Laporkan Jika Ada Link Mati!

Tears Of Heaven From Beirut To Jerusalem

Musim panas 1982 adalah musim panas keenam yang kami lalui di Inggris. Suamiku, Francis, telah meninggalkan kampung halaman kami di Singapura dan aku bergabung dengannya di London. Butuh waktu beberapa lama bagi kami untuk dapat menetap di sana, tetapi pada 1982 kami tinggal di sebuah flat sempit di pusat kota.

Malam demi malam, siaran berita di televisi memberitakan penyerbuan tentara Israel ke Lebanon. Yang mengerikan terutama adalah bagaimana mereka menyerang Beirut dari udara. Francis dan aku duduk dan melihat pesawat-pesawat Israel menjatuhkan bom-bom ke atas petak-petak flat, mereka mengebom daerah-daerah sipil yang dipadati penduduk di ibu kota Lebanon. Siaran-siaran berita tersebut menampilkan gambar blok-blok bangunan yang menjulang tinggi di sepanjang pesisir Beirut, anehnya, itu mengingatkan kami pada flat tua kami di Marine Vista di Singapura. Tampak pemandangan yang mengiris hati dari orang-orang yang terluka dan tewas, banyak dari mereka adalah anak-anak. Lantas muncul pemberitaan mengenai blokade tentara Israel atas Kota Beirut. Bantuan medis bagi para korban dihalang-halangi, pasokan air, listrik, dan makanan juga diputus.

Lebanon dan Beirut adalah nama-nama yang tidak akrab buatku, sedangkan Israel sebaliknya, gereja telah mengajarkanku bahwa anak-cucu bangsa Israel adalah orang-orang pilihan Tuhan. Teman-temanku sesama Kristiani mengatakan bahwa berkumpulnya orang-orang Yahudi dari seluruh penjuru dunia di Negeri Israel adalah pemenuhan janji Tuhan yang terdapat dalam pengabaran- pengabaran di Kitab Injil.

Aku berpihak pada Israel untuk alasan lain. Di London, aku menghabiskan waktu berjam-jam menonton acara televisi yang menyiarkan penderitaan luar biasa orang-orang Yahudi di tangan Nazi. Kedua orangtuaku juga mengalami penyiksaan dari sekutu Nazi, yaitu tentara imperialis Jepang. Sebagai seorang pengungsi di luar negeri, aku mengerti apa arti tidak punya negara. Penciptaan Negara Israel, yang memberi semua orang Yahudi sebuah rumah yang membuat mereka terbebas dari penganiayaan dan siksaan, menurutku adalah suatu tindak keadilan bahkan suatu keadilan dari Tuhan.

Koran-koran menyebutkan bahwa penyerbuan Israel ke Lebanon telah mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan menewaskan empat belas ribu orang, sehingga hal ini benar- benar membuatku marah. Aku tidak bisa memahami mengapa Israel melakukan hal demikian. Pasti ada alasan yang bagus untuk itu.

Kebanyakan berita yang tersebar di Inggris menggambarkan penyerbuan tersebut sebagai usaha Israel untuk menghalau PLO (Palestine Liberation Organisation, Organisasi Pembebasan Palestina) dari markasnya di Lebanon. Yang kuke-tahui tentang PLO adalah sekelompok orang Arab yang membajak pesawat, memasang bom di mana- mana, dan membenci orang-orang Yahudi.

Beberapa seniorku di gereja mengatakan kepadaku bahwa orang-orang Palestina adalah keturunan bangsa Filistin dalam Kitab Perjanjian Lama, dan setiap orang tahu bahwa raksasa Goliath adalah termasuk orang Filistin penakluk yang meneror lawan-lawannya. Kisah David dan Goliath menjadi salah satu kisah favoritku ketika aku aktif menjadi guru sekolah Minggu, aku suka sekali bercerita pada anak-anak bagaimana si kecil David mengalahkan si raksasa Goliath (tinggiku sendiri kurang dari 150 cm).

Meskipun demikian, dari ulasan berita tersebut, tampaknya Israel telah berubah menjadi Goliath, seorang raksasa angkuh yang membawa kehancuran, teror, dan kematian kepada saudaranya, Lebanon. Seorang pemimpin Israel mengatakan kepada pers bahwa ia sungguh menyesali jatuhnya banyak korban, tetapi, katanya, untuk membuat telur dadar, terlebih dahulu kita harus memecahkan telur.

Memecahkan telur? Perkataan itu sangat mengejutkanku. Telur dadar seperti apa yang hendak dibuat Israel? Dan apakah orang-orang di Lebanon itu adalah telur-telur yang harus dipecahkan? Jelas sekali dari laporan-laporan berita tersebut bahwa orang-orang yang terbunuh, terluka, atau kehilangan tempat tinggal adalah warga sipil, dan banyak dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

Mengebom orang-orang sipil adalah cara yang memalukan untuk melakukan perang. Bom-bom itu jatuh selama berhari-hari, di taman bermain, pemakaman, rumah penduduk, rumah sakit, sekolah, dan pabrik. Bahkan kapal Palang Merah Internasional yang membawa persediaan makanan dan obat- obatan untuk Beirut juga menjadi sasaran.

Dari apa yang kudengar, aku menyimpulkan bahwa tidak ada seorang pun yang peduli, dan bahwa Tuhan telah berpaling dari Lebanon. Melihat orang-orang yang terluka di Lebanon membuatku pedih, pertama karena mereka telah disakiti oleh Israel, kedua karena aku seorang Kristiani, dan ketiga karena aku seorang dokter. Aku tak bisa mengerti betapa tega pesawat-pesawat Israel menjatuhkan bom-bom fosfor ke penduduk sipil di dalam kota yang sangat padat tersebut. Aku meminta kepada Tuhan sebuah penjelasan, meminta-Nya untuk memberiku pemahaman.

Hingga pada suatu hari di bulan Agustus 1982, aku mendengar dari seorang rekan sejawat Bryan Mayou bahwa sebuah pesan SOS internasional telah dikirim untuk meminta pengiriman seorang dokter bedah ortopedis yang akan merawat para korban di Beirut. Tuhan telah menjawab doaku, sebagai seorang dokter bedah ortopedis, aku tahu apa yang harus kulakukan. Untuk pertama kalinya di musim panas itu, sejak perang meletus, aku merasa tenang.[]
 
Download


Share this article :

+ komentar + 1 komentar

19 Maret 2018 pukul 10.15

Link Dead OM,.... Please Reupload ya To Google Drive.
#Syukron.

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger