Laporkan Jika Ada Link Mati!

Dewi Ular [48] - Perempuan Penghisap Darah

Nyonya Lieza dan pelayannya agak berlari-lari menuju teras. Bocah berusia 3 tahun itu dipondongnya. Dari nada bicaranya perempuan itu sudah menunjukkan ketegangannya. Raut wajahnya memancarkan duka yang dalam. Caranya membawa anak dengan dipondong dua tangan telah membuat Sandhi berfirasat buruk terhadap anak itu, Ternyata sampai di teras, Nyonya Lieza menangis sambil masih memondong bocah berwajah pucat pasi itu.

"Tolong... tolong beritahukan kepada Kumala Dewi... anak saya butuh pertolongan secepatnya. Tolong, Mas... kasihan anak saya..."

"Silakan masuk ke dalam saja. Mari. Masuk!" Sandhi jadi ikut-ikutan panik, masuk ruang tamu tanpa peduli pakaiannya basah kuyup dan sandalnya masih dipakai.

Sebelum Sandhi menyuruh Buron memanggil Kumala yang sejak tadi sudah masuk kamar tidurnya, ternyata gadis berambut panjang yang cantik jelita itu sudah keluar sendiri dari kamarnya. Sepertinya ia tahu ada seseorang yang membutuhkan bantuannya dengan segera. Namun ia sendiri sebenarnya belum kenal dengan Nyonya Lieza, sehingga dahinya sedikit berkerut menatap Nyonya Lieza yang menangis semakin keras, semakin terguncang-guncang badannya.

"Too... tolong... tolong anak saya, Kumala Dewi! Tolonglah dia." suara itu sampai mengecil, nyaris hilang. Melihat bocah berwajah pucat dengan bibir membiru.

 Dewi Ular cepat-cepat mengambil alih anak tersebut, lalu dibaringkan di sofa panjang.

"Ambil bantal!" perintahnya kepada Buron.

Jin usil itu segera menyambar bantalan sofa yang ada di ujung dan menyangga kepala anak itu dengan bantal tersebut.

"Apa yang terjadi, Nyonya?" tanya Sandhi dengan tegang.

"Ekey... anak saya itu... tahu-tahu... tahu-tahu tidak bernapas. Dia sulit bernapas sampai badannya dingin dan... dan..."

"Maksudnya, anak ini telah meninggal dunia, begitu?”

“Bukan!" sentak Nyonya Lieza kepada Buron. "Anak saya tidak mati! Anak saya masih hidup, tapi sulit bernapas! Jangan katakan anak saya mati. Oh, tidak... Ekey... Mama di sini, Nak. Mama bersamamu. Sembuh, ya Ekey... sembuhlah kamu, Nak!"

Ratapan itu sangat memilukan. Mak Bariah, pelayan Kumala yang setia, ikut keluar dari dapur dan memperhatikan Ekey di atas sofa. Melihat bocah itu pucat pasi tanpa gerakan sedikit pun, Mak Bariah juga yakin di dalam hatinya bahwa bocah tersebut sebenarnya telah mati beberapa jam yang lalu. Si pelayan yang tadi membawakan payung, hanya duduk di sudut ruang tamu sambil menitikkan air mata.

Mak Bariah nyaris ikut menangis, namun ia bertahan agar bisa membantu menenangkan Nyonya Lieza. Tanpa diperintah siapa pun, Mak Bariah membujuk Nyonya Lieza agar menjauhi sofa dan menghentikan tangisnya.

"Biar Non Kumala memeriksanya dulu, Nyonya. Mohon tenang, jangan menangis, nanti bikin Non Kumala nggak bisa serius."

Nyonya Lieza mau dituntun menjauh beberapa langkah, tapi tak bisa menghentikan tangisnya. Suara tangis saja yang bisa dikecilkan, namun luapan duka tak bisa disurutkan.

Saat itu Kumala memeriksa Ekey dengan menyentuhkan jari telunjuk di dada bocah itu. Kemudian ia memandang Buron dan Sandhi yang ada di depannya.

"Bagaimana?" bisik Sandhi.

"Bocah ini sudah mati?" timpal Buron.

Kumala menganggukkan kepala samar-samar. "Dia kehabisan darah."

"Apa penyebabnya?" Sandhi semakin membisik hati-hati sekali.

"Entahlah. Yang jelas, tidak tersisa setetes pun darah pada tubuh mayat anak ini," jawab Kumala sangat pelan.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger