Laporkan Jika Ada Link Mati!

Dewi Ular [47] - Makhluk Sebrang Zaman

MENJELANG pukul 4 sore, langit menjadi keruh. Sinar matahari berusaha menerobos ketebalan mendung hitam. Gagal. Bumi pun mulai tampak tua akibat suasana mejadi remang-remang.

Beberapa orang menyalakan lampu yang semestinya dinyalakan pada malam hari. Mereka yakin semakin senja semakin lebih gelap lagi sang bumi dikuasai oleh mendung tebal. Mungkin juga hujan akan turun deras dan mempergelap permukaan bumi juga.

Beberapa pekerja bangunan mulai gelisah, tapi hati mereka cerah. Lima belas menit lagi mereka akan berhenti bekerja, kecuali yang mau lembur. Mereka berharap agar hujan jangan turun dulu sebelum mereka tiba di rumah masing-masing. Bahkan beberapa penggali yang bekerja dalam proyek pemasangan kabel bawah tanah, tampak mulai membersihkan peralatan galinya. Proyek itu ditangani oleh 35 kuli penggali dengan 3 mandor dan 2 orang pengawas proyek.

Tiba-tiba saja dari ujung selatan terdengar beberapa orang kuli. berseru sambil berlari-lari menyebar arah.

"Ulaaar! Ular besar! Hooi, ada ular besar!"

"Ular? Di mana? Mana ularnya?”

“Itu di dalam gorong-gorong pabrik!"

"Kenapa nggak digebuk aja? Mana dia? Mana, mana?"

Ada yang ketakutan, ada yang sok berani, tapi ada yang diam saja memperhitungkan langkahnya. Sebagian kuli berhamburan ke tempat itu membawa peralatan tajam atau apa saja yang bisa mereka gunakan untuk membunuh seekor ular besar. Namun ketika mereka melihat dengan mata kepala sendiri wujud ular itu, mereka langsung angkat kaki mundur.

Wajah mereka tegang dengan mata membelalak lebar. Sangat ketakutan.

Seekor ular jenis phiton telah keluar dari gorong-gorong saluran pembuangan limbah, milik sebuah pabrik kimia. Ular itu berwarna hitam kehijau-hijauan. Tapi bukan warna dan jenisnya yang membuat orang-orang ketakutan, melainkan karena bentuk dan ukurannya yang menyeramkan.

"Ular itu memang jalannya lambat," tutur seorang kuli dengan berapi-api.

Beberapa orang yang bukan kuli ikut mendengarkan dengan penuh antusias. Termasuk para pengendara motor yang melintasi jalan arteri dan menyempatkan berhenti untuk mencari informasi tentang peristiwa yang menghebohkan dalam waktu singkat itu. Tentu saja jalanan pun menjadi macet. Semua orang ingin mengetahuinya.

"Tapi biar jalannya lambat, rupanya mengerikan," lanjut kuli bertubuh kurus itu. "Kepalanya sebesar kepala bayi, malahan kayaknya sih lebih besar kepala ular itu. Badannya bersisik keras, seperti kulit kerang. Besar badannya anak sapi yang baru lahir, tapi panjang. Panjang sekali deh. Sekitar tujuh meter lebih. Dan yang lebih mengerikan lagi, di kepala ular itu mempunyai tanduk. Satu tanduk di tengah keningnya."

"Seperti cula badak?"

"Ya! Besar, seperti cula badak. Kulit wajahnya juga berlipat-lipat seperti kulit wajah seekor badak!"

Tak sampai setengah jam, berita itu menjadi sesuatu yang menggemparkan separuh kota Jakarta. Kemunculan ular aneh yang ternyata mempunyai empat kaki seperti cakar bebek itu, sangat mengundang rasa ingin tahu bagi siapa pun yang mendengarnya, baik melalui telepon maupun melalui mulut teman-temannya.

Ular aneh itu bergerak lambat mendaki selokah besar untuk sampai ke daratan beraspal. Beberapa orang melemparinya dengan batu dari jarak jauh. Tak ada yang berani mendekat. Namun lemparan batu itu tidak membuat binatang aneh tersebut merasa kesakitan. Ternyata kulit binatang itu setebal kulit seekor badak. Batu yang membenturnya hancur, terbelah atau terpental ke arah lain.

Informasi kuli bertubuh kurus itu kurang tepat. Kepala ular bertanduk satu itu bukan sebesar kepala bayi, tapi sebesar kepala anak sapi. Dari mulutnya keluar gigi panjang menyerupai taring, tapi letaknya di bagian tengah. Panjangnya melebihi mulut bila terkatup. Gigi runcing itu berjumlah satu pasang. Yang lebih mengerikan lagi adalah bentuk matanya. Mata ular aneh itu berwarna merah kebiru-biruan, besarnya seukuran telur ayam kampung. Mata itu tidak terbenam semua di balik kelopaknya, melainkan tersembul keluar separuh bagian.

Mobil dan kendaraan lainnya yang kebetulan melintas di jalan arteri itu terpaksa berhenti atau mundur, atau bahkan nekat mencari jalan putar, kalau perlu masuk ke halaman rumah orang. Ketegangan dan kepanikan itu terjadi akibat ular besar berkaki lebar telah sampai di jalanan beraspal, dan menggeliat lamban di sana, seperti sedang mengincar mangsa yang sedang dipilih sesuai selera hatinya.

Guntur menggelegar di langit hitam. Cuaca semakin buruk. Suasana semakin tegang. Ekor ular itu mulai bergerak naik. Besarnya seukuran tiang listrik model lama. Di ujung ekornya ada sekumpulan sisik keras yang menyerupai sirip terbentuk kipas. Siapa pun yang memandang dari kejauhan akan berusaha semakin menjauhi, sebab mereka khawatir jika ekor ular itu mengibas ke kiri atau ke kanan, pasti akan menimbulkan bahaya yang dapat menimbulkan korban nyawa.

"Panggil pawang ular! Lekas panggil pawang ular dari mana saja!" usul beberapa orang.

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger