Laporkan Jika Ada Link Mati!

Di Kaki Bukit Cibalak

Pak Dirga menyembunyikan kagetnya dengan cepat-cepat menyalakan rokok. Ia tidak mengira akan dikejar dengan pertanyaan yang menyelidik seperti itu. Mentang ia telah menyuruh Poyo mengeluarkan uang dari kas dana darurat untuk membiayai pelantikannya beberapa bulan yang lalu. Bayangkan, pikirnya, Bu Camat wanti-wanti berpesan agar pelantikan itu dimeriahkan dengan pergelaran wayang kulit dengan dalang yang dipesan sendiri oleh Bu Camat. Tarifnya bukan main. Untuk membeli rokok yang disuguhkan kepada para tamu saja Pak Dirga harus membayar 30.000 rupiah. Tadinya ia akan menyerah, kalau kas dana darurat tidak boleh dibobolnya. Dan si Pambudi ini, bocah nakal yang sangat berbeda dengan Poyo. Apa maunya Oh, tetapi Pak Dirga merasa pasti, ia dapat menjinakkan hati anak yang masih ingusan seperti Pambudi ini. Maka ia segera mengendurkan urat-urat di wajahnya. Senyumnya terkembang, ramah tetapi jelas licik.

“Wah, nanti dulu, Pambudi. Bicaralah pelan-pelan. Mbok Ralem sendiri mungkin masih mendengarnya. Rencana yang kumaksud hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja, termasuk kau. Barangkali kau belum tahu, Pemerintah akan melebarkan jalan yang melewati desa kita ini. Karena pelebaran jalan itu, kira-kira lima ratus batang pobon kelapa akan tergusur. Para pemilik pohon kelapa akan menerima ganti rugi. Pambudi, kau anak yang pinter. Tahukah kau, ada rezeki yang dapat kita ambil”

“Oh, tidak, Pak. Tetapi apa hubungannya dengan uang dana darurat milik koperasi kita”

Sebuah senyuman belut putih tergambar pada bibir Pak Dirga. Ia tertawa pelan, penuh arti. Sikapnya amat lunak sekarang, seperti seorang ayah yang sedang mengakali anak yang merajuk. Kepada Pambudi, Pak Dirga menawarkan rokok. Tetapi pemuda itu menyulut rokoknya sendiri.

“Dengarlah, anak muda. Pertama-tama kukatakan kepadamu bahwa inilah kesempatan yang dapat kauambil untuk mendapat keuntungan yang besar. Marilah kita bekerja sama. Kau tahu, uang yang dijanjikan Pemerintah sebesar 2.000 rupiah untuk tiap batang kelapa yang tergusur, akan lambat datangnya. Uang milik koperasi dapat kita pakai dulu untuk membayarkan ganti rugi kepada pemilik pohon kelapa. Kita tidak akan membayar 2.000 tiap batang, tetapi cukup 1.000 saja. Jadi apabila uang ganti rugi yang dijanjikan Pemerintah keluar, kitalah pemiliknya. Sementara kita menunggu, kita tebang pohon-pohon kelapa yang sudah kita bayar itu. Bayangkan, pemborong yang sedang membangun jembatan Kali Benda itu berani membayar 2.500 per batang. Wah, Pambudi, apa tidak lumayan Bila mau, kau dapat juga membeli sepeda motor seperti Poyo. Enak, bukan”

Entah bagaimana perasaan dan sikap Pambudi saat itu. Boleh jadi ia tersenyum pahit atau tertawa lirih, tetapi ia tidak menyadari semua itu. Yang jelas daun telinganya terasa panas dan napasnya memburu. Tengkuknya merinding. Mulutnya sulit dibuka karena urat-urat pipinya menegang. Pak Dirga tampak tidak sabar menunggu tanggapan Pambudi.

“Bagaimana, Pambudi”

Yang ditanya kaget.

“Oh, maaf, hendaknya Bapak jangan mengikutsertakan saya dalam urusan seperti itu.”

“Lho, kenapa Kau akan mendapat banyak keuntungan tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Semua orang menyenangi hal semacam itu, mengapa kau tidak Lihat, Poyo telah lumayan hidupnya. Sekarang tiba giliranmu, ayolah!”

“Tidak, Pak.”

“Mengapa”

“Saya tidak bisa menerangkannya mengapa.”

Pak Dirga melepaskan napas panjang lalu menyandarkan diri ke belakang. Dipandangnya Pambudi lama-lama, tetapi pemuda itu tenang saja. Bahkan di dalam hatinya Pambudi merasa lega. Ia merasa telah menuruti suara hati nuraninya untuk tidak turut melakukan kecurangan bersama Pak Dirga. Memang hanya satu yang terasa olehnya pada saat itu: Lega. Lega!

Download
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Berbagi buku gratis | Dilarang mengkomersilkan | Hanya untuk pelestarian buku
Copyright © 2016. Perpustakaan Digital - All Rights Reserved
Published by Mata Malaikat Cyber Book
Proudly powered by Blogger