Laporkan Jika Ada Link Mati!

Ashadi Siregar (Buku 3) - Terminal Cinta Terakhir

Klakson mobil mengejutkan Joki. Maka pembicaraan dengan dirinya terhenti. Kembali dia sadar bahwa dia sedang berada di jalanan kota yang ramai. Renyal gerimis bulan Maret mengusap mukanya. Sepatunya berdetuk-detuk di trotoar. Langit Kota Jakarta murung disaput mendung. Sore yang basah. Tetapi, Joki merasa dirinya garing. Tenggorokan kering. Ketika dia, menjilat bibirnya, ah, asinkah gerimis yang turun ini? Ataukah, air mataku yang merembes diam-diam? Dia berkeluh dalam hati.

Dia jengkel terhadap kesedihannya. Lantas ditendangnya biji salak yang lain di trotoar yang dipijaknya. Gerimis telah berubah menjadi rintik-rintik yang semakin deras. Tetapi, Joki terlindung oleh pepohonan yang rindang. Cuma, tempias sesekali memukul wajahnya. Angin yang giris menyusup ke balik kulit. Angin itu juga menggoyang daun-daun dan ranting-ranting pohon. Beberapa tetes tadahan daun-daun itu menimpa Joki. Tak dipedulikannya. Dia tekun menyusuri jalan.

Angin pada sore itu lebih dingin dibanding hari kemarin yang kering. Lebih dingin lagi di daerah Menteng itu. Tetapi, bagi Joki, kawasan itu tetap terasa panas. Dia ingin secepatnya meninggalkan tempat itu. Bukan karena di situ tinggal orang-orang berada. Bukan pula karena pada salah satu rumah di situ membuat hatinya terbanting. Bukan karena itu, melainkan lantaran rumah itu dihuni oleh tulang-nya. Paman dari garis ibu itulah yang tadi menghempaskan daun pintu keras-keras.

Sebagai orang Batak, tak ada kenyataan yang lebih pahit dari kenyataan itu. Joki memberangsang tanpa tahu kepada siapa ditujukan. Karena yang ada hanya kerikil di kakinya, maka ditendangnya kerikil itu sambil merutuk, “Mate ma ho!” (“Mampuslah kau!”)

Dia bayangkan kerikil itu sebagai wajah pamannya. Lalu melintas wajah nantulang-nya, istri pamannya. Wajah yang dingin. Tetapi, sekejap saja bayangan wajah istri pamannya melintas. Sebab, di antara bayangan wajah tulang dan nantulang-nya itu, menyusup wajah Meinar. Agak lama bayangan gadis itu menatapnya nanap. Dan, Joki tak bisa menduga apa makna tatapan boru tulangnya itu. Gadis anak pamannya itu berdiri mematung. Lalu digeser oleh wajah-wajah keras dan dingin milik saudara-saudaranya. Hm, anak-anak manja Orang Kaya Baru Kota Jakarta.

Maka Joki menempelak semua bayangan dari kepalanya, menjungkirbalikkan hingga hilang bentuk. Takkan kupijak lagi rumah itu. Takkan kuingat lagi dia yang dipaterikan adat sebagai tulang-ku itu!

Joki keluar dari kerindangan pohon di sepanjang Jalan Imam Bonjol. Deru hujan menerpa -nerpanya. Sepatunya telah liat dan berbunyi kriut-kriut sebab kulitnya basah. Dingin pun kini membuat tubuhnya menggigil. Di jalan yang lebar, terpaan angin menyeruak ganas.

Lalu dia melompat ke dalam bus kota.

Hangat. Tetapi, pakaian tetap basah. Dia ingin meniru anjing yang menggoyang tubuhnya untuk mengeringkan badan. Cuma, bus terlalu penuh-sesak. Dia menatap berkeliling. Tak mungkin menempiaskan percik-percik air dari pakaian ini, pikirnya. Walau orang Batak terkenal kasar, tapi rasa-rasanya sangat tidak pantas membasahi orang lain. Apalagi gadis di depan itu. Dia juga berdiri. Sangat tidak sopan jika sampai dia tepercik. Sangat tidak layak berbuat tidak sopan di depan gadis yang punya mata seteduh itu. Seteduh Danau Toba kalau tak ada angin. Bening.

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger