Laporkan Jika Ada Link Mati!

Wiro Sableng [144] - Nyi Bodong

Lewat satu purnama setelah peristiwa kedatangan  Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di Gunung Gede, malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mencucuk sampai bagian terdalam sumsum tulang. Kawasan telaga di puncak timur Gunung Gede diselimuti halimun, sepi dan gelap. Pada siang hari air telaga kelihatan memiliki tiga warna. Selain itu permukaannya selalu bergemericik seperti kejatuhan tetes-tetes air hujan.

Tidak seperti biasanya, di tepi telaga sebelah selatan yang selalu sepi, saat itu tampak tiga bayangan hitam manusia bergerak cepat, tanpa suara, laksana tiga setan malam sedang gentayangan. Yang seorang berdiri menunggu di satu tempat sementara dua lainnya berlari mengintai tepian telaga. Tak selang beberapa lama dua orang itu kembali bertemu dengan orang yang tegak diam menunggu. Salah seorang dari yang dua ini berucap perlahan, “Eyang Tuba Sejagat, kami tidak melihat halangan. Rasanya kita bisa segera memulai pekerjaan.”

Orang yang dipanggil Eyang Tuba Sejagat bertubuh tinggi kurus, bekulit hitam pekat, bermuka seperti jerangkong karena wajahnya hanya merupakan kulit pembalut tulang. Bibir dan dua daun telinga hitam legam. Begitu juga sepuluh jari tangan sampai ke ujung kuku, hitam semua. Rambut kelabu dijalin aneh, menjela sampai  ke pinggang. Sosoknya yang mengenakan jubah hitam agak kebesaran membuat dirinya tampak luar biasa menggidikkan di dalam gelap, dingin dan sunyi itu.

“Halangan bukan masalah bagiku. Yang penting apakah kalian sudah mengetahui kalau calon penghuni alam roh itu saat ini berada di dasar telaga?”

“Kami sudah meyakini dengan ilmu Aliran Tuba Mendetak Langit dan Bumi.” jawab dua orang yang juga berpakaian jubah serba hitam dan merupakan pembantu Eyang Tuba Sejagat. Yang bertubuh agak pendek bernama Jarot Kemukur, temannya bernama Ciung Gluduk. Kalau sang Eyang tidak memakai blangkon maka kedua pembantunya ini mengenakan blangkon hitam.

Mendengar ucapan Jarot Kemukur dan Ciung Gluduk,  Eyang Tuba Sejagat angkat kepala, mendongak memandang langit gelap. Lalu dengan suara perlahan dia berkata, “Aku akan mulai. Kalian berdua awasi keadaan sekitar telaga. Jika ada bahaya cukup memberi tanda dengan mengguratkan kaki ke tanah dua kali.”

Selesai berucap manusia tinggi kurus berjalin panjang ini melangkah maju mendekati tepian telaga, berhenti dua jengkal dari ujung air. Perlahan-lahan lelaki berusia enam puluh tahun ini ulurkan dua tangan ke depan. Dua lengan yang tertutup jubah hitam ditukikkan sedikit hingga sejarak lima jengkal dari permukaan air telaga.

Sedikit demi sedikit dua lengan jubah hitam tampak menggembung, bergerak-gerak seolah ada dua benda hidup di dalamnya. Tidak menunggu lama, tiba-tiba dari masing-masing lengan jubah mencuat keluar seekor ular besar bersisik merah. Mulut terbuka, lidah terjulur di antara deretan gigi-gigi runcing, tiada henti bergerak. Dari dua lobang hidung binatang ini berhembus keluar asap merah yang menebar bau sangat menyengat.

“Anak-anakku Tuba dan Tubi, saat ini kalian punya tugas memenuhi telaga dengan Racun Akar Bumi. Cepat laksanakan!”

Dua ular merah mendesis. Keduanya meluncur turun ke bawah ke arah air telaga. Dari mulut dua ular ini menggelegak keluar cairan berwarna merah pekat dan kental. Sambil menyemburkan racun yang bernama Racun Akar Bumi, dua binatang itu meluncur hingga menyusup masuk ke dalam air telaga. Aneh dan mengerikan, saat demi saat ukuran tubuh dua ular itu semakin bertambah besar hingga mencapai ukuran batang kelapa. Di tepi telaga Eyang Tuba Sejagat tegak dengan sekujur tubuh bergetar, lutut menekuk dan keringat memancar di mukanya yang menyerupai tengkorak. Rambut yang dijalin menjuntai di punggung tampak bergerak-gerak naik seolah hidup.

Hanya beberapa saat saja seluruh permukaan air telaga telah berubah warna menjadi hitam kemerah-merahan. Sosok dua ekor ular bersisik merah sampai pada ujung ekornya lalu lenyap masuk ke dalam telaga.

Eyang Tuba Sejagat bergerak mundur tujuh langkah.

“Anakku Tuba dan Tubi, kalian sudah bekerja bagus! Jika tugasmu selesai pulanglah. Aku telah menyediakan sesajen lezat untuk kalian berdua. Satu bayi lelaki untukmu Tuba, dan satu bayi perempuan untukmu Tubi.” Makhluk tinggi kurus hitam ini keluarkan ucapan lalu tarik dua tangannya yang sejak tadi direntang ke depan.

Pada saat itu tanah di sekeliling telaga terasa bergetar.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger