Laporkan Jika Ada Link Mati!

Misteri Putri Peneluh

TUBUH itu polos. Pakaiannya bertaburan di sana sini. Ketika sorot-sorot lampu senter disertai pekik-pekik tertahan memenuhi tempat itu, sesuatu berwarna putih tiba-tiba meloncat dari arah pangkal paha Margono yang sudah diam tak berkutik. Tiba di tanah berlumpur, bayangan putih itu berhenti sejenak, ia menantang sorot lampu senter yang diarahkan padanya dengan mulut menyeringai. Tampak noda-noda darah di antara misai-misainya yang halus.

“Tikus putih!” seru orang yang menyenter benda itu. Dan sebelum ia serta kawan-kawannya ingat untuk berbuat sesuatu, tikus putih sebesar betis itu telah meluncur masuk dalam gelap, menghilang di antara akar-akar bakau seraya mencicit-cicit nyaring. Bergidik bulu roma peronda-peronda malam yang hadir di situ..

“Lihat!” petugas ronda yang bertubuh kekar menyorotkan lampu senternya ke arah dari mana tadi tikus putih itu bersembunyi sebelum loncat untuk menghilang. Semua mata tertuju ke arah paha Margono.

Pekik-pekik tertahan sahut bersahut lagi. Hampir semua memejamkan mata sejenak, untuk dengan enggan membukakan-nya lagi dan melihat bahwa apa yang berada di depan biji mata mereka bukanlah impian buruk. Hampir seluruh bagian alat vital Margono sebagai seorang lelaki, hancur.

Keempat orang peronda malam itu berjongkok serentak.

Denyut nadi di tangan Margono diperiksa. Juga jantung Margono itu'ah, ia tiba-tiba mencium bau anyir. Matanya terbeliak waktu ia sadari bahwa mulutnya mencercah pada darah yang melelehi dada Margono. Darah itu berasal dari lehernya. Waktu orang itu menyorotkan lampu senter di tangan, ia merasakan seluruh tubuhnya dingin dan kaku. Tenggorokan Margono terbelah dengan kasar bagaikan dicabik-cabik oleh gigi-gigi yang runcing dan tajam-tajam.

Beberapa detik berlalu dengan kebisuan yang mencengkam dan mendirikan bulu kuduk. Hanya deru aliran sungai saja yang terdengar, diselingi oleh semilirnya angin yang menggeseki batang-batang dan dedaunan bambu sehingga menimbulkan bunyi yang tidak mengenakkan hati maupun telinga.

“Mari kita angkut ia ke rumahnya,” perlahan-lahan peronda yang paling besar tubuhnya membuka suara. Getaran suaranya terdengar jelas.

Juga ketika yang lain menggumam, tanda setuju. Gumaman-gumaman itu menggletar, seakan-akan tertahan di kerongkongan. Lutut dan tangan-tangan mereka pun terasa goyah waktu mereka sama-sama berjongkok kemudian ramai-ramai mengangkat tubuh Margono yang telah menjadi mayat. Da lam samar-samar cahaya subuh, hati mereka agak menciut melihat sepasang mata Margono yang terpentang lebar, seakan-akan melihat dan merasakan sesuatu yang mengerikan serta membuatnya amat menderita.

Mereka berjalan dengan suara membisu menuju rumah keluarga Margono. Meskipun begitu, semakin dekat ke rumah korban, semakin banyak juga orang yang mengiringi rombongan. Rupanya jerit dan raung Margono telah membangunkan beberapa penduduk yang memberanikan diri keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ada belasan orang yang mengiringi mayat itu sampai dibaringkan di ruangan tengah rumah keluarganya.

“Panggilkan pak Lurah!” seseorang berseru.

Bersamaan dengan terdengarnya kokok ayam yang kian ramai bersahut-sahutan, maka di dalam rumah keluarga Margono pun sahut bersahut pulalah suara jerit dan tangis yang pilu menyayat hati. Seluruh kampung gempar dengan tiba-tiba. Semua pintu dan jendela terbuka. Jalan-jalan desa menjadi ramai. Orang-orang berhamburan dan mengerumuni rumah dan halaman di mana jerit dan tangis kematian itu menggema berkepanjangan.

Dan ketika pagi tiba, kerumunan itu mulai menipis dan tinggallah keluarga Margono serta anak-anaknya yang ada, termasuk keempat petugas ronda malam itu dan Pak Lurah yang khusus dipanggil untuk nenyelidiki sebab-sebab kematian Margono yang demikian menyeramkan.

Setelah memeriksa luka-luka di bagian kelelakian serta tenggorokan Margono yang sama-sama hancur, orang tua yang jenggotan dan ubanan itu mengeluh; “ia bukan dibunuh orang!”

Tertegak leher empat petugas ronda didekatnya. “Bukan dibunuh?”
“Memang dibunuh. Tetapi bukan oleh manusia biasa!”

Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya telah pucat, semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan bayangan buruk yang munghuntui kepala mereka.

Download


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger