Laporkan Jika Ada Link Mati!

Jennings Si Iseng

KEESOKAN paginya Jennings sibuk sekali. Ia sampai bingung karenanya. Ia hanya bisa ingat, setiap kali bunyi lonceng terdengar, ia harus berbaris lagi dalam antrean yang panjang. Saban kali ikut dalam antrean. Jennings sebenarnya tidak begitu tahu ke mana barisan itu bergerak. Pokoknya, saban kali pasti ia akhirnya berhadapan dengan seorang guru. Guru demi guru itu selalu saja menanyai nama dan umurnya. Lantas guru-guru itu memberikan sesuatu kepadanya. Ada yang memberikan buku-buku pelajaran, ada yang menyodorkan sepasang kaus kaki untuk sepak bola, pokoknya sesuatu yang mestinya sesuai dengan keperluan antrean.

Jennings merasa lega ketika saat makan siang tiba. Saat itu ia bisa merasa agak tenang. Tapi ketenangan itu ternyata hanya sebentar saja, karena begitu anak-anak selesai makan, lonceng berbunyi lagi dan semuanya mulai lagi membentuk barisan yang bergerak ke salah satu tempat.

Jennings sudah bosan antre. Ketika dalam barisan itu ia sampai ke suatu sudut dan harus membelok, ia menyelinap pergi seorang diri. Ia masih ingat pada ancaman Temple malam sebelumnya. Hal itu menyebabkan ia merasa harus menghindar sampai saat minum teh.

Barangkali saja tidak ada lagi bahaya apabila saat itu sudah lewat.

Ia menjumpai Darbishire di ujung lapangan tempat bermain. Anak itu sendiri saja di situ.

"Kenapa kau di sini, Darbishire?" tanya Jennings. "Mestinya kau ikut antre, entah ke mana lagi."

"Aku tahu," kata Darbishire sambil meneguk ludah. Jennings tidak bisa melihat mata anak itu karena terlindung di balik kacamatanya. Tapi walau begitu ia bisa juga tahu bahwa anak baru itu menangis, karena pipinya nampak basah.

"Kau menangis, ya?" kata Jennings.

"Ti-tidak, bukan benar-benar menangis. Aku hanya rindu, ingin kembali ke rumah. Karena itulah kacamataku basah."

"Kan tidak ada yang perlu kaubingungkan," kata Jennings dengan maksud menghibur. "Lain dengan aku! Kalau aku ini sudah sepantasnya cemas, karena akan dihajar sebelum waktu minum teh nanti."

"Aku juga akan dihajar, apabila bertingkah," kata Darbishire.

"Lalu, apakah kau bertingkah?"

“Tidak. Sepanjang pagi ini aku rasanya sedih terus. Aku tidak suka bersekolah di sini. Segala-galanya serba tidak menyenangkan, dan -ah, kenapa aku harus bersekolah di sini?"

"Aku juga merasa tidak enak,” kata Jennings. "Aku ingin bisa bicara sebentar saja dengan ayahku. Aku ingin minta nasihat padanya, apa yang sebaiknya kulakukan apabila dihajar nanti. Pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan. Tapi apa?"

Tiba-tiba ia merasa mendapat akal yang bagus.

"He," katanya, "he, Darbishire, aku punya akal! Bagaimana jika kita lari saja dari sini?"

"Lari!" Darbishire terkejut, mendengar gagasan senekat itu.

"Ya, lari pulang. Lalu kau bisa mengatakan bahwa kau tidak suka bersekolah di sini, dan ayahku akan bisa mengatakan bagaimana aku harus menghadapi juara tinju yang hendak menghajar diriku."

“Tapi bagaimana kita bisa lari?" kata Darbishire. “Kita kan tidak diizinkan keluar!" Anak itu memang sangat patuh.

Jennings hanya mengangkat bahu saja. Baginya, larangan itu merupakan urusan kecil.

"Itu kan gampang!" katanya. "Kita berjalan saja ke luar lalu naik bus ke stasiun, dan dari sana pulang. Untuk membeli karcis kereta api, kita minta saja uang tabungan kita kepada Pak Carter."

“Tapi uangku hanya ada empat pound dan delapan puluh lima penny."

"Itu kan banyak! Pasti cukup untuk membeli karcis," kata Jennings meyakinkan. "Wah, asyik juga, ya?”

Darbishire tidak yakin apakah ia menyukai keasyikan seperti itu. "Bagaimana kalau ketahuan?" katanya dengan nada bimbang.

Jennings berpikir-pikir. Kemungkinan itu memang ada. Tapi barangkali ada salah satu cara untuk mengurangi risiko itu.

"Aku tahu akal," katanya kemudian. "Kita menyamar. Jadi jika ada yang melihat kita, orang itu tidak bisa mengenali bahwa yang dilihatnya itu kita.

"Maksudmu dengan jenggot, hidung palsu, dan sebagainya?" kata Darbishire dengan mata terbelalak.

"Kenapa tidak?" jawab Jennings dengan santai, seakan-akan sudah biasa melakukan penyamaran.

“Tapi aku tidak punya jenggot,” kata Darbishire.

"Lagi pula, aku pasti kelihatan  eh nanti-berjenggot, tapi memakai seragam anak sekolah.”

Hal seperti itu tidak dianggap penting oleh Jennings. Pokoknya, rencananya menyamar itu bagus sekali menurut perasaannya. Harus bisa dilaksanakan!

"Yah, kalau begitu jangan memakai jenggotlah," katanya, "tapi aku kan bisa memakai kacamatamu! Itu pun sudah merupakan penyamaran. Dan kau bisa-eh-"

Apa yang bisa dilakukan Darbishire
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger