Laporkan Jika Ada Link Mati!

Zaman Edan : Indonesia Diambang Kekacauan

MENJELANG AKHIR kunjungan pertama saya ke Indonesia, saya tinggal di sebuah rumah di ping gir hutan dan saya mendapatkan mimpi terburuk yang pernah saya alami seumur hidup. Rumah itu adalah sebuah bungalo kayu beratap jerami. Di satu sisinya ada jalan dan di sisi lainnya ranjang kayu tempat saya tidur di udara terbuka. Pohon kelapa dan pepohonan berbunga tumbuh lebat di lereng yang menuju sungai di dasar lembah yang curam. Pada malam hari, bunyi mobil dan motor reda, sementara suara-suara dari hutan meramaikan seputar tempat tidur saya: bunyi elektris serangga-serangga, kepakan sayap burung-burung, gemericik air mengalir.

Saya melewatkan malam demi malam sendirian di kafe dan bar turis di sepanjang jalan itu. Belakangan, setelah saya tertidur diiringi riuh-rendah bunyi-bunyian rimba belantara di telinga, saya bermimpi tentang pisau-pisau dan wajah-wajah, serta makhluk alien raksasa setengah lobster setengah tawon. Saya bermimpi tentang ponsel yang tak mau berhenti berdering dan percakapan tanpa henti dengan seseorang bernama Kolonel Mahmud.

Pulau Bali, tempat saya menginap, adalah tempat yang damai. Kekerasan di Jakarta tidak menimbulkan riak apa-apa di sini. Atau, begitulah kesan yang tampaknya dengan susah payah ingin diberikan oleh masyarakat setempat: perempuan yang menyerahkan kunci bungalo kepada saya sambil tersenyum, anak lelaki bersarung yang datang pagi untuk menyapu lantai dan mengganti seprai. Setiap hari dia membawakan sesajian kelopak bunga dan nasi yang diletakkannya di tempat yang tinggi untuk berterima kasih kepada roh-roh penjaga, dan di tanah untuk menjinakkan roh-roh jahat. Dia menunjukkan kepada saya bagaimana cara memanggilnya dengan menggunakan gong kayu yang tergantung dari bawah talang atap bungalo itu. Bagian badan gong yang rumpang diukir menjadi bentuk hantu menyeringai; tongkat penabuhnya adalah penis besar menegang yang dijulurkan sang hantu di antara cakar-cakarnya. Tapi, entah sesajinya kurang banyak atau hantu itu kurang menyeramkan, malam berikutnya mimpi buruk itu datang lagi.

Mimpi itu berawal dengan suara Kolonel Mahmud di telepon. "Kau tak cukup kuat!" dia memekik. "Atau tak cukup pintar. Ya! Dan selama ini kau orang yang terlalu baik, pula!" Dalam mimpi itu saya mencoba mengenyahkan telepon itu, membakarnya, bahkan membenamkannya di bak mandi, tetapi tetap saja ia mengapung berdering ke permukaan, sementara sang kolonel dan orang-orangnya semakin dekat.

Persoalan di Jakarta sudah membuat saya letih, barangkali lebih letih dibandingkan yang saya sadari.

Berawal dari sebulan lalu dengan kejadian yang tak terduga: demonstrasi massa oleh anggota partai demokrat oposisi. Siang malam ratusan orang memenuhi markas partai, menyanyi, bercerita, dan menyampaikan pidato-pidato mendukung demokrasi. Semuanya berhati-hati jangan sampai menyebut nama sang presiden, tetapi setiap orang tahu bahwa demonstrasi itu merupakan tantangan langsung ke arahnya, kritikan paling kuat dan tajam yang pernah dihadapinya dalam tiga puluh tahun. Ini tindakan yang sungguh-sungguh berani; sepertinya di luar dugaan bahwa demonstrasi itu bisa diperbolehkan. Tetapi, hari-hari berlalu dan para demonstran dibiarkan tanpa gangguan.

Suatu malam saya mengunjungi mereka di markas be sar. Tempat itu sarat hiasan bendera-bendera dan potret pemimpin oposisi seukuran poster. Pagi berikutnya, persis setelah fajar, markas itu disergap oleh komando berpakaian sipil. Barisan polisi membentengi para penonton saat penyerang melemparkan batu ke arah bangunan itu; setibanya di dalam mereka mengeluarkan pisau. Ratusan demonstran ditahan dan orang-orang bilang banyak di antara mereka ditusuk sampai mati dan tubuh mereka diam-diam dibuang. Sore itu terjadi kerusuhan di berbagai tempat di Jakarta, dan bangunan perkantoran bertingkat tinggi terbakar dengan asap hitam. Untuk pertama kalinya seumur hidup, saya melihat jalanan dipenuhi pecahan kaca, tank baja maju perlahan ke arah kerumunan manusia, dan perempuan-perempuan menjerit karena marah serta terkejut.

Adalah penting untuk tidak kehilangan ketakjuban pada hal-hal semacam itu.

Tapi, kini saya di Bali, pulau pelesir kecil di sebelah timur Jawa, dan saya berada di sini untuk bersantai. Saya memilih untuk menjauhkan diri dari pantai dan sebagai gantinya menelusuri sisi pedalaman pulau itu. Rimba ini menenangkan saya, tapi mencemari tidur saya dengan mimpi-mimpi buruk.

Saya bermimpi menaiki kapal besar karatan. Kapal itu sesak dengan penumpang bisu berkulit gelap. Kapal bergerak lamban memabukkan di atas air ketika saya naik. Saya bermimpi sedang mengejar kupu-kupu besar di dalam hutan. Binatang buas besar mengawasi saya dengan mata hijaunya. Kemudian ponsel itu berdering, dan saya tahu kalau saya menerimanya tentu saya akan mendengar suara menyalak Kolonel Mahmud.

Pada siang hari saya duduk membaca di depan bu ngalo, atau berjalan melewati restoran-restoran itu dan turun ke desa. Saya mengunjungi sebuah taman tempat monyet-monyet menatap cemberut dari pepohonan dan kemudian, di sebuah toko cendera mata, saya membeli satu set gong lengkap dengan tongkat penabuhnya yang serupa penis. Saya bertemu sepasang orang Jerman yang mengaku mereka juga dapat mimpi buruk di Bali, yang laki-laki tentang babi hitam raksasa, yang perempuan tentang "hantu dan tamu-tamu". Dan, pada hari terakhir saya sendiri berjumpa dengan cerita hantu.

Saya pergi bersepeda ke sebuah tempat di pinggir desa tempat ribuan bangau putih berkumpul pada senja hari. Burung-burung itu datang dari berbagai penjuru pulau, semuanya bertungkai hitam dan berleher kurus, melipat badan saat akan hinggap di puncak-puncak pohon. Seorang lelaki Bali mengatakan kepada saya bahwa burung-burung itu adalah roh orang-orang yang mati dalam pembantaian besar tiga puluh tahun silam. Kebanyakan tidak pernah dikuburkan; tak ada doa yang dibacakan buat mereka. Mereka gentayangan di hutan-hutan dan sawah-sawah, serta ribuan di antara mereka berdiam di sini dalam bentuk burung-burung putih itu.

Malam itu saya membuka buku sejarah yang saya beli di Jakarta dan mulai membaca tentang pembantaian anti-komunis pada 1965 dan 1966, yang dengan standar apa pun merupakan salah satu pembantaian massal terburuk sepanjang abad kedua puluh.

Pembantaian itu dimulai setelah sebuah upaya mis terius menggulingkan presiden yang lama, dipimpin oleh perwira tentara sayap kiri. Dalam beberapa pekan, sekelompok milisi dan serdadu mengepung para pendukung komunis, entah nyata entah khayalan. Ada daftar orang-orang tertuduh dan daftar orang-orang yang harus dibunuh. Seluruh keluarga, seisi desa, ditangkap. Orang-orang yang dicurigai digiring ke parit-parit atau tempat terbuka di tengah hutan dan dieksekusi dengan arit, golok, serta batang besi.

Di seantero negeri barangkali setengah juta orang tewas, seperlimanya di Bali yang kecil. "Banyak anggota partai yang ditikam dengan pisau atau sangkur," kata buku itu. "Tubuh-tubuh buntung dengan kepala terpenggal dibuang di sungai-sungai ... Di pulau Bali, satu-satu provinsi di Indonesia dengan penganut Hindu terbanyak, pembunuhan meluas tak kalah garang. Para pendeta mengimbau pengorbanan baru untuk memuaskan roh-roh yang dendam."

Di tengah teror dan kekacauan pada 1966 inilah kekuasaan Presiden Soekarno beralih ke "Orde Baru", pemerintahan Jenderal Soeharto. Dalam tiga dekade sejak saat itu Soeharto telah membangun kembali negeri.....
Download


Share this article :

+ komentar + 1 komentar

19 Maret 2018 pukul 10.47

Link Dead OM,.... Please Reupload ya To Google Drive.
#Syukron.

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger