Laporkan Jika Ada Link Mati!

Ahmad Tohari (3) - Jentera Bianglala

Diperlukan waktu lima atau enam menit bagi Rasus buat menyadari di mana dan pada keadaan bagaimana dirinya kini berada. Kemudian desah yang berat menandakan Rasus telah berhasil mengalahkan segala gejolak rasa. Setelah mengusap wajah neneknya dengan lembut, Rasus berdiri lalu membalikkan badan. Kini dia kembali menghadapi wajah Dukuh Paruk; wajah penuh pengakuan bersalah, wajah penuh permohonan maaf kepada kehidupan. Namun Dukuh Paruk harus mengakui kenyataan, kehidupan hanya mau memberikan maaf melalui sang waktu yang sering suka mengulur tangan yang begitu panjang. Maka Dukuh Paruk amat sulit meyakini apakah kehidupan mau memaafkannya. Apabila maaf itu tidak diperoleh, Dukuh Paruk harus mau hancur dikunyah sejarah. Dan kehancuran itulah sketsa yang terlukis pada wajah orang-orangnya.

Rasus bukan hanya merekam kehancuran itu. Dia bahkan merasa bersama-sama puaknya, hancur. Malah Rasus merasa berdiri pada tempat yang lebih sulit; dia anak Dukuh Paruk tetapi dituntut memiliki wawasan yang jauh lebih luas daripada sekadar kepentingan dan kehidupan puaknya.

Masih belum sepatah kata pun terucap, Rasus bergerak menyalami Sakarya, Kartareja, dan orang-orang Dukuh Paruk lainnya. Kata-kata yang kemudian keluar dari mulutnya terdengar berat namun tenang.

"Sedulur-sedulurku semua, apakah kalian selamat?"

Sepi. Tak terdengar suara yang segera menjawab. Orang-orang hanya bisa menundukkan kepala dan menelan ludah. Orang-orang sedang menikmati sentuhan lembut yang mengelus jiwa. Sedulur. Rasus tetap menyebut mereka saudara. Sebutan yang begitu lumrah namun menjadi sangat istimewa bagi sekelompok manusia sisa kobaran api di Dukuh Paruk. Sakarya terbatuk. Bibirnya bergerak-gerak. Namun kata-katanya tak kunjung keluar.

"Ya, Cucuku Wong Bagus," ucap Sakarya akhirnya. "Kami semua, saudara-saudara sampean, bagaimanapun juga masih mendapat keselamatan."

"Syukurlah, Kek."

"Dan kami sangat senang, akhirnya sampean pulang. Lha, nenek sampean itu. Untung sampean belum terlambat."

"Ya, Kek."

"Sudah belasan hari kami menungguinya, Ah, kukira nenek sampean memang sudah tua, sangat tua. Lalu, bukankah sampean hendak menunggui Nenek hingga selesai?"

"Ya. Ah, tetapi entahlah, Kek. Aku hanya diberi izin tiga hari."

"Jadi kamu hanya mau tinggal tiga hari di sini?" tanya Sakum. Dia berdiri dan matanya yang keropos berkedip-kedip.

"Hai, Sakum! Tidak pantas ber-kamu kepada seorang tentara."

"Ah, ya. Aku lupa. Seharusnya aku menyebut Pak Tentara. Rasus tentu gagah sekarang. sampean sudah punya istri, Pak Tentara?"

"Belum, Kang."

"Kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Eh, tetapi entah di mana dia sekarang. sampean tahu di manakah dia sekarang?"

Wajah Rasus menegang dan dia tidak berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Rasus sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan berbicara siapa saja orang Dukuh Paruk yang pernah ditahan. Sebab segalanya tak terelakkan dan sudah terjadi. Lagi pula pada mulanya Rasus menyangka semua warga puaknya yang ditahan telah kembali ke Dukuh Paruk. Kini Rasus tahu Srintil yang demikian lama punya arti amat penting bagi dirinya justru menjadi satu-satunya orang Dukuh Paruk yang masih ditahan entah di mana.

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger