Laporkan Jika Ada Link Mati!

Bekisar Merah

Kalirong adalah sebuah suagai kecil yang bermula dari jaringan parit-parit alam di lereng gunung sebelah utara Karangsoga. Pada wilayah yang tinggi Kalirong lebih menyerupai jurang panjang dengan aliran air jernih di dasarnya namun tak tampak dari atas karena tertutup semak paku-pakuan. Hanya pada tempat-tempat tertentu terdengar gemerciknya. Namun pada wilayah yang lebih rendah Kalirong adalah nadi yang mencukupi air bagi sawah dan tegalan di kiri dan kanannya. Batu-batu besar, beberapa diantaranya sangat besar, teronggok diam seperti pengawal abadi yang merendam diri sepanjang masa dalam air jernih Kalirong. Di tempat ini air mengalir gemercik, buihnya yang putih hilang-tampak di antara bebatuan yang hitam mengkilat. Anggang- anggang berlari kian-kemari pada permukaan air. Serangga berkaki panjang ini bagai tak punya berat dan mereka menggunakan permukaan air sebagai tempat bersiluncur, menangkap mangsa, dan kawin.

Sepanjang tepian Kalirong tumbuh berbagai jenis pohonan. Cangkring yang penuh duri serta bakung yang muncul dari sela-sela batu besar. Logondang yang untaian buahnya muncul langsung dari batang, menjulurkan cabang-cabangnya jauh ke atas permukaan sungai agar mudah menyebarkan keturunannya lewat aliran air. Jambe rowe dengan batangnya yang langsung tumbuh tegak lurus dan berbaris mengikuti alur Kalirong. Lengkung-lengkung daunnya yang lentur mengikuti pola yang rapi dan buahnya yang bulat kekuningan membuat tumbuhan palma itu kelihatan sebagai jenis tanaman purba yang masih tersisa. Rumpun pandan yang juga hampir tak putus mengikuti garis tepian Kalirong memberi tempat bersembunyi yang aman bagi cerpelai. Bila keadaan sepi binatang pemangsa ikan itu keluar dari persembunyian dan bercengkerama di atas batu besar dan segera menghilang bila terlihat oleh manusia.

Pada sebuah kelokan Kalirong, sebatang beringin yang amat besar tumbuh di tepiannya. Buahnya yang kecil dan bulat sering jatuh ke air oleh gerakan berbagai jenis burung yang sedang berpesta dalam kerimbunan daun pohon besar itu. Plang-plung suara buah beringin menimpa air, memecah sunyi. Dan suara itu segera berubah menjadi rentetan bunyi yang lembut tetapi aneh ketika lebih banyak buah beringin runtuh oleh tiupan angin. Seekor burung merah yang sangat mungil terbang-hinggap pada ranting beringin yang menjulur, menggantung hampir menyentuh air, menggoyang tangkai-tangkai benalu yang tumbuh di sana. Beberapa butir buah jatuh dan lagi-lagi plang- plung. Ada daun kering ikut luruh menerpa permukaan air, berkisar sejenak lalu hanyut dan hilang di balik bongkah cadas hitam. Ada sehelai daun ilalang yang terus bergerak berirama karena ujungnya menyentuh aliran air. Seekor kodok tiba-tiba terjun dan mencoba menyelam untuk menyelamatkan diri. Tetapi penyerangnya, seekor ular ubi, tak kalah cepat. Ceot-ceot, suara kodok yang sedang mempertahankan diri dalam mulut ular. Ceot-ceot, makin lama makin lemah. Dan akhirnya hilang setelah kodok itu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh ular.

Darsa mendesah panjang. Diperhatikannya ular ubi itu yang kemudian bergerak lamban karena ada beban seekor kodok dalam perutnya. Sekilas orang tak mudah melihat Darsa yang sedang duduk di atas batu berlumut agak tersembunyi di bawah pohon beringin itu. Selama beberapa hari terakhir Darsa mengundurkan diri dari pergaulan. Ia lebih suka menyendiri. Dan tepian Kalirong di bawah lindungan kerimbunan beringin adalah tempat sepi yang man menerima kegelisahan hatinya. Di sana pula, dekat Darsa kini duduk menyendiri, ada sebuah batu besar dan berpunggung rata. Batu yang terbaring di tengah kali itu kelihatan lebih kelimis karena sering tersentuh tangan manusia. Beberapa penyadap suka mandi di dekatnya dan kemudian naik untuk sembahyang setelah mereka membungkus tubuh hanya dengan kain sarung. Di sana sering terlihat pemandangan yang mengesankan; seorang lelaki dalam pakaian sangat sahaja bersujud di atas batu besar di tengah kali. Sepi, kecuali gemercik air atau cicit burung madu merah yang amat mungil. Atau derai plang-plung suara buah beringin yang jatuh menimpa air ketika angin bertiup.

Matahari yang hampir tenggelam hanya menyisakan mega kuning kemerahan di langit barat. Sepi makin sepi karena burung-burung tak lagi mencicit. Angin pun mati. Darsa bangkit dan mendesah. Geraknya tanpa semangat ketika dia melangkah, merendam diri setinggi betis dalam air, dan bersuci. Dengan melompat-lompat ke atas batu sampailah Darsa ke punggung batu besar itu. Darsa sujud dan alam diam menyaksikannya. Darsa sujud demi pertemuan dengan Sang Kesadaran Tertinggi untuk mencoba memahami gonjang-ganjing yang sedang melanda jiwanya. Darsa ingin memahami apa yang benar-benar telah dilakukannya dan menyebabkan ia harus berhadapan dengan kenyataan paling getir yang pernah dialaminya; Lasi minggat dan seisi kampung geger. Tak cukup dengan kenyataan pahit yang sulit diterimanya itu Darsa juga harus mengawini Sipah, perempuan yang tak pernah sekali pun dibayangkan akan menjadi istrinya.

Darsa merasa berdiri di depan dinding cadas yang terjal ketika tahu bahwa tidak mudah memahami perbuatan sendiri yang benar-benar telah dilakukannya. Memang, Darsa bisa mengingat dengan jelas urut-urutan kejadian di suatu malam di rumah Bunek. Seperti malam-malam sebelumnya, Darsa dipijat oleh Bunek dalam sebuah bilik. Sudah beberapa hari Darsa merasa mendapat kemajuan. Dan malam itu Darsa percaya tak ada lagi masalah pada dirinya. Tubuhnya bereaksi secara normal ketika dengan caranya sendiri Bunek memberinya stimulasi berahi, baik dengan pijatan maupun dengan kata- katanya. Bunek tertawa. "Apa kataku dulu, ular apa saja akan menggeliat bangun bila mendapat kehangatan."

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger