Laporkan Jika Ada Link Mati!

Bisikan Arwah

BUMI menggeliat kepanasan digelitik terik matahari. Pepohonan di sepanjang jalan setapak itu merasakan kegersangan yang amat sangat Daun-daunnya berguguran jatuh. Menggelepar beberapa saat ditiup angin yang kering kerontang. Lalu tercelentang diam di atas rerumputan yang layu. Kuning kecoklat-coklatan. Tidak ada lagi burung-burung bernyanyi. Bahkan awan putih perak yang belum lama berselang bergulung-gulung di perut langit seperti enggan menampakkan diri. Ranting-ranting kering gemeretak diinjak sepasang kaki telanjang berlepotan tanah dan debu.

Sepasang kaki itu tiba-tiba berhenti.

"Panasnya. Ampun!" sebuah suara bergumam.

Lantas sebuah lengan yang kukuh dengan urat-urat bertonjolan mendarat di wajah seorang lelaki. Wajah yang keras. Sorot matanya tajam. Tetapi ketika itu tampak lesu sekali. Dengan lengannya yang kecoklat-coklatan itu ia seka keringat yang membanjir di dahi. Ia pindahkan bahu kiri.

"... kalau tak ingat mertua sedang sakit payah, maulah rasanya hari ini pulang saja ke kota!" ia bergumam lagi. Kaki-kakinya kembali melangkah. Enggan tetapi pasti. Jalan setapak itu akan berakhir di mulut kampung. Tinggal beberapa ratus meter. Namun jaraknya seakan-akan telah bertambah panjang sejauh berkilo-kilo meter. Terlalu benar. Tetapi ah! Kenapa ia harus mengeluh. Inilah resiko kawin dengan seorang anak petani. Petani yang kaya memang. Akan tetapi mana pula ia pantas berdiam-diam saja di rumah sepanjang hari. Makan tidur, menyulut rokok seraya minum kopi tubruk. Bercanda dengan isteri yang begitu muda dan cantik.

"Bercumbu di tengah udara sepanas ini?" Ia geleng-geleng kepala sendiri. "Mana ada selera!"

Sedang apa si Mira sekarang? Tidur-tiduran? Atau menunggu dia di depan pintu seperti selama ini ia lakukan bila Iwan datang ke rumah paman Mira di kota? Iwan biasanya langsung mendorong tubuh langsing dan padat itu ke balik pintu. Ia tekan lutut ke dinding. Ia betot dengan kedua lengannya yang kukuh. Mira akan menggeliat. Dan membiarkan bibirnya habis diremas bibir Iwan. Lalu berdesah. Panjang. Itu di kota. Di sini? Biarpun ia dan Mira sudah syah jadi suami isteri satu pekan yang lalu, tetap saja ia harus bersabar menunggu Mira masuk ke kamar tidur. Atau di pekarangan belakang. Di balik pohon-pohon jambu. Kadang-kadang di kamar mandi, bila ayah Mira sedang berjemur di depan rumah dan ibunya pergi ke ladang. Itupun kalau adik-adik Mira kebetulan bersamaan waktunya pergi ke sekolah desa.

Secepat mertuanya sembuh mereka kembali saja di kota. Masa cuti kawin Iwan di kantor belum berakhir. Dihabiskannya saja di kota. Kalau perlu berkemah di pantai. Berkecimpung di lidah ombak. Berkejar-kejaran di hamparan pasir lembut berkilau-kilauan. Tak perlu lagi berkeluh kesah dalam rumah yang senantiasa berisik oleh jerit dan tawa adik-adik Mira atau duduk-duduk diam di hadapan ayah Mira yang tak henti-hentinya berpetuah. Berlagak mengerti. Dan menunggu semua orang tidur untuk bisa bergelut dengan isteri sendiri. Tak perlu cemas oleh derit ranjang besi yang sudah lama tidak di minyaki.

Iwan tersenyum kecut.

Matanya menatap ke kejauhan. Bangunan rumah-rumah di balik pepohonan kelapa dan beringin yang daun-daunnya telah semakin banyak berguguran tinggal sebatang sebatang rokok lagi jauhnya. Kalau di kota ia akan minta Mira menyediakan es atau minuman dingin. Tetapi di kampung sana, paling-paling ia bisa meminta disediakan teh manis. Duduk-duduk sebentar di halaman sebelum tiba waktunya bersama seisi rumah berhadapan dengan meja makan. Supaya dapat makan dengan nikmat ia akan mandi lebih dulu dan...

Dan Iwan tegak terpaku di tempatnya berdiri.

Sebentuk benda berwarna hitam legam terbujur memotong jalan setapak yang akan ia lalui. Benda itu bersisik. Besarnya sama dengan batang paha Iwan sendiri. Dengan liar mata Iwan menatap benda misterius itu. Tampaknya seperti diam. Akan tetapi semak belukar di kedua sisi jalan setapak, bergerak gelisah. Samar-samar di telinga Iwan terdengar suara berdesis-desis yang kadang-kadang berupa siulan yang lembut. Cepat sekali ingatan Iwan bekerja. Sehari sebelum ia asik ke jenjang pelaminan bersama Mira, Iwan telah bertemu untuk pertama kali dengan benda bulat panjang dengan sisik berwarna hitam legam ini.

Waktu itu dia lama diam terpaku seperti sekarang.

Setelah ia sadar, benda itu telah lenyap di balik semak belukar. Penasaran, ia ikuti arah benda yang ia yakin pasti ular yang sangat besar. Dengan takjub ia sadari, semak belukar yang tadi rebah dilalui ular hitam, semua tegak seperti semula. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, seakan-akan tidak ditimpa oleh benda besar dan sangat berat.

Karena benda itu bergerak dengan bentuk garis lurus, ia rambas semak belukar dengan arah yang sama. ia ingin tahu. Mengapa ekor ular itu tidak semakin mengecil seperti biasa. Dan mengapa badannya menjalar dengan gerakan lurus, tidak berbelok-belok.

la kemudian tiba di sebuah lapangan berumput, yang konon tidak ada seorang penduduk pun mau mengolahnya untuk dijadikan perumahan atau ladang. Sekilas ia masih bisa melihat segaris rerumputan yang sedang berusaha tegak dari rebahnya. Langkah-langkah Iwan bertambah panjang mengikuti jejak-jejak ular yang aneh itu sebelum rumput-rumput tadi berdiri semua. Dalam beberapa loncatan, kemudian ia tiba di dekat sebidang tanah berpasir. Jejak-jejak ular berakhir di situ. Mata Iwan mencari-cari. Kemudian iapun berjalan kesana kemari. Mencari-cari dengan mata. Merambas semak belukar dengan golok di tangan.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger