Laporkan Jika Ada Link Mati!

Tutur Tinular - Pelangi Diatas Kurawan

Di sudut desa Kurawan, di kaki bukit, tampaklah gubuk kecil yang semuanya terbuat dari bambu beratap alang-alang. Tampak di depan bangunan itu duduk seorang pemuda, tubuhnya agak gemuk, wajahnya sedikit kelihatan bodoh. Sejak tadi ia menguap lebar menahan kantuk yang mendera, sedangkan gurunya melarangnya tidur sore-sore.

Ia ingin berbaring, tapi teringat pesan gurunya, ia terjaga kembali dan duduk dengan baik sambil menyaksikan bintang-bintang yang berkedip di langit. Ia nikmati suara serangga yang timpal menimpali. Ada sesuatu yang ganjil dan aneh jika berada di tengah malam sendirian. Kadang rasa takut menghimpit. Bahkan ketika ia melihat daun pisang kering menggantung ia pun merinding. Ia melihatnya seperti hantu pocong.

Kembali pemuda itu menguap lebar, “Guruku memang orang aneh. Susah ditebak. Sukar diketahui apa kemauannya. Tapi beliau memang guru yang hebat. Dalam hal pembuatan senjata pusaka, di seluruh negeri Singasari ini, bahkan mungkin di negeri-negeri lain, kukira belum ada yang mampu menandinginya.”

Ia tersenyum dan kebanggaan terpancar di wajahnya. Kembali ia semangat nglakoni. Pemuda itu tiba-tiba bangkit dan mengerutkan dahinya. Dia pandang ke arah datangnya suara derap kaki kuda.

“Hmh, siapa malam-malam datang kemari. Huh, pasti orang yang ingin memesan senjata pusaka. Huuh, dia pasti kecewa, sebab Guru sudah tidak melayani pesanan senjata pusaka lagi,” pemuda itu terus menggerutu.


Derap kuda pun berhenti, penunggangnya melompat, lalu mengikat kudanya di batang pohon jarak. Setelah itu, berjalan menghampiri pemuda itu, “Apakah aku bisa bertemu dengan Mpu Ranubhaya?”

“Eh. bukankah Tuan… Tuan….”

“Ya. Aku Hanggareksa, sahabatnya.” Potong Mpu Hanggareksa ketika pemuda itu lupa namanya Apalagi memperhatikan dalam kegelapan malam.

“Apakah kau Wirot?”

“Eeh, iya, Tuan, saya Wirot.”

“Mana Kakang Ranubhaya? Apakah aku bisa menemuinya?”

“Apakah harus sekarang, Tuan?”

“Aku besok pagi harus sudah berangkat ke kota Singasari.”

“Kalau begitu mari ikut saya, Tuan,” Wirot segera melangkah dan Mpu Hanggareksa mengikutinya dari belakang. Wirot mengajak tamu gurunya menyusuri sungai kecil. Kaki pemuda itu seolah punya mata sehingga mampu melewati tempat-tempat sulit. Apalagi dalam keadaan gelap gulita seperti malam itu. Hanya sinar bintang yang menerangi mereka Sesampai di batu ceper dia tidak menemukan gurunya di sana.

“Wah, tidak ada Tuan. Biasanya guru ada di sini.”

“Apa yang dilakukannya malam-malam begini di sini?”

“Guru memang sering berlaku aneh. Beliau punya kegemaran yang tidak jamak dimiliki orang lain. Biasanya dia duduk di sini, di atas akar pohon ini sambil memandang bulan yang berkaca di permukaan air sungai itu. Beliau kadangkala betah duduk di sini sampai menjelang pagi, Tuan.”

“Ah, mengapa begitu? Mestinya gurumu lebih mapan karena sekarang usianya sudah agak lanjut.”

“Saya hanya seorang murid, Tuan. Pengetahuan seorang murid terbatas. Paling banter sebatas pinggang gurunya.”

Download

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger