Laporkan Jika Ada Link Mati!

Samita - Sepak Terjang Hui Sing

Hui Sing memejamkan matanya. Dara itu duduk bersila di atas batu hitam di bawah pohon waringin besar di tengah hutan, agak jauh dari gua tempat rombongannya beristirahat. Dua telapak tangannya menengadah dan diletakkan di atas lutut. Ujung jari tengah dan ibu jarinya menyatu, sedangkan tiga jari lainnya meregang.

Desah napasnya begitu jarang dan tertata. Hui Sing mulai merasakan dath dingin menyebar di seluruh jalan darahnya. Nyaman sekali. Senyum gadis itu merekah. Dalam kondisi meditasi seperti ini, pancaindra Hui Sing sangat peka menangkap segala gerak di sekelilingnya.

Suara gesekan daun yang terembus angin di pucuk dahan pun bisa ia dengarkan. Terpisah dari hiruk pikuk satwa hutan yang juga sibuk siang itu. Kelinci hutan, burung-burung, sampai geliat ular pohon juga tak henti mengeluarkan getar suara yang berbeda.

Tiba-tiba dua kelopak mata Hui Sing terbuka. Ia mendengar gesekan angin yang berbeda tak jauh dari tempatnya bersemedi. Gerakan tubuh sese¬orang berilmu kanuragan yang tidak rendah. Hui Sing hanya punya waktu sesaat untuk menduga-duga.

Dalam sekejap, ia merasakan angin mendesak sangat keras dari arah belakang. Sontak Hui Sing menyentakkan tubuhnya ke atas. Sesosok hitam bercadar muncul dan memburu tubuh Hui Sing dengan sebilah golok. Gerakannya luar biasa cepat. Beberapa kali Hui Sing harus berjumpalitan di udara menghindari serangan maut yang dilancarkan nyaris tanpa suara itu.

Bahkan, beberapa kali batang golok itu hanya sebatas jari lewat dari leher Hui Sing.

"Siapa kau?!"

Tubuh Hui Sing terus melenting menghindar dari serangan golok itu. Tapi rupanya sosok bercadar itu tak ingin berkompromi. Dia terus mengurung ruang gerak Hui Sing dengan goloknya yang haus darah.

Hui Sing lalu melompat ke dahan pohon, men¬cari posisi yang lebih bagus. Si penyerang misterius itu pun tak hendak mengendurkan serangannya. Jadilah keduanya bayangan cepat, berlompatan di dahan-dahan raksasa bak dua ekor tupai yang sedang berkejaran.

Hui Sing tak mau gegabah. Jurus-jurus yang digunakan penyerangnya begitu asing. Gadis itu tak mau sembarangan bertindak hingga merugikan diri sendiri. Makanya, dia memilih terus menghindar. Mengandalkan gin kangis untuk terus berlompatan di dahan-dahan pohon raksasa itu.

Rambut legamnya pun berkibaran indah meng¬ikuti gerakan tubuhnya yang lebih mirip orang yang sedang menari. Hui Sing sedang menerapkan jurus Tarian Bidadari yang tersohor di daratan Tiongkok. Dia bergerak waspada, namun lemah gemulai.

Beberapa kali lengannya menjadi tumpuan, bergelantung di dahan-dahan pohon untuk menye-lamatkan diri dari serbuan golok si penyerang yang semakin dahsyat. Rupanya, penyerang berca-dar itu pun penasaran bukan main karena sudah puluhan jurus, namun tak dapat menyentuh Hui Sing satu helai rambut pun.

Beberapa kali bacokan golok di tangannya menebas ruang kosong atau dahan-dahan kayu tua. Keruan saja, dahan pohon berumur ratusan tahun itu hancur dalam satu kibas saja.

Kini, gerakan golok itu semakin menggila. Ber-putar keras mengincar ulu hati Hui Sing. Namun, murid utama Laksamana Cheng Ho itu tahu benar bahwa lawan yang ia hadapi mempunyai kemam¬puan mumpuni. Makanya, dia pun sangat berhati- hati. Bahkan sekadar menggerakkan ujung jari sekali pun, dipikir dengan penuh perhitungan.

Akan tetapi, kali ini Hui Sing bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekaligus ulet. Langkah menghindarnya tak cukup untuk melindungi diri. Setelah melewati empat puluh jurus, si penyerang berhasil mendesaknya.

"Hiyaaa ...!"

Tak ada pilihan. Ujung golok itu nyaris saja menyentuh kulit leher Hui Sing. Tak mau mati konyol, Hui Sing menghentakkan dath dingin lewat telapak tangannya yang mengangsur ke depan.

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger