Pasifik aku tersadar bahwa sebaiknya aku menghitung uangku. Di bandara tadi tidak ada waktu. Aku terlalu sibuk menggiring anak usia empat tahun sekaligus bergelut dengan perasaan kaku, efisien, dan duka yang tercampur-aduk. Kuperiksa bawaanku-satu dus mainan, satu koper penuh dengan pakaian tropis dan menoleh. Kulihat suamiku sedang berlutut di samping putranya, dua-duanya berlinang air mata. Aku dan putraku akan meninggalkan Singapura, padahal baru lima minggu yang lalu kami pindah ke sini dari New York untuk bergabung dengan suamiku yang sudah enam bulan bekerja di kota ini. Tetapi, saat kami tiba, suamiku sudah berubah pikiran menyangkut perkawinan kami.

"Aku mohon, pulanglah ke Amerika," katanya, mengakhiri diskusi penuh tangis yang kami lakukan dalam minggu pertamaku di Singapura.

Kukemukakan bahwa itu sulit karena kami sudah menjual apartemen setelah memperkirakan akan tinggal di Asia selama tiga tahun.

"Pergilah. Tolong," ulangnya.

Empat minggu kemudian, setelah kehabisan semua harapan untuk menyelamatkan perkawinan kami, aku me-ngantre di gerai Singapore Airlines sementara orang-orang di sekelilingku bergegas mantap menuju suatu tempat atau menjauhi seseorang. Aku sulit memusatkan perhatian pada apa yang sedang terjadi. Satu tanganku memegang erat dua paspor dan tangan satunya segenggam uang kertas yang tadi diambil dari satu gepokan tebal. Dengan terkesiap aku menjejalkan uang itu ke dalam saku, meraih tangan anakku, lalu diam di hadapan suami- ku. Haruskah kami berpelukan? Berciuman? Tak ada jalan bagi tubuh kami untuk mengucapkan selamat berpisah. Aku bergumam bahwa aku akan menelepon dari San Fransisco bila sudah tiba di rumah Sue temanku, lalu sam- bil menyeret anakku yang kebingungan aku melangkah me-nyusuri garbarata menuju pesawat yang sudah menunggu.

Ada lima belas lembar uang kertas $100.

Aku baru saja kehilangan perkawinan dan rumahku, dan aku punya seribu lima ratus dolar.

Karena buku ini tentang uang, aku tidak akan terlalu jauh membahas bagian aku kehilangan perkawinan itu. Cukuplah dikatakan bahwa hal pertama yang ada dalam pikiranku sewaktu aku terbang 35.000 kaki di atas Guam menuju Amerika lagi bukanlah uang. Tetapi, jika patah hati itu dikesampingkan, me-mang ada beberapa hal yang kukhawatirkan: Pendampingku adalah anak umur empat tahun, aku tidak punya pekerjaan, tidak ada rumah untuk kembali, dan setiap barang rumah tangga yang kumiliki sekarang terkunci dalam sebuah peti kemas di atas kapal kargo raksasa yang sedang berlayar menuju Asia melalui Terusan Suez.

Sepanjang ingatanku, aku selalu hidup dengan semacam pe-rasaan cemas yang kronis bahwa hal seperti ini akan terjadi. Bahwa aku akan kehilangan pijakan finansialku dan akhirnya harus berjalan mondar-mandir menyeret kaki yang beralas sandal rumah sambil mendorong kereta belanja menyusuri sebuah gang. Jika dilihat dari luar, rasa takutku itu tidak rasional. Karena aku lahir sebagai anak dari kelas menengah ke atas dengan semua hak istimewa, pengalaman, dan pilihan yang sudah termasuk dalam keanggotaan di Klub Penghasilan Setelah Pajak. Peluang bahwa aku akan tetap berada dalam batas bawah atau atas golongan penghasilan itu kemungkinan akan sangat besar. (Juga fakta bahwa, di saat-saat aku lebih waras, aku memang tahu bahwa suamiku adalah seorang laki-laki yang tidak bahagia dalam perkawinan ini bukan jahat dan bahwa ia tidak akan menelantarkan aku dan putranya). Namun, itu tidak menghilangkan kekhawatiranku bahwa suatu hari, tanpa peringatan, aku akan terjatuh dari amannya kehidupan-ku yang enak itu ke dalam kalau bukan kemiskinan suatu kualitas hidup yang begitu rendahnya hingga aku tidak akan sanggup menanggung. Ketakutan- ketakutan yang bandel ini terus bercokol meski selama bertahun-tahun aku sudah mencapai ke-mandirian finansial, dan biasanya membangunkanku pukul empat pagi dengan menyamar sebagai penyesalan karena aku sudah terdorong membeli sesuatu yang tidak perlu, dan aku yakin bahwa rasa takut itu merupakan langkah pertama pada jalan curam menuju kehancuran total.

Lalu, suatu hari, dengan sangat mendadak, ketakutan ter-burukku terwujud. Tanpa peringatan, perkawinanku hancur dengan menyeret keterjaminan finansialku. Bagaimanapun juga, aku sudah (dengan suka rela) menyerahkan kehidupan keuanganku kepada suamiku. Sekarang ia dan seluruh harta kami bergerak mundur dengan kecepatan lima ratus mil per jam.

Inilah yang sudah jelas: bahwa aku tidak akan mendapatkan kembali perkawinanku.

http://downloads.ziddu.com/downloadffile/17094803/MoneyMemoar-WanitaEmosidanUang.rar.html

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger