Laporkan Jika Ada Link Mati!

Hujan

Elijah tersenyum setelah melihat bando itu terpasang dengan baik di kepala. "Ini fase terakhir, sekaligus paling penting, sebelum kamu masuk ke ruang operasi. Di fase ini kami membutuhkan peta saraf otakmu, melalui cerita yang kamu sampaikan.”

Elijah diam sebentar, memastikan gadis di hadapannya men-cerna kalimatnya dengan baik.

“Aku tahu ini tidak mudah. Tapi kami membutuhkan presisi informasi. Karena kamu seorang perawat, juga memiliki pendidikan tinggi, kamu pasti amat paham. Operasi yang akan dilakukan membutuhkan peta seluruh saraf otak yang sangat akurat. Pemindai yang kamu kenakan akan membantu menentukan bagian mana saja yang menyimpan memori di kepala, lantas merekonstruksi peta digital empat dimensi. Tidak ada toleransi atas kesalahan dalam operasi. Kita tidak ingin ada memori indah yang ikut terhapus, bukan?” Elijah mencoba bergurau. Sejak gadis di hadapannya masuk ke dalam ruangan lima belas menit lalu, sama seperti pasien lain, seluruh kesedihan itu terlihat pekat di wajahnya.

“Sekali kamu masuk ke ruangan ini. proses ini tidak bisa dihentikan. Seluruh cerita harus disampaikan hingga selesai, atau peta digital itu dibuat dari awal lagi. Kamu harus bercerita dengan detail. Lail. Pemindai akan mencatat reaksi saraf otak saat kamu mulai bercerita. Tidak mengapa jika kamu harus berhenti, menangis, atau berteriak marah. Kami membutuhkan semuanya. Tidak mudah menceritakannya kembali, tapi kamu harus me-lakukannya. Agar tetap fokus, aku akan membantu dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku fasilitator, penghubung antara pasien dan bando perak. Kamu sudah siapi"

Gadis di atas sofa hijau mengangguk samar.

Hlijah menghela napas perlahan, memperbaiki posisi duduk. "Baiklah. Pertanyaan pertama, apa yang ingin kamu hapus dari memori ingatanmu. Lail?"

Ruangan itu lengang.

"Lail, kamu mendengarku?” Elijah bertanya lembut. Gadis di hadapannya masih menunduk.

Gadis itu mengangkat wajahnya, menyeka ujung matanya yang berair—dia sejak tadi menahan sesak.
“Tidak apa kalau kamu ingin menangis." Elijah menatap bersimpati, sambil mengetukkan jarinya di tablet layar sentuh. “Ini akan menjadi tangisan terakhirmu. Aku janji."

Persis ketukan jarinya diangkat, lantai di sebelah kursi kembali merekah, kali ini dari tempat yang berbeda dengan belalai robot sebelumnya. Dua jengkal dari sofa hijau, riang berbentuk bulat seperti pipa suunlas muncul. Di ketinggian lima puluh senti pipa itu berhenti naik. Atasnya yang sekarang bergerak memipih ke samping berubah bentuk menjadi meja bundar kecil dengan satu tiang. Mengesankan, sekarang ada meja di ruangan itu. Meja model itu sedang tren di kota, kapan pun dibutuhkan bisa muncul, untuk kemudian dilipat lagi dan masuk ke dalam lantai jika telah selesai.

Secara bersamaan, sebuah belalai robot juga keluar dari lubang lainnya, menggenggam kotak tisu. Perlahan kotak tisu itu diletakkan di atas meja stainless.

"Kamu mau tisu?” Elijah menunjuk kotak, mengetuk layar tabletnya. Belalai robot bergerak mundur, masuk kembali ke dalam lantai pualam.

Gadis di atas sofa hijau mengangguk, perlahan-lahan meraih sehelai tisu, menyeka hidungnya yang berair.

Satu menit lengang.

"Apa yang hendak kamu lupakan, Lail?” Elijah kembali bertanya. pertanyaan pertama.

Lail, gadis di atas sofa hijau kali ini bisa menjawabnya, meski dengan suara serak.

"Aku ingin melupakan hujan."
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger