Laporkan Jika Ada Link Mati!

Ahmad Tohari (1) - Ronggeng Dukuh Paruk

Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng, bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Paruk.

Tak seorang pun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah-serapah dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “Jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.” Atau, “Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis seperti anak-anak Dukuh Paruk!”

Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun-temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.

“Kalau benar tuturmu, Kang, kita akan tetap betah tinggal di pedukuhan ini,” kata Kartareja menanggapi laporan Sakarya.

“Eh, sampean lihat sendiri nanti,” jawab Sakarya. “Srintil akan langsung menari dengan kenesnya bila mendengar suara calungmu.”

Kartareja mengangguk-angguk. Bibirnya yang merah kehitaman oleh kapur sirih bergoyang ke kiri-kanan. Lalu disemprotkannya sisa tembakau yang tertinggal di mulutnya.

“Ah, Kang Sakarya. Aku tak lagi diperlukan kalau begitu. Bukankah Srintil sudah menjadi ronggeng sejak lahir?” kata Kartareja tawar. Dia sedikit tersinggung. Keahliannya mengasuh ronggeng merasa disepelekan.

“Eh, sampean salah tangkap. Maksudku, Srintil benar-benar telah mendapat indang. Masakan sampean tidak menangkap maksudku ini.”

“Oh, begitu.”

“Ya. Dan tentu sampean perlu memperhalus tarian Srintil. Cucuku tampaknya belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi yang penting; masalah 'rangkap' tentu saja. Itu urusanmu, bukan?”

Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apa-apa. “Rangkap” yang dimaksud oleh Sakarya tentulah soal guna-guna, pekasih, susuk dan tetek-bengek lainnya yang akan membuat seorang ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli dalam urusan ini.

“Pokoknya Dukuh Paruk akan kembali mempunyai ronggeng. Bukankah begitu, Kang?”

“Eh, ya. Memang begitu. Kita yang tua-tua di pedukuhan ini tak ingin mati sebelum melihat Dukuh Paruk kembali seperti aslinya dulu. Bahkan aku takut arwah Ki Secamenggala akan menolakku di kubur bila aku tidak melestarikan ronggeng di pedukuhan ini.”

“Bukan hanya itu, Kang. Bukankah ronggeng bisa membuat kita betah hidup?”

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger