Laporkan Jika Ada Link Mati!

Kapas-Kapas Di Langit

Garsini pernah berhutang budi, berkat rekomendasi Nakajima-san beberapa urusannya di daigaku mendapat kemudahan; memanfaatkan fasilitas terknologi terkini di fakultasnya sebelum perkuliahan dimulai. Rekan-rekannya belakangan baru bisa mengikuti jejaknya. Seperti halnya dengan Mayumi, sahabat Jepun-nya itu. Sehingga rekan mereka kerap menyindir keduanya sebagai cucu Nakajima. Tiba-tiba kakek itu menyerahkan sebuah amplop kepada Garsini.

“Di sini kutuliskan daftar yang harus kamu pelajari, juga ada uang saku untukmu” jelasnya tersenyum hangat.

“Oh, tapi Pak Nakajima…”

“Jangan ditolak, aku berterima kasih kepadamu. Kamu mau gantikan aku, itu sungguh membantu mengingat ini musim libur. Teman-teman sebayamu ribut melancong…”

“Saya memang tidak punya rencana pergi, Pak…” Garsini seketika merindukan mendiang kakeknya, tanah airnya dan rumahnya di Depok.

Ini baru beberapa bulan, bagaimana kususuri hari-hariku mendatang selama empat tahun? Mungkin ditambah dua tahun lagi untuk program S kalau mereka masih memberiku beasiswa. Ya Allah, kuatkanlah hatiku untuk bertahan di negeri orang ini.

“Kakek, Uji, panggil begitu, ya?” tukas Nakajima-san meminta dengan nada tulus, seolah bisa menangkap kerinduan gadis itu.

Mata Garsini terasa menghangat.

“Uji-san…”

“Bagiku ini kesempatan sangat baik bertemu anak-menantu dan cucu. Mereka keluargaku. Mungkin aku takkan punya kesempatan lain”

Ada yang mengapung dari sepasang mata Uji-san, seperti kapas-kapas berarak di langit musim semi. Ia bergulung-gulung dan sebentar lagi bisa jadi akan berubah menggumpal menjadi awan. Aaah, ada apa ini? Garsini seketika merasakan dingin. Ada sesuatu yang tak beres, menanti, pikirnya was-was.

Mayumi datang berlari-lari menghampiri mereka. “Taksinya sudah menanti di seberang” katanya terengah-engah.

Ia sudah janji untuk mengantar Nakajima ke bandara. Wajahnya yang putih tampak memerah segar. Begitu sudah ada di hadapan mereka, ia membungkuk cepat. Roknya yang pendek berkibar diterpa angin nakal musim semi.

Mayumi prototipe gadis Jepang modern, selalu tergila-gila akan segala sesuatu berbau Barat dan serba modern. Perbedaan pembawaan yang sangat kontras di antara Garsini dengan Mayumi, tak membuat goyah tali persahabatan mereka. Garsini mengagumi bakti gadis itu terhadap ibunya dan seorang kakak lelakinya.

Sebaliknya Mayumi juga amat mengagumi kemandirian dan rasa percaya diri Garsini. Dan keteguhan gadis Indonesia itu dalam menjalankan syariat agamanya. Islam, sesuatu yang kadang menggugah rasa ingin tahunya. Tapi baru sebatas ingin tahu lain tidak.

”Oyaho gozaimasu, Mayumi-san…” nadanya terdengar menegur, hingga Mayumi tersipu-sipu, jengah. Seharusnya ia yang lebih dahulu menyapanya bukan sebaliknya.

“Sumimasen… maafkan terlambat, tadi saya harus meyakinkan Okusan agar pergi ke dokter” Mayumi berusaha tersenyum riang.

“Bagaimana keadaan Okusan?” tanya Pak Nakajima kali ini terdengar khawatir. “Belum baik jugakah?”

“Okusan keras kepala, tapi tadi sudah janji akan menemui dokter Ikeda di klinik perusahaannya” Ada kemuraman membersit di wajah porselinnya.

“Masih batuk-batuk juga, ya Mayumi?” Garsini pernah mampir beberapa kali ke rumah sahabatnya. Menemukan Mayuko-san sering batuk hingga tampak kewalahan.

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger