Laporkan Jika Ada Link Mati!

Ksatria Hutan Larangan (Buku II)

DI TENGAH-TENGAH perhumaan yang berbatasan dengan hutan lebat, terletaklah sebuah kampung kecil. Kampung ini hanya terdiri dari beberapa buah rumah yang lebih menyerupai dangau daripada rumah. Atap rumah-rumah itu pun tidak teibuat dari ijuk, tetapi dari ilalang. Itulah sebabnya, sifat kesementaraan kampung itu lebih menonjol. Karena letaknya berbatasan dengan hutan lebat, pagar kampung itu di samping kuat, amat tinggi pula. Pagar itu terbuat dari bambu berduri yang sebagian telah tumbuh. Ke kampung inilah ketiga orang penunggang kuda menuju.

Ketika itu, hari telah senja dan lawang kari sudah ditutup. Arsim berseru kepada seorang yang mengantuk di kandang jaga yang terletak tepat di atas lawang kari.

"Siapa di sana?"

"Dari Gan Tunjung!" seru Arsim.

Penjaga itu memanggil kawannya, lalu dua orang di antara mereka melepaskan palang lawang kori yang terbuat dari sebatang pohon pinang.

Ketiga orang penunggang kuda itu pun masuk. Setelah kuda dititipkan kepada penjaga, mereka dibawa seorang lakilaki ke rumah yang paling besar. Ketika mereka memasuki rumah itu, Banyak Sumba yang paling tinggi di antara mereka terpaksa menundukkan kepala. Begitu ia menengadah kembali, tampaklah di depannya seorang laki-laki kira-kira berumur tiga puluh tahun: si Coklat.

"Selamat sore,Juragan” kata Arsim kepada laki-laki itu. Laki-laki itu tersenyum dan mempersilakan mereka dengan isyarat.

"Akhirnya, tuanmu mau juga memenuhi janjinya, Sim” kata laki-laki itu sambil mengusap-usap seekor anjing besar yang tidur di sampingnya, di atas bangku.

"Beliau sudah dapat bernapas lagi sekarang, Juragan. Paman beliau yang tidak berputra belum lama ini wafat. Walaupun sebagian warisan itu sudah mengalir bagai air, Juragan kena juga basahnya” ujar Arsim.

Sementara, Banyak Sumba memerhatikan laki-laki yang ada di depannya. Sungguh-sungguh meleset dugaannya. Ia menyangka akan bertemu dengan laki-laki yang tinggi besar dan kasar, seorang petani yang menjadi gila karena keserakahannya. Akan tetapi, yang ditemukannya adalah seorang laki-laki yang halus, berkulit kuning langsat, rambut rapi, dengan sisir besar melintang di kepalanya. Sedangkan pakaiannya terbuat dari sutra Katai yang hitam mengilat. Di pinggangnya diikatkan sehelai ikat pinggang yang lebar, terbuat dari kulit macan tutul yang indah. Wajah orang itu lonjong, bentuk hidungnya mancung, bibirnya halus hampir seperti bibir wanita, dahinya rata seperti pualam. Selintas pandang, orang akan melihat bahwa laki-laki itu seorang bangsawan, kalaupun bukan seorang bangsawan tinggi. Kesan itu bukan saja disebabkan wajah dan sikapnya, tetapi oleh air muka dan cahaya matanya yang berwibawa.

Hanya satu yang merusak kesan itu, yaitu bekas luka yang mengerikan, melintang dari telinga hingga ke ujung bibirnya.

"Dan Raden, dari manakah Raden?" tiba-tiba si Colat bertanya kepada Banyak Sumba sambil tetap mengusap-usap kepala anjing besar yang tidur di sampingnya.

"Oh, iya” kata Kang Arsim sebelum Banyak Sumba sempat menjawab.

"Den Sumba sengaja datang dari Kota Medang, berhasrat sekali belajar ilmu kepahlawanan kepada Juragan”

Si Colat mengangkat mukanya, memandang ke arah Banyak Sumba sambil tetap tersenyum, "Bukankah Arsim seorang guru yang baik, Raden” tanya si Colat.

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger