Laporkan Jika Ada Link Mati!

Tangan Tangan Setan

MALAM belum begitu larut. Baru sekitar pukul sembilan lewat beberapa menit. Di ruang tengah sebuah rumah kost untuk kaum bujangan, tiga orang pemuda tengah asyik menekuni siaran warta berita di televisi. Demikian tercurah perhatian mereka kelayar tivi sehingga tak seorang pun menyadari adanya perubahan sikap seekor kucing belang jantan yang meringkuk di jok satu-satunya kursi kosong di ruangan itu.

Semula si kucing belang tidur mendengkur. Lalu mendadak, sepasang matanya nyalang terbuka. Binatang rumah itu pelan-pelan berdiri. Moncongnya mengeluarkan suara menggeram, sementara bulu-bulu tubuhnya pada berdiri tegak. Matanya yang bening berwarna kehijau-hijauan menatap liar ke arah sebuah kamar tidur yang pintunya terbuka. Orang yang seharusnya duduk di kursi yang ditempati si kucing, tampak rebah menelentang di atas sebuah ranjang kecil. Ia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima-an, tidak terlalu tampan tetapi dengan dagu yang kokoh pertanda kemauan keras.

Saat itu, Januar berbaring tanpa bergerak-gerak. Tubuhnya terbujur. Kaku, tak ubahnya sesosok mayat yang dibiarkan dingin membeku. Tetapi jelas ia masih hidup. Karena dadanyak kelihatan turun naik. Keras, tidak beraturan. Mulutnya terbuka, memperdengarkan suara megap-megap, sementara dari lubang-lubang hidungnya keluar suara nafas memburu. Sebenarnya, posisi Januar ketika itu tidaklah persis benar posisi orang mati. Kedua lengannya tergeletak horizontal di atas perut. Ia memegang sebuah buku tebal, dengan kesepuluh jarinya mencengkeram kedua tepian buku. Betapa kuatnya ia mencengkeram terlihat dan buku jari-jarinya yang memutih. Bahkan tekanan kukunya menyebabkan salah satu bagian buku yang Ia pegang, tampak Iengkung dan agaknya sudah robek sebagian tanpa ia sadar.

Tetapi Januar tidaklah sedang membaca buku yang dimaksud. Betul. Ia membacanya namun itu beberapa detik sebelumnya. Kini, sepasang bola matanya yang membelalak tanpa berkedip tidak lagi terarah ke buku. Melainkan ke langit-langit kamar tidurnya. Tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Kecuali salah satu eternit telah retak lalu bercak kekuningan bekas air hujan yang menetes dari bocoran atap. Walau demikian, Januar tetap saja berbaring dengan posisi yang aneh itu. Terbujur kaku mencengkeram buku sekuat-kuatnya, mulutnya megap dan nafas terengah-engah. Lalu matanya. Mata itu diwarnai tenor!

Jauh di dalam sanubarinya, Januar ingin memekik. “Tolooong!” Namun lidahnya terasa kelu, teramat kelu. Jauh di hati kecil. Januar ingin meronta lantas lari terbirit-birit. Namun persendian tubuh, kejang bagai disetrum. Telinganya menangkap suara hingar bingar televisi di ruang tengah. Lalu suara salah seorang temannya yang juga mahasiswa.

“... wah. Itu sungguh pembunuhan biadab!”

Seorang lainnya Januar tahu itu pasti si Naungan yang bekerja sebagai redaktur salah satu surat kabar mingguan memperdengarkan komentar bernada pahit

“Terlalu!”

“Namanya juga pembunuhan. Tentu saja..”

“Yang keterlatuan, bukan pembunuhnya!” rungut Naungan.

“Jadi?”

“Banjir darahnya itu!”

“Namanya juga..”

“Tak mengerti juga kau yang kumaksud. Begini. Koran atau majalah dilarang keras memuat gambar-gambar sadis. Tetapi mengapa televisi yang notabene adalah milik pemerintah..”

Astaga! Apa pula yang mereka bicarakan itu. “Tidakkah mereka dengar suaraku minta tolong?” jerit Januar, tertekan dalam hati. Oh, andai saja dia bisa beringsut barang sedikit. Atau, lepaskan saja buku itu. Biar jatuh ke lantai dan mereka dengar! Hampir putus asa, Januar lalu teringat pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang dapat menolong, begitu keluh Januar... mulai kesakitan karena kekejangan yang terus mendera tubuhnya. Jantungnya pun seakan sudah akan meledak, tak mampu membendung perjuangan raga maupun jiwanya untuk melakukan sesuatu walaupun itu misalnya cuma suatu erangan lemah saja.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger